Dua Puluh Satu ; Star Gazing

509 115 3
                                    

Recommended playlist untuk part ini:

Secret Secret by Stray Kids

Star Lost by Stray Kids

Rewrite The Stars by James Arthur and Anne Marie

Waktu mengalir begitu cepat, tak terasa, aku sudah akan menghadapi sidang skripsi dan ujian akhir. Apa kabar Felix? Yup, tentu saja, Felix sudah boleh pulang ke rumah karena kondisinya yang jauh lebih baik. Tekanan darahnya masih jauh di bawah rata-rata, namun ia beruntung karena obat-obatan keras yang membuatnya mual dan transplantasi darah itu membuahkan hasil.

Ia tidak bisa berhenti tertawa dan tersenyum selama di perjalanan denganku, bahkan kerap kali bersenandung ketika lagu kesukaannya diputar. Begitupula dengan aku yang merasakan kebahagiaan membuncah di hatiku. Biaya rumah sakit tidak murah, tetapi karena uang saku yang diberi papa selalu kutabung, hal tersebut dapat ditutup, terlebih lagi Julia yang selalu siap membantuku dalam kondisi apapun.

Pak dokter membawa kabar baik tersebut tadi malam, dan pagi ini aku langsung meluncur untuk menjemput adikku. Aku memasak terlebih dahulu sebelum itu, memastikan adikku tidak kelaparan. Tiga dari harapannya sudah kupenuhi, dan aku akan terus memenuhinya, kecuali ia yang ingin bertemu dengan bundanya. Tidak, aku tidak mau melepasnya secepat itu dan meninggalkanku sendiri.

Aku sudah memiliki motivasi hebat untuk menjalankan sidang dengan siap, begitu pula dengan ujian akhir. Sialan, tapi tetap saja jantungku terasa ingin lepas. Kak Chandra sudah lulus, ia kini menjalani pekerjaan sebagai produser musik dan mendesain studionya sendiri, karena ia memang satu jurusan denganku. Kami masih saling mengontak satu sama lain, juga latihan rutin walau sama-sama sibuk. Julia sepertinya juga sibuk, aku tidak tau apa-apa soal jurusan manajemen, jadi jangan tanya aku. Langit berada dua tahun di bawahku, dan mengambil jurusan seni musik. Sepertinya ia tidak terlalu sibuk, namun juga tidak terlalu santai.

Kami sudah sampai rumah, dan aku membopongnya ke dalam kamarnya sendiri, lalu ikut merebahkan diriku di sebelahnya. Aku berusaha menetralkan detak jantungku yang tidak karuan, karena ini momen yang harus dialami hanya sekali dalam seumur hidup. Jika aku mengacaukannya, aku harus mengulang lagi.

"Saya mau sidang skripsi, doakan saya, Lix."

"Pasti! Tapi Felix yakin semuanya bakalan lancar, karena Kak Ino pinter, pinter banget, Kak Ino juga hebat."

Dadaku menghangat begitu saja. Aku yakin aku dapat mengatasi ini dan lulus. Karena setelah itu aku akan menjadi peserta upacara kelulusan bersamaan dengan Julia apabila kami dapat lulus bersama. Serta tampil di mall bersama member band yang lain dan Felix akan menyaksikan. Ya Tuhan, rencanaku sudah sempurna, tolong jangan ada yang mengacaukan hal ini.

"Saya berangkat, Felix."

"Hati-hati kak.."

Aku memakai tas ranselku, merapikan kemejaku sejenak, kemudian merampas kunci mobil yang kuletakkan di meja.

︶︶︶︶༉‧₊˚.

Lancar. Sidangku berjalan lancar. Aku ingin sujud syukur saat ini juga rasanya. Astaga, hari ini benar-benar diisi dengan hal-hal yang menyenangkan hatiku. Julia sudah menungguku di depan, aku memeluknya begitu saja yang juga melemparkan senyum bahagianya padaku. Ia menatapku dengan bangga.

"Sayang, selamat! Kok tumben Pak Jayden nggak tanya aneh-aneh?"

Aku terkekeh. "Hari keberuntunganku, mungkin."

"Habis ini kamu mau ajak Felix ke puncak kan?"

"Iya, Julia. Sudah sore, pasti sampai sana malam."

"Alright, have fun bub," ucapnya, kemudian melayangkan flying kiss dan beranjak pergi.

Dua hari lagi adalah hari kelulusanku, dan tentu saja Felix akan melihat kami bermain di festival musik yang bertepatan di hari yang sama, syukurlah. Julia, Kak Chandra, dan Langit begitu bekerja keras untuk ini, aku tidak ingin mengecewakan mereka. Mobilku kulajukan dengan kecepatan di atas rata-rata agar cepat sampai rumah.

Felix sudah menyambutku di ayunan depan teras rumah sembari memasang earphonenya, aku menepuk pundaknya dan ia tampak berjengit kaget.

"Sudah selesai, sekarang kamu siap-siap, mau saya ajak."

"Kemana kak?"

"Rahasia."

Ia mengerucutkan bibirnya lucu, kemudian aku menuntunnya untuk memasuki kamarnya sendiri, melihatnya berganti pakaian. Astaga, Felix benar-benar kurus, tidak seperti saat pertama kali aku mengenalnya, tetapi aku bersyukur ia sudah menjadi lebih baik sekarang.

Perjalanan kami memakan waktu kurang lebih empat puluh menit, aku meminjam peta dari penduduk setempat agar tak tersesat, rasanya ini tidak terlalu tinggi, aku akan kuat membawa barang bawaanku sendiri sembari menggendong Felix. Selama berada di punggungku, ia tak henti-hentinya tertawa, entah apa yang lucu. Atau jangan-jangan mukaku terlihat aneh saat ini?

Kami sampai di ujung, menggelar karpet merah yang baru saja kubeli kemarin, lalu memakaikannya mantel tebal karena memang udara sangat dingin. Ia tampak begitu bahagia, namun hidung dan pipinya bersemu merah karena kedinginan. Felix menyandarkan kepalanya di pundakku, merasakan angin semilir yang menerpa tubuhnya. Aku mengeluarkan satu persatu makanan yang kubuat dengan susah payah, serta gitar yang masih terbalut pada tas.

Jemariku mulai memetik sesuai nada, semoga suaraku tidak berubah karena kedinginan.

"What if we rewrite the stars?

Say you were made to be mine.

Nothing can keep us apart.

You be the one I was meant to find."

Ia masih merekahkan senyumnya sembari mencemili pai apel, mengeluarkan beberapa kertas, aku memilih untuk membacanya.

"Aku ngumpulin sertifikat loh kak! Itu waktu aku ikut lomba memasak disabilitas, kakak bangga nggak sama Felix?"

Anak ini...

"Bangga, saya bangga sama kamu Felix. Kamu sudah berjuang keras, terima kasih ya."

Ia menggandeng lenganku, lalu mengusap pucuk kepalaku. Aku diam saja, lebih tepatnya tidak tau apa reaksi yang harus kukeluarkan.

"Kak."

"Hm?"

"Felix udah sembuh, tapi rasanya masih kangen bunda."

Matahari & Brownies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang