Sembilan ; Tidur Bersama

704 166 13
                                    

Lelaki itu hendak beranjak, sebelum aku menariknya kembali, dan ia kini jatuh terduduk di sebelahku, menatap mataku seolah meminta penjelasan. Aku menghela nafas panjang sebelum mengatakan sesuatu yang menurutku memalukan.

"Tidur disini."

"Gimana kak?"

"Kamu buta atau tuli? Saya minta kamu tidur di kamar saya."

Ia masih terdiam, memandangiku dari atas sampai bawah sekarang, padahal ia juga tidak bisa melihatku. Aku mendecih dan merotasikan bola mataku. Tentu saja aku kesal, apa ia masih tidak paham bahasa manusia? Lalu aku harus menggunakan bahasa apa? Kucing?

Meow, oh lupakan, maaf.

"I-iya kak, Felix ambil selimut dulu ya?"

"Di kamar saya ada selimut, nggak perlu."

"Selimutnya kan buat kakak, aku perlu juga kak, kan di sofa-"

"Siapa yang suruh kamu tidur di sofa?"

Ya Tuhan, apa dia masih tidak paham juga? Aku memintanya untuk menemaniku tidur, bukan menjagaku di sofa seperti satpam dan memelototiku seolah matanya akan lepas. Kurasa dia memang sempurna dalam segala hal, kecuali otaknya yang sedikit lemot. Aku jadi ingin menamparnya lagi.

"Kenapa diem aja? Jadi bisu kamu sekarang?"

"Nggak kak, maaf. M-maksudnya Felix tidur dimana ya kak?"

Aku memukul kepalanya perlahan, menimbulkan bunyi yang membuatnya mengaduh kesakitan sembari meringis. Cengiran itu tidak mempan untukku, aku masih kesal padanya.

"Saya minta kamu tidur di kasur saya, bukan di sofa. Apa gunanya ranjang kalau kamu tidur di sofa? Badan saya nggak segede itu kalau kamu ngerasa kesempitan."

"Ooohhh, tidur di samping kakak... HAH?!"

Mengapa ia bertingkah seolah ia memenangkan tiket undian ke Jepang atau semacamnya? Sesama saudara wajar kan berbagi tempat tidur? Apa itu hal yang aneh? Lagipula, kita berdua laki-laki. Akan canggung apabila yang tidur satu ranjang adalah lawan jenis.

"Berisik, Felix. Saya mau tidur."

Aku memutus pembicaraan, lelah untuk terus menanggapinya yang banyak bicara, ia berisik. Aku menarik selimutku sembari menurunkan derajat air conditioner, menatap gerak-gerik Felix yang masih canggung. Dengan ragu-ragu, ia menaiki ranjangku dan merebahkan dirinya di sebelahku. Aku mengulum senyum, menatap paras tenangnya begitu ia tidur.

Felix itu indah, seperti matahari.

"Felix?"

Tidak ada sahutan. Baguslah kalau begitu.

"Selamat malam, Felix."

- - - - 

Ia menguap dan meregangkan tubuhnya begitu matanya terbuka, mencium aroma maskulin khas yang ia kenali. Oh, ia tidur bersama kakaknya semalam,  bisa-bisanya ia melupakan momen itu. Walau tak dapat melihat wajah  tenang pemuda itu ketika tertidur, ia tetap merebahkan diri, tak ingin bergerak seinci-pun agar tidak membangunkan yang masih terlelap.

Dengan takut-takut, Felix meraba rambut sang kakak. Rasanya begitu halus, lembut, dan selalu mengingatkannya pada seseorang. Ia tersenyum sendiri ketika merasakan surai yang begitu elok. Lalu dikejutkan ketika seseorang mencengkeram tangannya.

"Ngapain kamu?"

"Maaf, Felix lancang kak," tuturnya takut-takut.

Revalino merotasikan bola matanya, lalu melepaskan genggaman erat pada pergelangan tangan adiknya.

"Mandi sana."

"Iyaa, habis ini Felix bikinin sarapan. Kakak turun ya nanti? Kita makan bareng, kalo boleh..."

"Yaudah cepet kalo gitu."

Tanpa berbicara apa-apa, Felix langsung menuruti apa yang diperintahkan kakaknya. Ia beranjak turun untuk membersihkan diri. Sepertinya ayahnya tidak akan pergi kerja karena memang hari libur. Yah, ia sendiri masih harus teta mengisi shift di kafe karena kemarin ia sedang sakit. Untungnya, Leo cukup murah hati untuk tidak memotong jatah cutinya, dan dikategorikan sebagai berhalangan.

Suara kertas yang berbalik terdengar, ternyata pria itu hanya membaca koran sebagai rutinitas weekendnya.

"Pagi ayah, ayah mau Felix masakin apa hari ini?"

Tidak ada respons yang diberikan, membuat lelaki itu bingung akan apa yang ayahnya inginkan untuk makan pagi.

"Nasi goreng kalau gitu," jawabnya pada dirinya sendiri.

"Felix, saya mau brownies kamu."

Tidak, itu bukan suara ayahnya. Melainkan suara dari ujung tangga yang menginstruksikannya untuk membuat kue. Ia mengerjapkan matanya kebingungan lucu karena masih tak dapat memproses apa yang terjadi.

"Kak Lino mau brownies Felix...?"

"Ya."

Senyumnya merekah begitu saja, ia langsung meloncat-loncat di tempat, persis seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan. Ia terlewat senang. Bukannya seharusnya ia mengeluh karena Revalino menyuruhnya melakukan sesuatu yang merepotkan?

"Nanti Felix bikinin yang banyak!"



Matahari & Brownies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang