Rekomendasi playlist untuk part ini :
Orange —7!! (Atau putar media)
Aku membenci pria itu. Jika membunuh tidak dosa dan ilegal, aku akan melakukan hal itu. Aku berani sumpah akan memenjarakannya selama bukti-bukti itu berada di tanganku, Felix terbaring di belakang, wajahnya terlihat begitu lemah. Jok kursi belakang memerah, menyerap darah yang keluar dari pelipis dan perutnya.
Aku frustasi, mengemudi dengan begitu cepatnya, untungnya rumah sakit buka dua puluh empat jam. Aku buru-buru mendobrak meja resepsionis, meminta Felix agar ditangani dengan cepat. Aku menggenggam tangannya yang menjuntai ketika ia diletakkan di brankar dorong. Raut mukanya tak berdaya.
Sepuluh menit, dua puluh menit, hingga setengah jam aku menunggu, akhirnya aku diperbolehkan masuk karena aku anggota keluarga. Ayah Naresh sendiri yang menangani dan turun tangan.
"Tuan Revalino, adik anda kehilangan begitu banyak darah, dan kondisinya tidak memungkinkan."
Dokter sialan, apa maksudnya tidak memungkinkan?
Aku buru-buru lari ke kamar tempat Felix di rawat, meninggalkan pria itu sendiri di lorong rumah sakit. Felix merintih, ia memejamkan matanya perlahan-lahan. Aku duduk di sebelahnya, ia tersenyum, merasakan kehadiranku, lalu meraih tanganku.
"Kak... sakit."
Tubuhku melemas, kondisi Felix saat ini benar-benar memprihatinkan, bekas cambukan itu terpampang jelas pada leher, pundak, dan lengannya. Bekas sayatan itu pula terlihat jelas.
"Apa yang sakit, Lix? Felix masih kuat kan?"
"Mataharinya udah nggak ada ya kak kalau malam?"
Aku tidak menjawab, mulutku terlalu kelu untuk sekadar melontarkan jawaban. Sialan, ia mengalihkan topik pembicaraan.
"Kakak sedih nggak kalau mataharinya nggak ada?"
"Kalau Felix sedih."
"Tapi kakak percaya nggak kalo mataharinya cuma sembunyi? Nanti dia balik lagi kok."
Ia bermonolog.
"Kalau dia tidak kembali selamanya?" tanyaku lemah.
"Matahari itu ada kak, tapi dia sembunyi. Walau kakak nggak bisa lihat, mataharinya tetep ada kok!"
Rintik hujan terdengar lebat dari luar, langit seolah ingin menangis bersamaku saat ini.
"Sama seperti Felix. Kalau nanti Felix nggak ada, itu karena kakak nggak bisa melihat Felix. Tapi percaya deh, Felix bakal selalu ada di samping kakak. Kalau kakak ragu-ragu, Felix maju paling depan buat semangatin kakak."
"Walau mungkin dalam mimpi kakak."
Dinding pertahanan yang kubangun susah payah hancur sudah. Deraian air mataku seolah tak ingin berhenti. Sama seperti langit yang tak berhenti menangis pada waktu yang sama. Aku menggenggam tangan mungil adikku semakin erat.
"Kamu ngomong apa sih... Nggak jelas kamu Felix. Nggak usah ngelantur."
Aku memarahinya, namun ia tidak memerhatikan ucapanku.
"Kamu adik kakak yang paling kuat, Felix. Berjuang lebih kuat ya? Kamu pasti bisa," tuturku pelan, suaraku parau, lebih tepatnya bergetar.
Hawa tidak enak itu kembali lagi. Felix masih tak menjalin kontak mata denganku. Ia asik dengan pemandangan dibalik jendela yang sepertinya lebih menarik untuk dipandang. Ia mengarahkan tanganku pada dadanya, detak jantung itu terdengar sangat lemah.
"Aku jadi inget waktu itu belajar bikin brownies, asik banget kak, Felix jadi pengen ngulang masa-masa itu lagi. Kakak pasti bakal kangen browniesnya Felix ya? Felix udah bikin banyak kok kak, brownies kering di kulkas. Tinggal kakak angetin aja."
"Kak, Felix pamit boleh?" ujarnya lemah.
Aku menggeleng kuat, kini berlutut karena kakiku tak dapat lagi menyangga berat tubuhku, tangannya kugenggam begitu erat.
"Di kehidupan selanjutnya, Felix janji bakalan bisa lihat. Felix bakal minta sama Tuhan untuk diberi penglihatan yang sempurna."
"Felix minta maaf, karena jadi anak buta yang cacat. Wajar kok, kalo kakak malu punya Felix sebagai adik."
"BERHENTI, FELIX, SUDAH CUKUP!"
Bentakanku tidak dihiraukan olehnya, ia malah semakin terkekeh. Felix seolah-olah sedang mempermainkan perasaanku saat ini. Ia lalu menatap tepat pada netraku.
Tangisanku semakin menjadi, bahkan Felix hingga dapat mendengar isakanku, dan mengusapnya setelahnya. "Kakak nggak boleh nangis, masa mau samaan sama langit yang lagi nangis?"
Suaranya semakin melemah, hingga hampir tak terdengar. Nafasnya berderu perlahan. Ia perlahan-lahan memejamkan matanya, merasa begitu berat. Kemudian merentangkan kedua tangannya.
"Felix boleh peluk kakak?"
Permintaan itu langsung kuturuti, tanpa basa-basi. Aku mendekap tubuh mungil adikku sendiri dan mengusap pucuk kepalanya. Kami bertahan dalam posisi itu setidaknya selama dua menit dan masih sampai saat ini.
"Felix mau ketemu bunda, boleh ya kak? Felix kangen bunda."
Refleks, aku melepaskan pelukannya, mataku membelalak lebar. Aku langsung menengok pada alat penampil detak jantung yang seharusnya menampilkan garis ke atas dan bawah, kini hanya menampilkan garis lurus.
Tidak.
Ini tidak boleh terjadi.
Hatiku terasa merosot begitu saja. Aku berusaha menggoyangkan tubuh Felix. Jantungku terasa berhenti berdetak, darahku berdesir, tubuhku lemah, aku masih tidak percaya kalau pada akhirnya menjadi seperti ini.
"Felix? Jangan bercanda. Lix, bangun, jangan bercanda, tolong..."
Sirna sudah sumber cahaya di hidupku, hilang sudah matahariku. Adikku meninggal dalam pelukanku sendiri. Mata itu tertutup selamanya. Sudah cukup, perjuangan Felix Atmadeva sudah cukup kuat, sekarang saatnya ia pergi, mengakhiri semua rasa sakit yang selalu ia pendam sendiri.
Aku tau, aku tidak boleh egois, aku tidak merasakan sakit yang Felix rasakan.
Berteriak pun, menangis sejadi-jadinya pun, tidak akan membangkitkan lelaki itu kembali. Kenyataannya, Tuhan lebih sayang pada adikku.
"Katanya mau lihat kakak main gitar sama Kak Julia? Katanya mau datang ke acara kelulusan kakak?"
"Kamu tega meninggalkan kakakmu sendirian, Felix? Kakak sudah tersenyum, seperti kemauan kamu. Ayo bangun, Felix..."
"Siapa yang buatin kakak brownies nanti, hm? Siapa yang masakin kakak nanti?"
Aku masih mengguncangkan tubuh kurus Felix, berharap semuanya akan kembali seperti semula. Berharap Tuhan masih berbelas kasih padaku. Tetapi kenyataannya tidak, matahariku direnggut begitu saja. Tidak, mungkin dikembalikan pada sang pencipta asalnya. Tuhan mengerti bahwa Felix tersiksa di dunia ini, karena itu, ia menjanjikan nirwana bersama dengan jiwanya.
"Kalau saja saya yang terlahir menggantikan kamu, kalau saja kamu bisa memandang indahnya matahari yang sama dengan senyummu. Kamu tidak akan menyerah, Felix."
"Kamu sudah sempurna, tidak ada yang perlu diubah. Di kehidupan selanjutnya, ayo kita ketemu lagi, ya? Sebagai adik kakak lagi, mengulang cerita kita lagi."
Aku mengusap rambutnya yang memudar.
"Kakak sayang Felix."
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari & Brownies
Fanfic"Kak, kalau Felix menyerah, boleh ya?" Sebuah cerita yang ditulis oleh Revalino Aksara, sang penikmat mentari yang kini telah meninggalkan dunianya yang kelam dan sunyi. (Semi-formal) © exaesya Cerita ini terinspirasi oleh Shigatsu Wa Kimi No Uso...