Delapan ; Bully

739 160 10
                                    

"...Begitu ya dok."

"Saya mohon maaf sedalam-dalamnya, Tuan Felix... saya akan selalu membantu anda dalam setiap pertemuan kontrol, anda tidak perlu khawatir."

Felix menundukkan kepalanya lesu setelah mendengar penjelasan langsung dari sang dokter tentang penyakit yang menyiksanya secara perlahan, mulai dari detil penyakit tersebut, macam-macam pengobatan dan terapi yang harus ia jalankan agar cepat sembuh, dan biaya total untuk perawatan kedepannya. Ia sebenarnya sudah tau sejak awal, namun tidak yakin karena ia belum bertanya langsung pada ahlinya. Karena gejala yang ia alami, sama dengan yang bundanya rasakan kala itu, sebab itu ia sudah mengira bahwa akan mendapat kelainan yang sama dengan wanita yang telah melahirkannya itu.

Sebenarnya ia begitu ingin menghubungi Jeo dan memberitahu perihal kondisinya, tetapi rasanya ia hanya akan mengganggu yang lebih muda. Karena itu, lebih baik ia memendamnya sendiri saja.

Mau tidak mau, ia mengangguk pasrah. Menerima takdir apa saja yang akan datang pada dirinya. Ia menerima secarik kertas yang diberikan. Lelaki itu menyimpan rapat-rapat surat dokter yang telah diberi dalam saku celananya, beranjak dari kursi tunggu dimana ia dilakukan pemeriksaan sebelumnya. Langkahnya gontai dan terseok-seok karena tubuhnya begitu lunglai, wajahnya ditekuk lesu, ekspresi itu harus berubah begitu ia sampai rumah, memasang topeng yang selalu ia kenakan setiap hari.

Gerbang telah dibuka oleh pak satpam, dan seperti biasa, beliau akan selalu membantu anak majikannya walau majikannya sendiri malah tak peduli. Senyum hangatnya juga disapa oleh sahutan selamat malam oleh pria paruh baya itu, mempersilahkannya masuk sampai ke dalam rumah, lalu menutup kembali dua pintu megah itu.

"Aku pulang," salamnya pada seisi rumah.

Seperti biasa, tidak pernah ada yang menyahuti perkataannya. Felix masih berkali-kali memegangi kepalanya yang pening, ia langsung bergegas ke atas untuk meletakkan barang-barangnya dan membersihkan diri. Pakaian bersih itu ia bawa sedangkan handuk merah muda kesayangannya ia kalungkan di leher.

Air hangat ia rasakan membelah kulit halusnya, mengobati memar dan bekas luka yang ada pada dirinya. Ia memejamkan matanya seolah melepaskan seluruh bebannya. Surai pirangnya lembek dan lemas begitu guyuran tirta menyambut kulit kepalanya. Ia menghentikan shower yang terus berpacu, keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya, menggelengkan kepalanya seperti anak anjing yang lucu.

Ia memberi semangat pada dirinya sendiri, karena memang tak seorangpun dapat mendengarnya disini. "Kalo Felix nggak ada, yang masakin kakak sama ayah siapa dong... Felix harus tetap hidup, semangat Felix!"

Surat pernyataan dokter yang bertuliskan apa yang ia derita tersebut disimpan rapat-rapat dalam laci, bersamaan dengan buku hariannya. Ia menyusuri lorong setelah pergi dari kamarnya, menghentikan kakinya begitu ia mendengar isakan-isakan yang keluar dari kamar kakaknya. Kurang yakin, ia memilih untuk mendekatkan indra pendengarannya pada daun pintu. Apa yang ia dengar benar, suara tangisan itu berasal dari kamar kakaknya, begitu pula dengan kalimat-kaliamt kasar yang pemuda itu lontarkan pada dirinya sendiri. Seorang Revalino Aksara membenci dirinya sendiri, dan Felix tidak suka itu. Tanpa basa-basi, ia mengetuk perlahan, menunggu jawaban apa saja yang keluar.

"Kak, Felix boleh masuk?"

"Pergi."

"Nggak mau, Felix tetep masuk."

Seolah tak mendengar, ia tetap memasuki kamar kakaknya dan mengambil tempat sedekat mungkin dengan sumber suara pemuda itu.

"Saya bilang pergi, Felix. Atau saya akan sakiti kamu."

Lelaki itu begitu keras kepala, ia malah bersimpuh menghadap paras kakak tercintanya. "Kak Lino nggak akan nyakitin Felix, karena kakak sayang sama Felix."

"Kakak dibully ya gara-gara punya adik cacat? Felix minta maaf ya kak..."

"For the love of God, Felix. KAMU BISA DIAM? SAYA MUAK DENGAR KAMU BICARA!"

Teriakan itu tak dihiraukan oleh yang lebih muda, malah kini mendekapkan tangannya pada tubuh jangkung saudaranya. Menyalurkan kehangatan yang sudah lama ingin ia rasakan. 

"Tau darimana kamu?"

"Kafe, kak. Temen-temen  kakak yang itu datang. Awalnya aku bingung, apa sih yang mereka ketawain kenceng banget, terus Jeo bilang ke aku, kalau gambar yang ada di laptop mereka itu kakak..."

Keduanya sama-sama diam, membuat atmosfer ruangan menjadi semakin canggung. Yang lebih muda mengalah dan membuka omongan.

"Maaf. Gara-gara Felix nggak bisa lihat, kakak jadi kayak gini..."

"Felix minta maaf karena nggak terlahir sempurna. Tapi Kak Lino harus tau, kalau semesta jahat sama kakak, kakak nggak boleh jahat ke diri sendiri."

Tangisannya semakin menjadi, ia usap berkali-kali air mata yang deras membanjiri wajahnya. Ingin sekali ia membalas pelukan adiknya, mengatakan bahwa itu semua bukan salahnya, mengatakan bahwa ia akan menjaga adiknya seumur hidupnya. Tetapi bagaimanapun ia mencoba, kalimat itu tidak akan mau keluar dari mulutnya.

"Sudah ya, selamat malam Kak Lino."

Matahari & Brownies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang