Empat Belas ; Tamu

595 140 9
                                    

Revalino tidak mampu membalas ucapan adiknya, yang sesungguhnya membuat ia merasa sangat dihargai. Selama ini, ia selalu mendambakan sepatah-dua patah kata untuk mengapresiasi kehadirannya, membuatnya merasa diperlukan. Ia hanya terlalu gengsi untuk berkata, 'terima kasih Felix.'

"Kamu tidur aja, berisik."

"Iyaa, maaf ya kak. Felix tidur disini, boleh kan?"

Dahinya mengernyit, ia lalu memusatkan perhatiannya pada adiknya. "Tau darimana ini kamar saya?"

"Parfum. Parfum kakak maskulin banget, Felix suka. Kalau kakak masuk kamar Felix, baunya bau brownies kak," balasnya diselingi kekehan kecil.

Ia mengulum senyumnya, lalu kembali memandangi langit-langit kamarnya sendiri. Kalau boleh jujur, ia begitu merindukan kue cokelat buatan adiknya itu. Hanya saja, bagaimana cara ia menyampaikan?

"Kalau sudah sembuh, bikin brownies ya."

Felix memasang pose tegap dengan tangan hormat. "Siap, komandan!"

Keheningan muncul setelahnya, hanya hawa dingin air conditioner yang dapat ia rasakan menyejukkan dirinya. Sepertinya Felix sudah tidur, ia mendapati wajah tenang adiknya di sebelahnya yang begitu damai. Tak dapat dipungkiri bahwa rasa benci masih tersisa sedikit di dalam hatinya setelah apa yang dilakukan ibu Felix. Namun Revalino tidak bisa membencinya, Felix terlalu berharga.

Tunggu, apa ini perasaannya saja atau lelaki di sebelahnya ini memang semakin pucat dari hari ke hari? Surai pirangnya tampak hampir memudar, bintik-bintik di wajahnya yang semula terlihat jelas pun kini sedikit samar, serta tubuhnya yang mulai bertambah kurus. Ia jadi semakin khawatir. Sikapnya pun aneh beberapa hari ini, ia juga sering mengambil cuti dari kafe. Apa ada sesuatu yang disembunyikan darinya?

Revalino menggeleng, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Felix baik-baik saja. Tidak mungkin seseorang yang selalu ceria sepertinya mengalami apa-apa, ya kan?

"Maaf ya, Felix. Kakak berlebihan ya ke kamu?"

"Kamu selalu jadi pelampiasan kalau papa marah, yang paling dibedakan di keluarga kita yang nggak sempurna ini. Kamu nggak ada sangkut pautnya sama perbuatan ibu kamu, tapi kakak tetap benci kamu, maaf ya."

"Kakak berusaha buat hilangin perasaan benci ini, karena kamu nggak salah. Kamu spesial, nggak berhak untuk disakiti oleh siapapun, apalagi sama papa."

"Kalau kamu anggap kakak rumah, kalau gitu, kamu matahari kakak. Yang kasih penerangan kalau dunia lagi gelap."

"Selamat tidur, Felix."

Dan dalam diam, seseorang menahan rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya, menahan senyumnya yang sungguh akan mengembang. 

--

"MALEM LIX, BANGUN DONG!"

Teriakan ini, Felix tahu betul siapa sang pemilik dibalik suara dengan nada tinggi yang memekakkan telinga. Ia masih harus mencerna semuanya, mengapa mereka ada di rumahnya? Terlebih, ini kamar kakaknya. Ia mengerti bahwa ia akan habis oleh saudaranya nanti. Keramaian yang mengisi ruangan ini membuatnya bingung, namun juga senang.

"Haikal? Ngapain disini? Loh kok ada Renjani sama Yuan juga?"

"Kata Kak Rev kamu lagi sakit, kan nggak ada salahnya kita jenguk?"

Kakaknya yang memberi tahu semua ini? Yang mengundang teman-temannya untuk menjenguk dirinya? Ya Tuhan, bangun di dunia keberapa ia? Sudah seperti mukjizat Tuhan yang tiada tara.

"Selamat malam, Felix. Saya masakin daging buat kamu sama teman-teman. Setelah ini ayo turun."

Ia mengerjapkan matanya perlahan, otaknya masih terlambat untuk memproses sesuatu yang terlalu kompleks setelah bangun tidur ini. Rambutnya ia acak-acak, menggemaskan. "Tampar Felix dong."

"Kok malah minta ditampar sih kak?" Sahut Jeo heran.

"Ya biar tau ini mimpi atau bukan."

"Cepat, sebelum saya berubah pikiran."

Oh, sifat kakaknya kembali lagi, berarti ini bukan mimpi. 

Dengan tertatih-tatih, Felix mencoba bangkit dari ranjang milik kakaknya, dan nyeri hebat langsung ia rasakan begitu ia gerakkan tubuhnya. Ia meringis. Tanpa basa-basi, pemuda itu mengulurkan tangan yang lebih muda ke depan untuk disatukan, sehingga saat ini ia menggendong adiknya pada punggungnya. Membuat teman-teman Felix menganga, terheran, dan apapun itu ekspresi terkejut yang berbeda-beda. 

"I-itu beneran Kak Rev, kan?"

"Iya, Hanif. Serem banget ya tiba-tiba baik hati gitu, kesambet apa deh?"

"Hush, Kak Haikal gak boleh gitu."

"Habisnya nyeremin banget Je."

Kelimanya yang masih bergunjing tentang kakak Felix langsung salah tingkah begitu pemuda itu menatap mereka dengan tajam. "Ngapain diem aja?"

"I-iya kak maaf habis ini turun kok," balas Yuan takut-takut.

Setelah mengambil tas mereka yang digeletakkan begitu saja di lantai, kelimanya mengikuti instruksi Revalino yang menyuruh mereka untuk turun sedari tadi. Dan di meja makan sudah dihidangkan berbagai macam jamuan, dengan melihatnya saja mereka sudah merasa kenyang. Wah, lumayan, perutnya dimanjakan untuk sementara waktu bagi anak indekos seperti Hanif dan Renjani.

"Asik, ga perlu beli makan nih, Kak Han."

"Bener Ren, menghemat pengeluaran."

Kelimanya menarik kursi masing-masing untuk diduduki dengan takut-takut, hawa di kediaman mereka sangat terasa menyeramkan, entah itu karena kehadiran Revalino atau memang ada makhluk halus di rumah mereka.

"Permisi yaa Kak Rev, permisi juga Felix," ujar Haikal sopan.

"Silahkan, make yourself comfortable."

Sembari Revalino menghidangkan masing-masing porsi untuk mereka, Felix memulai pembicaraan agar suasana tak terlalu canggung. 

"Tuan Leo nyariin aku nggak?"

"Nggak kok Lix, dia sibuk sama kuliahnya deh kayaknya. Kasihan juga ya."

"Betul, Han. Aku ngerasa dia overwork."

Revalino yang mendengar merasa familiar dengan nama yang disebut, menaikkan satu alisnya heran. "Leo? Sultan Leo Cakrawala itu?"

Yuan mengangguk. "Iya kak, kok tau sih?"

"Adik tingkat saya itu."

Mereka menganga heran, pemilik kafe tempat mereka kerja ternyata berteman dengan kakak Felix? Mengapa dunia sangat sempit? Felix pun sepertinya juga terkejut mendengar fakta tersebut. Karena pribadi kakaknya memang sangat tertutup, tak pernah bercerita apapun padanya. 

Mereka tidak membuka omongan sesaat setelah Revalino selesai menghidangkan makanan untuk mereka. Sepertinya dua bersaudara ini sangat mahir memasak, yang satunya ahli dalam makanan penutup, dan yang satunya lagi pandai dalam makanan utama. 

"Makasih ya Kak Rev, masakan kakak enak banget, juara deh. Kalau disandingin sama browniesnya Felix terus buka restauran, beuh, top markotop," puji Haikal.

Keempatnya mengangguk. "Bener kak, udah repot-repot undang kita kesini juga, padahal kan harusnya kita yang bawain makanan buat Lixie, eh malah kakak yang kerepotan," tambah Renjani.

Senyum tipisnya tampak, membuat wajah tampannya semakin terlihat. "Berlebihan, anggap aja ini rasa terima kasih saya karena kalian sudah mau menjaga Felix."

"Kakaknya Felix ganteng juga," bisik Yuan, yang tentunya dapat didengar oleh seisi ruangan karena kepribadiannya yang cerewet.

"Gimana?"

"Nggak kak, maaf."

Penghuni ruang makan itu langsung terbahak melihat gadis yang kini salah tingkah itu. Tak terkecuali senyum Felix yang mengembang. 

"Kak Lino udah punya pacar, Yuan. Kamu mending sama Hanif atau Haikal."

"Ih, ogah!"

Tawa mereka menggelegar sekali lagi.

Matahari & Brownies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang