Dua Puluh Empat ; Kelulusan

643 123 5
                                    

Aku menatap cermin di hadapanku, sudah sehari aku menginap di studio. Kemarin aku pingsan, ternyata, pemakaman Felix diadakan secara cepat, karena hari ini aku harus menghadiri upacara kelulusan. Kak Chandra, dan teman band lainnya langsung membawaku ke studio untuk menjauhkanku pada Damian, jadi mereka ikut menginap disana juga.

Kantong mataku hitam dan tebal, parasku sembab, bibirku menebal dan merah. Wajahku tak karuan, benar-benar acak-acakan. Aku seperti seorang pengidap narkoba. Kak Chandra yang sedari tadi sibuk berkutat dengan laptopnya, kini menatapku dengan rasa iba.

"No... aku nggak sanggup lagi mau ngomong apa, Felix anak baik, aku rasanya juga nggak mau kehilangan dia."

Aku mendapati Langit dan Julia yang masuk bersamaan, membawakanku makanan, keduanya tampak begitu khawatir. Aku masih tak dapat berbicara apapun, air mata yang ingin kukeluarkan sudah tidak ada lagi.

"Kak No... Jeo baru cerita kemarin. Semoga kakak bisa ikhlas kedepannya. Felix udah nggak sakit lagi."

Hening.

"Ayo siap-siap. Kita harus dateng ke acara wisuda, Julia."

Ketiganya terkejut akan pernyataanku barusan, rahangku menegas, aku harus segera menyelesaikan seluruh urusanku dan kembali menengok makam Felix.

︶︶︶︶༉‧₊˚.

Setelah nama kami disebut oleh MC, kami berempat langsung menaiki panggung dengan antusias. Hal ini adalah yang paling kami nantikan, karena berlatih setiap minggunya hanya untuk festival musik. Omong-omong, aku adalah back up singer. Kami menaiki tangga panggung dengan penuh percaya diri, aku membersihkan tenggorokanku, membersihkan semua kegelisahan di dalam hatiku.

Langit memulai. "Lagu ini kami persembahkan untuk adik dari gitaris kami, Revalino Aksara. Yang saat ini juga melihat penampilan kami."

"Dari surga," sambungnya.

Aku diam saja, sedikit terkejut akan ucapannya barusan, tak kusangka ia akan menyebut Felix. Raut muka penonton tampak terkejut, tatapan itu berubah menjadi tatapan kasihan padaku. Aku hanya menanggapi mereka dengan senyuman.

Felix sadar tidak ya, kalau hilangnya dia membuat luka banyak orang?

Kami menyanyikan lagu yang pertama kali kami nyanyikan di hadapan Felix, Hikaru Nara. Dilanjut dengan lagu buatan kami sendiri, yang liriknya paling banyak didistribusi oleh Kak Chandra.

Riuh tepuk tangan terdengar jelas begitu kedua lagu itu selesai kami tampilkan. Kelima remaja itu bertepuk tangan pula, aku memincingkan mata; Leo, Haikal, Hanif, Yuan, dan Renjani hadir untuk melihat kami. Teman-teman Felix yang awalnya begitu kubenci, kini melihat penampilan amatir kami.

Aku tersenyum, untuk kedua kalinya pada mereka.

Kami membungkukkan tubuh tanda hormat pada juri, kemudian menuruni tangga dengan tepuk tangan dari penonton yang masih ricuh. Aku buru-buru mengambil kunci mobil, menyerahkan sisa acara pada mereka, apabila kami menang, mereka harus tetap menerima penghargaan itu.

Kulajukan kendaraanku dengan kencang ke rumah biadab sialan itu, kutatap ia yang sedang duduk termenung di teras, pandangannya kosong. Aku menarik kerahnya, kutinju muka sialan yang berani menyakiti orang-orang yang kusayang.

Ia tidak melawan.

Pukulan demi pukulan yang kulayangkan, hanya ia terima dengan pasrah, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Mulut dan hidungnya mengeluarkan banyak darah, aku menyeretnya masuk ke dalam mobilku.

Disinilah kami, di kantor polisi.

Aku mengeluarkan CD, tape, berkas, dan segala bukti yang kukumpulkan selama ini.

"Bedebah ini yang membunuh adik saya, menggelapkan uang perusahaan, dan melakukan kekerasan rumah tangga."

"Saya tidak peduli bahwa ia CEO terkenal, saya bisa memberi kalian lebih banyak uang daripada pria tua ini, ia bangkrut sekarang."

Polisi-polisi itu tampak ketakutan, kemudian mengangguk, melakukan apa yang kuperintahkan. Entah berapa tahun, yang penting aku ingin melihat bajingan itu dibalik jeruji besi.

Kupacukan kembali mobilku, kalian sudah tau aku akan kemana.

Bunga yang sudah kubeli kuletakkan di sampingnya, sembari membaca doa.

"Felix, halo. Sudah lihat kelulusan kakak kan? Kakak juga tampil tadi. Teman-teman kamu datang loh, Lix. Mereka beli enam tiket

dengan satu bangku kosong."

Matahari & Brownies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang