Dua Belas ; Teman Ayah

608 149 9
                                    

Tw // kekerasan, sedikit darah, pelecehan.

Decitan mobil terdengar perlahan saat Revalino memarkirkan kendaraannya, ia siap untuk mendapat sambutan hangat dari seisi tempat itu, mereka dikenal dengan pelayanannya yang nomor satu.

Keduanya telah sampai pada kafe itu, tempat Felix menyimpan segala bahagia dan keluarga keduanya, terlihat bahwa pegawai atau barista yang sedang berjaga disana hingga terpaku dan melanga atas apa yang mereka saksikan. Seorang Revalino Aksara berbaik hati? Pada adiknya? Wah, sepertinya dunia sedang tidak sehat. 

"S-selamat datang di Kafe Sweet Pea, kak. Mau pesan apa?"

"Kok gugup gitu, kenapa?" Tanya Lino pada salah satu barista laki-laki bersurai agak panjang.

"N-nggak apa-apa kak."

Pemuda itu tertawa sembari mengusak rambut yang di sebelahnya. "Jaga Felix baik-baik ya, Haikal. Saya minta tolong."

"Wah, pasti itu kak."

Mereka berdua duduk setelah menyampaikan pesanan masing-masing, dan Felix hendak beranjak dari kursi itu. Sang kakak menahan tangannya. "Saya bercanda, Felix. Kamu duduk saja, biar mereka yang buatkan."

Tak lama kemudian lelaki yang satunya muncul untuk mengantarkan hidangan. Ia tersenyum dan buru-buru pergi begitu tatapan intimidasi Revalino kembali. Felix tampak lapar, memang ia makan dengan porsi yang sangat sedikit siang tadi, ia terburu-buru memasukkan pai apel itu dalam mulutnya, membuat remahan kue itu menyebar kemana-mana. Ia mengulum senyumnya, menahan tawa, dan menyodorkan segelas cokelat panas.

"Pelan-pelan, saya juga nggak bakal minta."

"I-iya kak, maaf."

Yang lebih tua sengaja hanya memesan lemonade squash, karena sebenarnya ia tak terlalu selera menyentuh hidangan. Ada sesuatu yang kerap mengganjal pikirannya, namun tak berani ia sampaikan.

"Sudah selesai? Ikut saya ke supermarket."

"Oh, mau belanja bulanan kak?"

Lawan bicaranya tidak menjawab, melainkan menarik paksa tangannya setelah membayar dan memberi tip pada dua orang barista yang masih ditinggal dalam keadaan speechless. Revalino mendorongnya hingga jatuh terduduk pada jok mobilnya yang empuk.

"Temen kamu, Renjani, suka ya sama kamu?"

"Nggak kak, kita temenan biasa kok."

"Halah, saya lihat tatapan dia ke kamu, Lix, saya nggak bodoh, kamu saja kurang peka."

Yang diajak mengobrol hanya tertunduk malu, mengingat dua bulan yang lalu gadis itu menyatakan cintanya pada Felix, tetapi ditolak olehnya. Felix merasa bahwa Renjani pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik darinya, yang tidak buta atau cacat. Tetapi, semenjak kejadian itu mereka tetap menjalin hubungan sebagai sahabat, dan malah membuat mereka semakin dekat.

"Umm, iya sih. Dia pernah nembak Felix, kak."

Tatapannya langsung ia alihkan pada lelaki di sebelahnya. "Sudah besar ya kamu, Lix."

"Tapi Felix tolak."

"Kenapa? Menurut saya Renjani cocok untuk kamu, dia manis juga, walau tidak lebih manis dari Julia."

Ia mengeluarkan kekehan kecil begitu mendengar kebucinan kakaknya. "Karena Felix buta, kak."

Kalimat singkat itu mampu membuat dadanya terasa sesak. 

"Nggak ada hubungannya, kamu punya pacar juga saya bodoamat, nggak ngelarang."

Ia tutupi rasa sedihnya dengan kata-kata pedas andalannya, memang seperti itulah sifatnya.

Matahari & Brownies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang