Revalino tertegun sejenak atas pernyataan adiknya, kemudian senyumnya mengembang.
"Apapun yang kamu mau, Lix."
Digenggamnya tangan adiknya, lalu dielus dengan lembut. Teman-temannya masih disini, mungkin ini waktu yang buruk untuk berkata jujur dan membongkar aibnya sendiri, tetapi biarlah.
"Lix, saya mau ngomong jujur."
"Iya kenapa kak?"
"Kamu benar. Saya menyembunyikan sesuatu juga dari kamu. Saya seorang penderita alexithymia, saya kurang bisa mengungkapkan perasaan saya yang sebenarnya, dan saya tidak mengerti emosi orang lain. Ditambah lagi, saya punya anger issues yang cukup parah. Karena itu, saya selalu mengekspresikan apapun emosi saya dengan marah. Saya baru tau saat mendatangi psikolog, dan untungnya, mereka memberi saya saran dan beberapa obat-obatan."
"Semenjak Damian sialan itu selingkuh dengan ibu kamu, saya benar-benar mental breakdown. Kesehatan mental saya diuji saat itu juga, tetapi sepertinya saya gagal melewati itu. Padahal kenyatannya Tante Carla tidak bersalah, tapi papa yang salah, Lix. Dia bilang ke ibu kamu kalau dia masih lajang, walau kenyataannya anak dan istrinya sedang menunggunya di rumah. Lalu mereka melakukan hubungan itu dan lahir kamu, begitu kan?"
Felix mengangguk, air matanya menetes begitu saja.
"Lalu setelah bunda melahirkan Felix yang cacat ini, bunda meninggal karena stres, kak, ayah juga ninggalin bunda Felix," cicit Felix yang masih sesenggukan.
"Karena itu, Felix, kamu dan bundamu tidak bersalah, papa memang orang yang biadab. Setelah papa dan Tante Carla menikah, mama memutuskan untuk meninggalkan papa, juga meninggalkan saya sendiri. Saya sadar, semakin mama berada di dekat papa, semakin tersakiti juga dia. Jadi saya relakan kepergian dia yang entah kemana, mungkin sudah bersama pria lain, biarlah, asal mama bahagia. Saya akhirnya tinggal bersama papa. Lalu datang kamu ke kehidupan saya, Felix," jelas yang lebih tua.
"Saya akui, saya sempat bersikap keterlaluan dengan kamu. Karena itu, saya minta maaf ya? Kakak harap, Felix mau memaafkan kakak."
Tangisan Felix semakin menjadi, dan keempat temannya tercengang hebat. Mereka tak sadar juga meneteskan air mata. Hanif dan Haikal buru-buru mengusapnya sebelum diketahui oleh Revalino.
Mereka tidak tahu bahwa masalah keluarga kakak beradik ini begitu rumit. Ternyata itu beban yang selama ini ditanggung oleh Revalino, mereka menjadi iba dan sangat kasihan padanya. Pantas saja jika Revalino mengalami gangguan mental, tidak semua orang kuat dihadapkan masalah seperti itu. Terlebih lagi, pasti saat itu sang kakak masih di usia remaja atau bahkan anak-anak.
"Felix minta maaf kak," ucapannya terpotong-potong, tercekat oleh tenggorokannya sendiri.
"Saya sudah bilang, ini bukan salah kamu, Felix. Kamu tau? Saya rasanya melupakan beban sejenak, saya merasa bicara dengan mama setiap kali saya bicara dengan kamu."
Tok tok tok.
Bunyi pantulan sepatu hak tinggi dengan lantai terdengar, sontak membuat keenam penghuni ruangan tersebut melirik pintu masuk. Sepertinya suster. Begitu pintu dibuka, menampilkan seorang wanita cantik dengan rambut hitam panjang yang digerai hingga pinggang.
"Selamat malam, Felix."
Mata Revalino membelalak lebar ia seperti malfungsi saat itu juga.
"Saya bawakan kamu buah, saya taruh disini ya," ujarnya sembari meletakkan keranjang buah itu di atas rak berwarna putih.
Wanita itu duduk di ujung ranjang Felix yang masih kebingungan akan siapa beliau ini, merapikan rambut bersurai pirang yang acak-acakan, kemudian mengusap pipinya lembut.
"Kamu sudah besar ya, Revalino. Mama rindu."
"Tante Nora...?" Tanya Felix kaget.
Yang disebut namanya tertawa, tubuhnya berbalik menatap netra anak kandungnya. Ia merindukan hazel eyes milik anaknya yang selalu ia pandangi setiap hari. Revalino langsung memeluk ibunya yang ia rindukan sejak lama, namun dalam lubuk hatinya, ia masih tidak percaya hal ini akan terjadi, sudah tujuh tahun lamanya ibunya tidak kembali.
"Mama selama ini kemana?"
"Saya kerja, Lino. Papa kamu nggak pernah biarkan saya kerja, saya jadi merasa nggak bebas. Oh iya, saya kenal loh dengan pemilik Kafe Sweet Pea."
Refleks, keempat remaja itu memusatkan perhatiannya pada Nora, merasa sungkan.
"Ini teman-temannya Felix ya? Kalian baik-baik ya dengan Felix."
"Tante, saya minta maaf..."
"Sudah, Felix. Kejadian itu sudah saya lupakan. Pasti berat ya menjadi kamu? Masih ada kakakmu yang senantiasa menjaga kamu, jangan khawatir ya."
Wanita itu beranjak, hendak keluar dari ruangan tersebut, padahal belum sepuluh menit ia tinggal.
"Revalino, jaga adikmu dengan baik. Mama akan kembali ke rumah jika sudah siap. Mama sayang kamu, nak."
![](https://img.wattpad.com/cover/290440327-288-k968552.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari & Brownies
Fanfiction"Kak, kalau Felix menyerah, boleh ya?" Sebuah cerita yang ditulis oleh Revalino Aksara, sang penikmat mentari yang kini telah meninggalkan dunianya yang kelam dan sunyi. (Semi-formal) © exaesya Cerita ini terinspirasi oleh Shigatsu Wa Kimi No Uso...