"Kak Lix gak sekolah?"
"Nope, guruku baik kan Je? Aku jadi nganggur deh di rumah," tawanya menyertai.
Keduanya menikmati pagi hari dengan tenang, gurauan mereka mengiringi kafe yang sunyi. Belum banyak pengunjung, mengingat hari ini mentari masih belum memamerkan dirinya di tengah langit. Jeo sejujurnya tidak menyukai suasana canggung di antara ia dan seniornya ini.
"Kak, maaf banget ya kalau buat kakak tersinggung, tapi kakak pernah nggak sih penasaran gimana bagusnya dunia ini?"
Felix langung memahami ucapan lawan bicaranya.
"Sering Je, banget malah. Aku selalu penasaran gimana tampannya Kak Lino, karena semua orang bilang kalau dia ini ganteng, sampai bisa punya banyak mantan, hihi. Aku penasaran, gimana sih indahnya sunset, sunrise. Aku penasaran muka kamu, muka Tuan Leo. Aku ingin tahu cantiknya pantai, gunung, gedung-gedung tinggi di Surabaya ini."
"Kamu punya penglihatan normal, Je. Pergunakan dengan baik ya," lanjutnya lagi, kini disertai kekehan cerianya.
Sekarang giliran Jeo yang mengutuk dirinya untuk menanyakan hal tersebut. Kalau waktu bisa diputar, ia seharusnya memilih untuk diam saja. Lelaki bernama lengkap Jeon Yudhistira itu kini mengalihkan topik karena ada seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah seorang pelanggan. Jeo memicingkan matanya begitu melihat sseorang gadis yang selalu kemari berdua, kini ia seorang diri. Kemana pacarnya?
"Selamat datang di Kafe Sweet Pea! Mau pesan apa kak?"
"Teh matcha, dan berbicara dengan barista Felix."
Lelaki itu terkejut begitu namanya disebut, jadi ia mengangguk saja. Sehabis mengantarkan pesanan pada meja nomor tiga, ia meraba kursi, menariknya, dan mendudukkan dirinya disana tanpa menatap mata sang lawan bicara.
"Saya tidak akan basa-basi, Felix. Kamu kenal dengan Lino?"
"Ya, kak. Saya pembantu di rumah Tuan Revalino."
Gadis itu mendesah kesal. "Kamu adiknya, kan?"
Felix tak berkutik, ia diam saja, kepalanya menggeleng sebentar. Baru sekali dalam hidupnya Felix berbohong.
"Kamu tidak perlu berbohong pada saya, Felix. Ayah saya adalah seorang pemilik perusahaan ternama dan ibu saya merupakan seorang pengacara, kamu sungguh berpikir dapat mengelabui saya?"
"Maaf kak, saya-"
"Baiklah jika kamu tidak mau mengaku, tak masalah. Yang saya tahu, kamu bukan adik kandung Lino, dan maaf jika saya berbicara lancang tanpa memperkenalkan diri. Saya Julia Candramaya, kamu bisa memanggil saya Julia, atau apapun yang kamu mau. Saya hanya ingin Revalino mengakui adiknya, perlakuannya padamu itu sangat kasar, Felix. Kamu sudah mengalami cacat mata sejak lahir, tidak seharusnya ia menyakitimu seperti itu."
Yaampun, mimpi apa ia bisa bertemu seseorang seperti gadis di hadapannya ini. Ia ingin menangis saja rasanya. Senyum ceria itu muncul sekali lagi pada raut wajahnya.
"Terima kasih, Kak Julia. Aku yakin Kak Lino menyayangiku, ia hanya tidak mampu menyampaikannya."
"Itu benar, tsundere menyebalkan," sahutnya menyetujui Felix.
Keduanya menghiasi suasana kafe dengan canda tawa, Jeo terkikik diam-diam begitu tahu bahwa satu persatu gadis terpikat pada wajah paripurna Felix. Bahkan gadis itu melupakan pacarnya, pikir Jeo. Julia tampak memandangi Felix lamat-lamat, gadis itu agak beruntung karena lelaki itu tak dapat melihatnya. Ia seolah terpukau akan bintik-bintik yang menempel pada kedua pipinya.
"Felix."
"Ya kak?"
"Paras kamu itu... betul-betul indah ya."
Mereka sama-sama diam, lagi. Sebelum Felix angkat bicara, kali ini menunjukkan eye smile yang sungguh, Julia ingin mencubit pipinya gemas. Bagaimana bisa Felix diperlakukan sebegitu buruknya oleh kakaknya sendiri? Kalau memang tidak mampu merawat Felix, Julia akan dengan senang hati menampungnya, memberinya pendidikan private yang layak, membiarkan kokinya memasakkan makanan mahal, tanpa perlu hingga bekerja di kafe seperti ini.
Hei, hei, tidak usah berpikiran yang bukan-bukan, Julia bukan seorang pedofil, ia hanya menganggap Felix sangat lucu dan ingin menjadikannya sebagai adik kandung. Setelah perbincangan dan menghabiskan satu cangkir the hijau, Julia pamit pulang. Felix sudah menebak akan siulan-siulan yang Jeo keluarkan, lelaki itu tersenyum malu-malu.
"Jeo, sudah, aku malu," ujarnya.
Pipinya bersemu merah, ia kerap berkali-kali menunduk dan mengalihkan pandangannya. Deretan giginya ia pamerkan lucu, kedua telapak tangannya menangkup pipinya yang saat ini sudah seperti kepiting rebus.
"Kak Felix, nggak mau cari pacar aja? Aku cariin ya," godanya lagi, menyenggol lengan kiri lelaki itu.
"Jeoo, udah ih."
Felix memukul pundak yang lebih muda, terkikik geli sembari membereskan alat dapur yang kotor. Jeo sungguh senang dapat membuat lelaki itu tertawa seperti ini, ia ingin Felix melupakan segala masalahnya di rumah. Yah, masalahnya, bukan hanya masalah keluarga yang ia sembunyikan, namun sesuatu yang juga menggerogoti tubuhnya.
"Nggak bakal ada yang mau sama aku, Jeo. Aku kan buta."

KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari & Brownies
Fanfiction"Kak, kalau Felix menyerah, boleh ya?" Sebuah cerita yang ditulis oleh Revalino Aksara, sang penikmat mentari yang kini telah meninggalkan dunianya yang kelam dan sunyi. (Semi-formal) © exaesya Cerita ini terinspirasi oleh Shigatsu Wa Kimi No Uso...