Enam Belas ; Wishlist

555 124 6
                                    

"Nggak ada lah kak, memangnya Felix mau menyembunyikan apa dari kakak?"

"Saya ngerasa kamu punya rahasia. Tapi nggak apa-apa, saya percaya sama kamu, cerita sama saya kalau sudah siap."

Felix melemparkan senyum lebarnya. "Felix beneran nggak punya rahasia. Kalo ada sesuatu, Felix pasti cerita sama kakak! Karena ya emang Felix cuma punya kakak sama temen-temen kafe."

Disinilah mereka, memandangi langit-langit kamar Revalino yang tidak berubah dari sebelumnya. Sudah tiga hari ini Felix tidak tidur di kamarnya sendiri, dan ia merasa amat bahagia karena itu. Kehangatan yang selama ini ia dambakan dengan seorang kakak, telah tercapai. 

"Kak."

"Hm?"

"Felix pengen sesuatu, boleh nggak?"

"Mau apa?"

Ia menghela nafasnya sejenak. "Mau ke puncak, terus star gazing sama kakak. Terus kakak nyanyiin Felix lagu."

Lawan bicaranya menyunggingkan senyum tipis, kemudian beralih menghadap adik semata wayangnya. "Tunggu kamu sembuh dulu, ya?"

"Felix sabar nunggu kok." 

Matanya mulai terpejam perlahan-lahan, ia lelah sekali padahal tidak melakukan apa-apa, namun rasanya ingin terus beristirahat. Revalino mengelus pucuk kepala Felix perlahan, semakin mengantarkan lelaki itu untuk tidur. Tubuh mungil Felix terlihat sekali semakin kurus, collarbonenya tampak jelas. 

Felix tertidur, dengkuran halusnya terdengar, parasnya tampak begitu tenang dan indah. Revalino semakin merasa bersalah pasca apa yang ia lakukan pada adiknya, tak dapat dipungkiri bahwa ia masih menyimpan rasa benci padanya setelah apa yang ibu Felix lakukan pada mamanya.

Terkadang ia merasa mengapa semesta begitu jahat pada keduanya, membuat mereka berdua renggang dengan salah satu yang membenci dan satunya lagi mengasihi. Apapun yang dilakukan Revalino di masa lalu, itu sangat kelewat batas, ia menyadarinya sekarang. Rasa gengsilah yang menutup keinginannya untuk meminta maaf.

"Kenapa ya Lix, kita nggak ditakdirkan untuk jadi kakak adik pada umumnya."

"Kenapa saya harus benci sama kamu sedangkan kamu menganggap saya sebagai rumah kamu."

Namun sesuatu masih mengganjal pikirannya, bukan ia tak percaya pada Felix, tetapi ia dapat melihat jelas bahwa Felix berbohong, walau ia pun tak yakin begitu. Ia beranjak dari ranjang, meninggalkan adiknya sendiri, memastikan beberapa saat agar ia tak terbangun, lalu melangkah perlahan menuju kamar Felix, berusaha tak menimbulkan suara apapun. 

Yang Felix katakan ternyata benar, ia dapat mencium bau brownies bahkan dari lorong yang jaraknya beberapa langkah.  Kamarnya bernuansa putih, begitu bersih dan terjaga. ia belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya ke tempat ini. Kalau tidak salah, teman Felix memang pernah diam-diam mengunjungi kamarnya untuk mendekorasi, dan revalino mengusir mereka begitu ketahuan.

Terdapat rak susun tiga yang menarik perhatiannya, ia membuka salah satu dari rak itu, yang dapat ia temukan hanyalah beberapa uang tabungan dan alat tulis. Rak kedua, malah lebih mengejutkan lagi, ternyata berbagai krayon, pensil warna, dan buku sketsa. Ia membuka buku sketsa itu, isinya masih kosong, Felix belum menorehkan apapun disana. Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan.

Ia hendak meninggalkan tempat itu, hanya saja langsung tersadar bila ia belum membuka rak ketiga. Namun begitu ia mencoba membuka, sepertinya terkunci, karena ia mengalami kesulitan dalam menariknya, menambah rasa curiganya. Ia berjalan kesana kemari untuk menemukan kuncinya, dan hasilnya nihil. Ia mengacak rambutnya frustasi, dan mendudukkan dirinya di ranjang milik Felix. 

Kling

Ia langsung memeriksa bawah kasur begitu mendengar suara dentingan logam dengan lantai kamar.  Raut mukanya cerah begitu kunci tersebut datang dengan sendirinya, saatnya ia membuka seluruh rahasia Felix. Sebenarnya ini pelanggaran privasi, tetapi rasa penasarannya membuncah begitu Felix terus menerus menyembunyikan sesuatu darinya.

Buku diari, tumpukan kertas, dan pena.

Bola matanya menelusuri tulisan-tulisan yang sedikit kurang bisa terbaca itu, karena Felix memang tidak bisa melihat tulisannya sendiri dan tidak ada yang membimbingnya untuk menulis karena diari bersifat rahasia.  Air matanya mulai terkumpul di pelupuk matanya.

Dari halaman satu hingga empat puluh lima, Felix menulis segala tentang kakaknya, Revalino Aksara. Tentang bagaimana bersyukurnya ia masih memiliki keluarga, tentang ia yang begitu bahagia melihat perubahan sikapnya, tentang cuitannya kepada bundanya yang masih menceritakan tentang Revalino, bahwa selama ini kakaknya telah mendatangkan beribu euforia dan kupu-kupu di perutnya. 

Ia belum sampai di akhir tulisan, karena selembar kertas lusuh terjatuh begitu saja, menarik perhatiannya.

Didiagnosa memiliki penyakit anemia aplastik.

Ya Tuhan, apalagi ini.

"Ini yang kamu coba sembunyikan dari saya, Felix?"

"Apa saya nggak berhak tau bahwa kamu punya penyakit? Saya kakak kamu, Felix."

Ia semakin meremat kertas itu, menangisi keadaan adiknya. Pemuda itu tidak terlalu mengetahui mengenai penyakit, tetapi ia yakin itu adalah sesuatu yang parah hingga menggerogoti adiknya dari dalam.

Revalino memberanikan dirinya untuk membaca lanjutan buku harian milik sang adik lagi, kebanyakan curhatan adiknya adalah tentang dirinya. 

Aku nggak tau mau bilang gimana, Kak Ino. Maaf kalau terkesan menyembunyikan semuanya. Felix nggak mau semua jadi tambah rumit. Felix percaya kok sama Kak Ino, tapi rasanya berat untuk sekadar ngomong jujur. Dan Felix punya banyak permintaan yang nggak bisa dikabulin sendiri. Sebelum Felix ketemu bunda, Felix mau perlahan lahan ngelakuin semua permintaan Felix dengan bantuan orang terdekat. Kalau nanti pada akhirnya Felix istirahat, Kak Ino bakalan sedih nggak?

Wishlist :

- Bikin Kak Ino jatuh cinta sama brownies Felix [berhasil]

- Dengerin nyanyian dari Kak Ino [belum]

- Diajarin ngegambar sama Kak Ino di buku sketsa [belum]

- Request Kak Ino masakin yakiniku [belum] 

- Ke puncak bareng Kak Ino [belum]

- Lihat Kak Ino tampil sama Kak Julia di acara graduation [belum]

- Ketemu bunda

Ia merasakan matanya yang begitu panas,  hatinya tak sanggup untuk melanjutkan, tetapi pikirannya berkata sebaliknya, mengatakan bahwa Revalino harus membaca hingga akhir. Oh, ternyata ini adalah tulisan terakhir Felix. Hari ini ia belum menulis apapun pada buku hariannya.

"Saya nggak bakalan sedih, Felix. Karena saya tau kamu kuat, kamu bisa melawan penyakitmu."

Matahari & Brownies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang