Seperti biasa, di tempat inilah, Kafe Sweet Pea yang dapat membuatnya melupakan segala masalahnya. Ia fokus pada membuat caramel macchiato yang dipesan oleh meja nomor tujuh, gerombolan remaja yang membuka laptop dan tertawa terbahak-bahak.
Hari masih sore, satu dua pengunjung berlalu lalang untuk memesan take away. Hanya beberapa dari mereka saja yang meminta makan di tempat. Semenjak virus yang beredar di kota-bahkan seluruh dunia ini, orang-orang mungkin masih parno untuk beranjak keluar rumah apabila tidak benar-benar dibutuhkan. Mentari sudah hampir menenggelamkan dirinya di arah barat. Kemungkinan besar, kakak dan ayahnya sudah pulang ke rumah, namun ia masih tetap melanjutkan shift sore sampai malam karena pagi tadi ia harus bersekolah, sama seperti kemarin. Biarlah, toh keduanya juga tidak pernah memarahi Felix untuk bekerja.
"Kak Lix, ada transferan buat kamu nih," celetuk Jeo tiba-tiba saat menyodorkan notifikasi di ponselnya, mendekatkan dirinya pada tubuh Felix.
Disana, tertera kurang lebih sepuluh juta dari masing-masing orang, dan Jeo langsung antusias untuk mengatakannya pada seniornya ini. Ya, Jeo yang memegang keuangan Felix. Bahkan seluruh akun pembayaran Felix, ia percayakan pada yang lebih muda itu. Tidak kok, Jeo seseorang yang dapat dipercaya dan tidak mungkin mengambil tabungan Felix.
"Wah, tumben? Atas nama siapa Je?"
"Ada dua orang, Candramaya dan... Aksara?"
"Serius?"
"Dua rius."
"Ih Je!" ujarnya sebari terkikik geli. "Aksara itu nama Kak Lino, terus Candramaya itu nama pacarnya yang kemarin datang kesini, yang pesan teh hijau."
Yang mendengar ceritanya hanya ber-oh ria menanggapi, memperhatikan gerak-gerik Felix dalam menuangkan susu dalam gelas dengan rapi, seolah lelaki itu memiliki penglihatan normal. Setelah selesai menghidangkan semuanya, Jeo meletakkan tiga minuman dan dua kue cokelat di atas nampan dengan hati-hati. Sebenarnya masih kurang tiga lasagna, tetapi Jeo berniat mengantarkannya terlebih dahulu agar pelanggan tak menunggu terlalu lama.
Begitu meletakkan pesanan di atas meja, ia mengernyit dan memicingkan matanya begitu melihat apa yang ada dalam layar tersebut, terutama apa yang mereka tertawakan sejak tadi. Kelima pemuda dan satu gadis itu langsung memandang Jeo risih, seolah mengusirnya.
"Selamat menikmati, kakak-kakak sekalian!" ujarnya seolah tidak terjadi apa-apa.
Mereka kembali terbahak melihat kepergian Jeo yang tampak takut. Lelaki itu buru-buru menghampiri Felix yang kini duduk saja sembari menengok ke arah jendela, memainkan kedua jari jemarinya. "Kak Lix, kakakmu pernah cerita apapun ke kamu?"
Felix menggeleng, kemudian memusatkan perhatiannya ke arah suara Jeo. "Kak Revalino itu tertutup, susah buatku pendekatan sama dia, Je. Memangnya ada apa?"
"Kakak dengar anak kuliah di pojok kafe yang daritadi ketawa-tawa?"
Felix mengangguk, tawa mereka memang terdengar hingga ke penghujung kafe. Bahkan saat Felix berkutat di dapur, ia masih dapat mendengar suara tawa mereka yang menggelegar. Matanya membelalak begitu Jeo membisikkan sesuatu di telinganya. Air matanya mengalir begitu saja, dan dengan cepat dihapus olehnya sendiri. Jeo menjadi merasa bersalah telah memberitahu hal itu, tetapi kebenaran tidak seharusnya ia tutupi, seniornya perlu mengetahui hal itu.
"Makasih udah bilang, Je."
"Sama-sama kak, maaf kalau malah bikin Kak Lix sedih."
Ia akhirnya menunjukkan senyum cerah yang biasa ia tampilkan setiap hari. "Nggak lah Je, kamu bantu aku banget."
Senyumnya luntur setelah menyadari sesuatu. Ia buru-buru mengusap hidungnya setelah dirasa cairan kental mengalir dari sana, membuat lelaki yang lebih muda di sebelahnya langsung berlarian mengambi sekotak tisu, dan menyerahkannya pada Felix. Melipatnya menjadi segiempat kecil dan dengan telaten membasuh darah yang keluar dari lubang hidung seniornya. Itu tidak berhenti, dan tetap mengalir, hingga tisu-tisu itu berubah menjadi merah pekat.
Felix memegangi kepalanya sendiri yang terasa pening, ia memejamkan matanya menahan rasa sakit dan tubuhnya yang mulai lemas.
"Kak, aku anter pulang ya? Biar kita tukar shift sama Kak Haikal, Kak Hanif."
"N-nggak usah Je, cuma pusing kok. Aku nggak apa-apa."
"Bohong, kakak mimisan. Setidaknya kakak harus pulang, oke? Aku telpon Kak Haikal sekarang."
Felix terkekeh. "Kamu maksa banget sih."
"Aku tuh sayang sama kakak! Ngambek nih aku."
Terkadang, sifat anak kecil Jeo memang keluar dengan sendirinya. Jahil, senang menggoda, dan mudah merajuk. Untungnya, peran Felix sebagai yang lebih tua disini sangat pengertian dengannya. Ia akhirnya pasrah saja dan membiarkan yang lebih muda melakukan sesuka hatinya. Setelah panggilan dimatikan oleh satu pihak, Jeo langsung menyiapkan seluruh kelengkapan Felix seperti tas selempang yang ia bawa, sweater, dan tongkat.
"Kakak hati-hati di jalan, ya? Kalau ada apa-apa, tinggal pencet tombol on di samping HP kakak, kakak mencet asal aja, udah aku setting emergency call buat ngehubungin aku."
"Makasih banyak ya Je, kamu baik banget. Aku beruntung kenal kamu."
"A-apaansih, kok tiba-tiba banget. Yaudah, kakak mending pulang sebelum tambah parah. Obatnya diminum, istirahat, jangan masak dulu, biarin dah tuh dua orang kelaperan karena nggak ada Kak Lix."
Ia menggelakkan tawa sebelum pergi, melambaikan tangannya untuk mengisyaratkan bahwa dirinya akan segera beranjak. Yang dipamiti membalas lambaian tangan walau tak dapat dilihat olehnya, menunggu dua seniornya untuk melakukan pergantian jaga.
Felix melangkahkan kakinya dengan bantuan orang-orang yang ia tanya, serta tongkatnya yang selalu menuntunnya ke tempat yang tepat. Ia kerap berjalan lurus seperti yang dikatakan orang-orang, menuju rumah sakit besar, dan segera dibantu oleh sang resepsionis, begitu menyadari bahwa Felix tidak dapat melihat.
"Maaf tuan, sebaiknya anda duduk saja. Saya akan panggilkan dokter kesini."
"Terima kasih sekali lagi, suster."
"Bukan apa-apa."
Disanalah ia, menyenderkan tubuhnya yang lemas pada kursi tunggu rumah sakit. Penglihatannya yang terang perlahan-lahan menjadi gelap sebelum seseorang menyadarkannya dengan memegang kedua pundaknya. "Tuan Felix?"
"Maaf, darimana dokter tau nama saya?"
"Ayah anda adalah Damian Atmovera, tentu saja saya mengenal anda."
Karena bingung akan respon apa yang harus ia berikan, terpaksa Felix hanya menganggguk dan memamerkan deretan giginya. Dengan cepat, sang dokter mengeluarkan alat-alatnya, memeriksa tensi lelaki itu, melakukan pemeriksaan detak jantung, dan sebagainya. Bahkan Felix juga diperiksa darahnya oleh sang dokter, tubuhnya menegang seketika begitu jarum menusuk kulit tangannya. Air muka pria itu berubah pucat begitu mendeteksi penyakit apa yang ada dalam Felix.
"Tuan Felix, maaf sekali saya harus mengatakan ini... tetapi anda menderita anemia aplastik."

KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari & Brownies
Fanfiction"Kak, kalau Felix menyerah, boleh ya?" Sebuah cerita yang ditulis oleh Revalino Aksara, sang penikmat mentari yang kini telah meninggalkan dunianya yang kelam dan sunyi. (Semi-formal) © exaesya Cerita ini terinspirasi oleh Shigatsu Wa Kimi No Uso...