Syukurlah, keadaan meja makan di pagi hari ini sangat aman dan tentram, tanpa teriakan dan makian pria peruh baya itu. Revalino sempat mengira papanya itu memiliki bipolar personality disorder. Habisnya, ia tidak pernah merasa bersalah setelah memperlakukan Felix dengan buruk dan melupakannya seolah itu bukan apa-apa.
Mereka menghabiskan semua yang dihidangkan Felix ; nasi goreng, sup ayam, termasuk browniesnya. Sesuai janjinya pada kakaknya, ia membuat ekstra dua piring kua brownies untuk dihidangkan. Nyatanya, pemuda itu membungkus sisa kue tersebut untuk dibawa ke suatu tempat.
Setelah selesai makan bersama, Felix segera membereskan segalanya, hendak mencuci piring.
"Ganti baju."
Ia berjengit begitu vokal lembut di sebelahnya terdengar, lalu menatap kikuk. "Maaf?"
"Ganti baju sekarang, saya mau ajak kamu ke suatu tempat."
"U-uhm okay. Felix cuci piring dulu ya kak."
Masih kebingungan, lelaki itu bergegas untuk melakukan pekerjaannya dan segera melakukan apa yang dititahkan. Ia memilih baju yang menurutnya hangat, yakni sweater biru muda kesukaannya, dan celana jeans biru tua. Menoleh begitu mendengar ketukan pada kamarnya, ia berlari kecil dengan gopoh daan langsung membuka kenop pintu, menampilkan seorang pemuda yang kini mengenakan turtleneck bergaris hitam putih serta outer berwarna tosca.
"Sudah siap?"
Felix mengangguk kecil. "Memangnya kakak mau ajak Felix kemana?"
"Gak perlu tau, ikut saja."
Terkadang sikap kakaknya ini membingungkannya, di sisi lain Revalino dapat bersikap layaknya seorang saudara pada umumnya, namun berbanding terbalik apabila di hadapan umum, pemuda itu bertingkah seolah Felix adalah seorang asisten rumah tangga yang mengabdi pada seisi keluarganya. Yah, biarlah, Felix menikmati sikap hangatnya selagi masih ada. Akan sia-sia apabila ia menyia-nyiakan momen ini.
Felix dituntun menuju ke bawah, yang lebih tua berada di depannya dan menyambar kunci mobil pada rak kaca yang menempel pada ruang tamu, memasukkan kata kunci dan memilih salah satu dari yang ada disana.
Kalau boleh jujur, ia sangat gugup sekarang. Belum pernah seumur hidupnya ia merasakan menaiki sesuatu yang bernama 'mobil' karena selama ini ia hanya berjalan kaki kemanapun, ternyata rasanya cukup nyaman. Yang lebih tua dengan telaten memasangkan sabuk pengaman pada adiknya.
Begitu dirasa sudah berjalan, Felix merilekskan tubuhnya dan menyandar, merasakan bantal yang mengganjal lehernya. Lantunan lagu mulai terdengar, dan ia merasa familiar, ini semua berkat teman-teman kafenya yang mengenalkannya pada musik-musik yang enak didengar.
"But when you look like that my darling, what did you expect..."
"Kamu tau?"
"505 dari Arctic Monkeys bukan kak? Haikal sering muter lagu ini di kafe."
"Bener, selera musik kamu bagus, Felix."
Pujian singkat itu mampu membuat hatinya berbunga-bunga, ia tersenyum lebar mendengarkan alunan Revalino yang menyejukkan jiwanya, seolah membawanya ke sebuah tempat yang lain, matanya terpejam untuk menikmati nyanyian kakaknya.
"Suara kakak indah banget, Kak Lino les vokal ya?"
"Nggak, tapi saya ikut band di kampus."
"Oalah gitu, Kak Julia satu kampus juga sama kakak?"
"Iya, saya kenal dia dari band itu. Dia seorang pianis dan keyboardist, saya gitarisnya. Teman saya, Kak Chandra yang satu tingkat di atas saya itu produsernya, dia yang bikin semua lagu, sekaligus drummer. Mahesa, adik tingkat saya berperan jadi vokalis. Nanti, saya akan kenalkan kamu pada teman-teman saya."
"Kakak nggak harus kok, gak apa-apa."
Pernyataan kecewa sekaligus perasaan campur aduk ia nyatakan, Revalino sebenarnya memahami hal itu pasca apa yang pernah dialaminya, dan ia ingin Felix tau bahwa kawannya yang ini menerimanya apa adanya, telah mengetahui seluk beluk kehidupannya, dan masih menganggapnya sebagai sahabat.
"Saya paham maksud kamu. Mereka ini berbeda, Felix. Mereka nggak akan melakukan penindasan seperti itu pada saya, saya janji."
Lawan bicaranya hanya diam dan tak menyahuti apapun.
"Setelah ini kita sampai."
"Felix cuma nggak mau Kak Lino kenapa-kenapa. Felix sayang sama kakak."
"...Ya."
Kendaraan itu berhenti tepat pada parkiran mobil kampus yang memang sepi, karena hari ini hari libur. Pemuda itu mempersilahkannya keluar dan menggandengnya masuk. Jadi begini toh atmosfer dan hiruk pikuk kampus, tempat impian yang ia selalu inginkan untuk jejakkan kakinya.
Dituntunlah ia pada ruangan yang memiliki suhu berbanding terbalik dengan yang tadi, tiba-tiba kulitnya disapa dengan udara dingin studio. Disana sudah hadir tiga orang yang menunggunya.
"Adikmu, No?"
Revalino mengangguk. sedangkan Chandra masih menahan gemasnya pada Felix, begitu pula Mahesa dan Julia. Untungnya mereka sudah paham bahwa Felix tak dapat melihat dan tidak menyinggung apapun masalah itu.
"Felix, kita ketemu lagi."
"Eh, suara Kak Julia?"
"Wah wah, udah ketemu aja sama kakak ipar," goda pemuda berambut cokelat yang berperan sebagai vokalis dalam grup.
Seisi ruangan itu dihebohkan dengan sesi perkenalan mereka sendiri, dan Felix sangat senang bertemu ketiganya yang menyambutnya dengan baik. Bahkan, pujian-pujian terus mereka serukan, membuat pipi pucatnya memerah.
"Yaudah, kelamaan nanti. Langsung aja deh."
Felix duduk pada pojok studio, siap mendengar dendangan mereka. Kakinya bergerak-gerak antusias. Sedangkan kakaknya masih mempersiapkan segala sesuatu, mencolokkan kabel pada terminal listrik, menyalakan keyboard Julia, dan mengatur gitarnya sendiri. Setelah dirasa sudah rampung, lagu dimulai dengan permainan tangan Julia.
Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya, menikmati lagu yang ia dengar. Mahesa mengalun dengan sangat indah, ditambah lagi dengan vokal kedua milik kakaknya, membuat mereka saling melengkapi dan terasa sempurna.
"Kimi da yo, kimi nandayo, oshiete kureta.
Kurayami mo hikaru nara, hoshizora ni naru..."
Begitu tembang selesai dilagukan, Felix memberi tepuk tangan yang meriah pada mereka.
"Kalau kita manggung, kamu dateng kan Lix?"
"Pasti, Kak Mahesa! Felix pasti datang. Emangnya kapan kakak-kakak mau manggung?"
"Masih lama kok, di hari kelulusan Revalino sama Julia nanti, karena mereka leader grup ini. Jadi, sekitar setahun mendatang."
"Ah gitu ya kak, Felix usahakan datang kok... kalau bisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari & Brownies
Fiksi Penggemar"Kak, kalau Felix menyerah, boleh ya?" Sebuah cerita yang ditulis oleh Revalino Aksara, sang penikmat mentari yang kini telah meninggalkan dunianya yang kelam dan sunyi. (Semi-formal) © exaesya Cerita ini terinspirasi oleh Shigatsu Wa Kimi No Uso...