Lima Belas ; Rahasia

567 130 4
                                    

"Kalian satu sekolah kan? Gimana sekolahnya?"

Yuan yang masih susah payah mengunyah kini menunjukkan senyumnya. "Biasa aja sih kak, tapi beberapa hari ini agak hectic, karena emang udah semester dua. Kak Rev sendiri gimana kuliahnya? Lancar?"

Yang ditanya membalas dengan anggukan. "Lancar kok, syukurlah. Saya juga agak sibuk karena mau nyusun skripsi, doakan ya."

"Kalo diterima, traktiran jangan lupa kak," ujar Hanif yang langsung ditatap oleh seisi ruangan karena berani melontarkan leluconnya pada kakak Felix yang ditakuti oleh penghuni kafe.

"Iya, Hanif. Nanti saya kenalin juga deh sama teman-teman saya."

Haikal pun turut menimbrung karena melihat temannya yang mulai terbuka pada yang lebih tua itu. "Oh ya, katanya kakak punya band ya? Kalo nggak salah, kakaknya Jeo itu juga punya band loh kak."

"Oh iya?"

"Iya! Namanya Kak Mahesa, kalo nggak salah. Langit Mahesa."

Matanya membola seketika. "Dia vokalis, bukan?"

"Kok tau?" Sahut Jeo dengan nada penasaran.

"Dia vokalis band kami, Jeo."

Lelaki itu tampak menepuk dahinya. "Dunia kenapa sempit banget deh."

Tampaknya mereka sudah selesai mengisi perut mereka, tak terasa waktu berlalu begitu saja karena sedang asik bercengkrama. Teman-teman Felix menyadari bahwa sang kakak tak terlalu buruk, bahkan menjadi semakin baik dari hari kehari. Tak jarang juga Revalino menjemput adiknya, bahkan mengajari adiknya dalam bersekolah. Jackson, sang guru anak istimewa yang juga mengampu Felix terkejut akan perubahan sikapnya yang luar biasa. 

Siapa juga yang tidak terkejut dengan sang kakak yang awalnya adalah seorang iblis berubah menjadi malaikat, walau beum sepenuhnya, hehehe. 

Dilihat Felix yang hendak beranjak dari tempat duduknya untuk merapikan dan mencuci alat makan, yang lebih tua langsung mendorong pundaknya untuk duduk kembali.

"Kamu duduk aja, saya yang bereskan."

"Makasih banyak ya, Kak Lino."

"Ya."

Dirasa kehadiran Revalino yang sudah menjauh dari pandangan mereka, Jeo memberanikan diri untuk angkat bicara mengenai sesuatu yang mengganjal pikirannya sejak lama. "Kak Lix, soal penyakit kakak..."

Yang diajak bicara hanya menunduk, mereka semua mengetahui bahwa lelaki itu menahan mati-matian agar tangisannya tidak keluar. Mereka sendiri juga ingin sekali menangis melihat keadaan teman seperjuangannya itu. "Aku kena anemia aplastik, Je. Penyakit itu cuma sembuh dengan keajaiban Tuhan."

Kelimanya terasa begitu lemas. Penderitaan apa lagi yang harus dialami Felix? Bukankah semua ini terlalu berlebihan untuk lelaki sepertinya yang hanya memiliki satu mimpi, yaitu untuk membahagiakan ibunya? 

Renjani sudah meneteskan air matanya, dan Felix mendengar isakannya. Ia tidak suka ini, ia tidak suka teman-temannya sedih hanya karenanya. Felix mengusap air mata gadis itu perlahan, menunjukkan senyum cerah terbaiknya. "Renjani gak boleh nangis, ya? Aku bakalan nemenin kamu sama yang lain kok, selama masih disini."

"Kak Lixie ngomong gitu seolah mau ninggalin kita... Janji kan harus selalu disini?"

Keadaan menjadi hening.

"Maaf ya, aku nggak bisa janji."

Tangisannya semakin menjadi, sedangkan keempat temannya hanya memperhatikan Felix merengkuh gadis itu dalam pelukannya. Mereka tak bisa berbuat banyak selain juga menahan tangisan mereka. Selama mereka mengalami hari yang buruk di kafe, hanya Felix lah yang selalu mencerahkan mood mereka kembali, hanya ia yang selalu sabar menghadapi customer tak tahu diuntung, hanya ia yang dapat melunakkan sang bos yang awalnya terlihat begitu menyeramkan.

"Lixie... yakin nggak mau bilang aja sama Kak Rev? Aku yakin dia tau yang terbaik."

"Nggak deh, Han. Udah cukup aku ngerepotin ayah sama bunda, nggak perlu ngerepotin Kak Lino juga."

"Ini ngapain kok nangis? Kamu apakan anak orang Lix?"

Tubuhnya terlonjak begitu saat mendenar vokal kakaknya, Renjani langsung buru-buru mengusap air matanya. Felix pun melepaskan pelukannya.

"Nggak kak, Renjani ditolak sama Felix yang kedua kalinya, makanya begitu," balas Haikal dengan tawa yang agak sedikit dibuat-buat.

"Ih apasih Kak Haikal!"

"Oalah, Ya Tuhan anak jaman sekarang, saya kira kenapa. Kalau mau ngerayu Felix gampang kok, nanti juga luluh."

"Kak Lino!" Sahut Felix yang kini pipinya kemerahan.

Tawanya menggelegar seketika, ia menarik kursi untuk duduk di sebelah adiknya, memandangi yang lebih muda yang kini sedang mengunyah cookies di atas piring. Ia benar, Felix semakin pucat dari hari ke hari, ini bukan perasaannya saja, bibirnya juga semakin kering. Mungkin itu hanya efek karena ia masih sakit, pikirnya.

Ia mengusir poni yang menutupi dahi adiknya, memandang wajah itu lekat-lekat, menggenggam dagu Felix dengan satu tangannya, yang diperlakukan seperti itu hanya bisa pasrah dan menunduk, takut ia akan diapa-apakan lagi. "Kamu kok semakin pucat, Lix?"

Benar, tidak mungkin Revalino tidak memperhatikan. Kelimanya hanya menjalin kontak mata satu sama lain dengan tatapan yang tak dapat diartikan. "Efek sakit kali kak, kan biasanya begitu," sahut Hanif, berusaha terdengar tak mencurigakan dan menyembunyikan sesuatu.

Mereka berlima tampak membereskan segala sesuatu, memasukkan barang mereka sendiri ke dalam tas, dan membantu membersihkan meja makan, lalu beranjak berdiri. "Kak, kita pamit dulu ya, udah malem, waktunya Kak Rev sama Lixie istirahat. Terima kasih banyak buat jamuannya hari ini, maaf kalau merepotkan," tutur Haikal, sembari menyalami tangan yang lebih tua.

"Sama-sama. Sering kesini ya, Felix kelihatan senang sekali kalau ada kalian."

Kakak beradik itu pula tampak bangkit dari tempat duduknya untuk mempersilakan mereka pulang, mengantar mereka sampai ke depan gerbang. Felix melambaikan tangannya sembari tersenyum. Lalu Revalino dengan perlahan menuntunnya kembali masuk ke dalam rumah setelah kendaraan tersebut hilang dari pandangannya. 

"Felix."

"Iya kak?"

"Kamu... Nggak merahasiakan sesuatu kan dari saya?"

Matahari & Brownies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang