Tujuh Belas : Anemia

602 121 7
                                    

"Naresh, kamu tau penyakit anemia aplastik?"

Naresh Janendra, mahasiswa kedokteran yang juga teman Revalino karena mereka memasuki satu organisasi kampus. Bisa dibilang, dia pemuda yang hebat karena dapat menyeimbangkan waktu antara belajar untuk ujian tiap minggunya dan organisasi. Belum lagi ia juga disuruh berjualan risol pada saat awal-awal masuk dalam organisasi.

Ia dikejutkan dengan pertanyaan yang tiba-tiba setelah baru saja duduk di kafetaria. Lalu mengunyah kentangnya perlahan, ia lapar setelah berlarian dari lantai tiga ke lantai satu karena ponselnya tertinggal di kelas.

"Itu bahaya loh kak, kenapa?"

"Kamu jelasin aja ke saya."

Omong-omong, Revalino juga bisa mengobrol dengan bahasa gaul juga dengan orang-orang yang benar-benar dekat dengannya. Well,  Revalino berbicara formal hampir setiap saat. Dan rasanya semua orang mulai terbiasa dengan hal itu, sudah tidak menjadi bahan ejekan.

"Anemia aplastik itu kondisi dimana tubuh udah nggak memproduksi sel darah baru lagi. Kan biasanya sel darah itu regenerasi, nah itu sudah enggak kak. Kalo penyakitnya dari keturunan, biasanya cenderung berkembang jadi leukemia."

Revalino terdiam sejenak sebelum melanjutkan mengunyah makanannya. Rasanya begitu sulit untuk mengunyah begitu mengetahui kenyataan pahit yang menimpa adiknya.

"Tapi... Bisa disembuhkan kan?" Tanyanya takut-takut.

"Bisa kak, walau susah. Pake obat keras sama transplantasi darah. Biayanya lumayan gede juga. Kenapa tiba-tiba nanya?"

"Nggak apa, makasih ya."

"Anytime, kak."

︶︶︶︶༉‧₊˚.

Revalino melangkahkan kakinya keluar, melewati lorong-lorong kelas. Jam digitalnya sudah menunjukkan pukul tujuh belas, ia rasa sudah pergantian jam untuk karyawan Kafe Sweet Pea, sehingga sudah waktunya is menjemput adiknya.

Sekaligus untuk memberikan bimbingan mental pada adiknya.

"No, lihat Jarvin dan kawan-kawan? Ga kelihatan batang hidungnya daritadi pagi."

"Ga peduli juga sih, Kak Chan."

"Hush hahaha, kamu masih belum maafin mereka ya? Wajar sih, yang mereka hina itu Felix. Kalo aku jadi kamu juga bakalan begitu."

Chandra menepuk punggung teman seperjuangannya itu perlahan, seolah penderitaan yang selama ini Revalino rasakan mengalir padanya.

"Kak Chan, boleh cerita?"

Lawan bicaranya mengangguk, sembari menarik kedua sudut bibirnya, menampilkan dimple manis miliknya. Lalu menarik lengan Revalino perlahan menuju tempat duduk di taman universitas. "Cerita sini, aku ngerti kamu lagi stress, kamu bahkan beberapa hari ini nggak muncul di grup. Kata Julia juga kalian lagi renggang."

"... Aku nggak tau harus mulai darimana."

Ia menundukkan wajahnya, tetapi tidak menangis. Jantungnya berpacu begitu kencang. Ia tidak tau mengapa begitu gugup untuk bercerita dengan Chandra. Padahal kakak tingkatnya itu sangat-sangat bersedia untuk menampung curhatannya.

"Kalo nggak siap, gak apa apa No, jangan dipaksa. Aku gak pernah maksa kamu buat cerita. Tapi, kelihatannya masalahmu ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan sendiri. Kalo kamu butuh bantuan kita, anak band, kita siap bantu kamu, No. Jangan mendem semuanya sendiri, nggak baik."

Revalino menghela nafasnya. "Aku udah pernah bilang kan kalo Felix beberapa hari ini tambah kurus, di grup chat? Dia nyembunyiin sesuatu dari aku, kak. Dia kena penyakit parah udah hampir beberapa bulan, tapi dia nggak pernah cerita. Alhasil kondisi dia sekarang tambah parah."

Matanya membelalak, ia tidak menyangka akan menjadi seperti ini. "Serius kamu? Terus gimana? Kamu udah konsultasi ke dokter?"

"Untuk saat ini, belum. Nanti aku mau jemput Felix, sekaligus marahin dia, terus mau ngajak check up juga ke dokter. Aku nggak mau dia kenapa-kenapa."

"Mau ditemenin?"

"Nggak usah deh kak, sendiri aja."

"Oke, kabarin ya nanti."

Yang lebih muda mengangguk, kemudian berlarian kecil menuju parkiran yang berjarak agak jauh. Ini sudah jam lima sore lebih tiga puluh menit, mari doakan agar Felix tak menunggu terlalu lama.

Ia mengebut selama perjalanan, karena memiliki perasaan yang tidak enak, entah mengapa. Dan benar saja, begitu ia sampai disana, terdapat segerombol pemuda yang ia sangat kenal. Anehnya, Felix tampak memaki-maki kumpulan remaja itu.

Sial, itu Jarvin.

"Felix? Dek?"

Ia terkejut begitu mendapati Jarvin dan kawan kawannya dimaki-maki oleh Felix, adiknya itu bahkan sampai menunjuk muka mereka dan berbicara dengan nada tinggi, ia seperti melihat sisi Felix yang lain.

Suaranya begitu rendah, membuatnya merinding hingga nyalinya sendiri ciut untuk mendatangi adiknya. Baru kali ini ia mendengar deep voice milik yang lebih muda. Biasanya, ia akan bertutur kata lembut, terutama pada orang yang lebih tua darinya.

Tetapi tubuh adiknya masih utuh dan tak terluka, sepertinya Jarvin tidak melakukan apa-apa padanya, syukurlah.

"Nah, ini nih, dateng kakaknya. Adikmu No? Buta gini, cacat. Kalo jadi kamu sih, malu. Pantes dijadiin bullyan, ya gak?"

Ia menggeram rendah. "Maksud kamu apa? Saya nggak pernah sekalipun malu punya Felix, mending kamu pergi, Jarvin. Saya capek ngurusin kamu."

"Dasar orang gila, tukang bully, awas aja sampe ngapain-ngapain Kak Ino lagi, aku tampar kamu! Dasar jelek!"

"Udah kak, ayo pulang!" tukasnya, dengan nada yang masih kesal, kemudian menarik pergelangan tangan Revalino dengan kasar menuju mobil mereka.

Ekspresinya tampak kesal, alisnya yang bertaut dan bibirnya yang mengerucut. Hanya saja, Revalino malah mendapati muka lucu alih-alih mencoba menjadi menyeramkan sepertinya.

"Kamu tadi ngapain, dek?" Tanyanya lembut, begitu mereka sudah duduk dengan nyaman.

"Marahin Jarvin ya?"

Adiknya menjawab kesal, "ya iyalah! Dia habis jahatin Kak Ino, masa aku diem aja? Lagian tuh nada bicaranya nyebelin banget, aku sampe dimarahin Tuan Leo gara-gara dia. Pengen aku cakar mukanya."

"Udah-udah, kok marah-marah Lix? Kak Ino ga kenapa-kenapa kok."

Dek? Kak Ino? Ada apa dengan Revalino hari ini, tidak beres. Seperti bukan dirinya.

Tuhkan, melihat wajah imut milik Felix membuatnya lupa akan tujuan utamanya.

"Felix."

"Iya?"

"Separah apa penyakit kamu sampai-sampai saya nggak boleh tau?"









Matahari & Brownies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang