Dua ; Brownies

1.3K 202 37
                                    

Sang raja sinar sudah menampakkan dirinya di ufuk timur, aku berjengit kaget begitu mendengar derap langkah seseorang masuk ke kamarku, menarik kembali selimut dingin yang rasanya terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Udara masih terasa begitu sejuk, dan kasurku yang posesif, seperti tidak ingin aku berada jauh darinya. Anak itu memasuki kamarku, menaruh tiga potong kue brownies pada piring putih cantik yang mama dapatkan kala itu, disertai dengan segelas susu.

"Selamat pagi, Kak Lino. Dimakan ya, Felix buat sendiri browniesnya."

Aku tidak menyahuti apa-apa, terlalu malas untuk membalas setiap ucapannya. Aku sangat, sangat membenci dirinya, dan kelak kau akan mengerti mengapa perasaan itu timbul pada bocah SMA yang serumah denganku ini. Ia menyusuri pintu kamarku dengan meraba benda itu menggunakan telapak tangannya. Kemana tongkatnya? Aku juga tidak mau tahu sih, biarkan saja.

Aku turun setelah memakan brownies buatannya, meneguk susu yang ia sediakan. Ini enak, semua yang berasal dari tangannya memang selalu enak, aku hanya tidak punya cara yang tepat untuk menyampaikannya. Aku malu. Harkat martabatku akan jatuh bila aku memujinya secara terang-terangan. 

Aku terkejut masih mendengarnya bersenandung di lantai atas, suara beratnya terdengar sampai ke bawah. Apa anak itu membersihkan kamarku? 

Bagus, aku tidak perlu menyewa pembantu yang datang sekali dalam sebulan untuk membersihkan rumah. Aku sudah mempunyainya yang siap untuk kuperintahkan mengerjakan apa saja, hahaha. Enak sekali bukan, menjadi aku?

Felix menggunakan kedua tangannya, yang sebelah kiri ia tempelkan pada tembok, sedangkan yang sebelah kanan ia gunakan untuk berpegangan kuat pada tiang tangga. Ia berjalan perlahan, mendekatiku yang masih sibuk mengalungkan handuk pada leherku.

"Kuenya enak kak? Kalau enak, kakak makannya sambil senyum dong!"

"Kenapa tanya?" 

"Felix beneran mau lihat Kak Lino senyum."

Aku tidak mengatakan apa-apa setelahnya. Lagipula, ini sudah jam delapan, aku harus segera berangkat kuliah, dosenku yang cerewet itu akan mengomel panjang lebar layaknya struk belanja bulanan apabila aku terlambat bahkan satu menit pun. Felix? tentu saja ia bersekolah di rumah, atau kalian menyebutnya homeschooling. Aku dan papa terlalu malu untuk memasukannya ke sekolah umum, itu akan menghancurkan reputasi kita berdua. Walau aku sama bencinya dengan papa seperti aku membenci Felix, namun hanya hal itu yang dapat aku setujui dari pendapat papa.

Ia hanya sibuk berkutat di dapur, parfum permen karet yang ia gunakan dan menguar ke segala penjuru ruangan terkadang membuatku mual, aku tidak menyukai bau manis itu. Setelah membersihkan diri, Felix menghampiriku, menengadahkan tangannya. Apa yang diinginkan anak itu?

"Kak, boleh Felix pamit sama kakak?" Ia tersenyum.

Aku menamparnya.

Cukup keras hingga aku bisa melihatnya jatuh terduduk dan bekas itu pada pipi yang awalnya putih pucat, kini berubah menjadi kemerahan. "Kamu menjijikkan, Felix," lontarku padanya.

Ia terdiam, masih dalam keadaan duduk. Netra putihnya itu kini memandangku, dengan senyuman yang sungguh, ingin membuatku menamparnya lagi.

"Maaf kak, Felix nggak akan melakukannya lagi. Kakak hati-hati di jalan ya!"

Aku memutarkan badanku dan melesat begitu saja, bersiap untuk mengambil kunci mobil. Postur tubuhnya yang mungil tampak berusaha untuk berdiri, ia lalu mengusap bercak basah  kemerahan pada hidungnya.

Matahari & Brownies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang