Enam ; Nilai A

673 159 8
                                    

"Jadi, X sama dengan enam karena pindah ruas. Begitu pak?"

"Benar, kamu pintar sekali Felix!"

Lelaki paruh baya itu mengusak rambut Felix gemas. Ia adalah Mr. Jackson, guru private yang cukup populer karena kemahirannya dalam bidang matematika, selain itu, juga karena ia tampan, hehehe. Dibandingkan teman-teman yang lainnya, Jackson rasa muridnya yang satu ini beberapa langkah lebih di depan, dan ia tentu saja bangga akan hal itu. Tak ada henti-hentinya ia memamerkan Felix pada rekan kerja dan kuliahnya. Dan lagi, ia juga asisten dosen incaran mahasiswi.

Felix menepuk-nepukkan tangannya begitu ia berhasil mengerjakan soal yang diberikan secara lisan, ia juga dapat menghafal audio bacaan dengan baik yang diberi dua hari lalu. Hampir seluruh nilai rapornya berisi A bahkan dengan tambahan plus karena ia memiliki daya ingat dan tangkap yang baik. Begitu Jackson membacakan hasil rapornya, Felix selalu tampak antusias dan mengapresiasi dirinya saat itu juga.

Sayangnya, ayahnya bukan seseorang yang bersyukur atas pencapaian apa saja yang ia lakukan.

Ia tidak akan berhenti belajar dan bekerja hingga ayah dan kakaknya mau mengakuinya, meski sulit, namun setidaknya Felix berkontribusi sejenak dalam kehidupan mereka, bukan seorang lelaki dengan disabilitas yang lewat begitu saja. Felix berjanji akan menciptakan memori indah dalam hidupnya, yang tidak akan panjang, ia rasa.

"Kalau begitu, sekarang kita ujian lisan ya. Kamu sudah siap kan?"

Walau kepalanya mengangguk, tetapi jantungnya berdegup begitu kencang. Ia pun tahu kebiasaan Jackson yang tanpa ampun dalam memberi soal. Pernah sekali ia diberi pekerjaan kalkulus yang tentu saja membuatnya kebingungan. Gurunya akan membimbing dengan sabar begitu ia kesulitan, tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Pria itu mulai memberi pertanyaan yang dapat dijawab Felix dengan tepat, begitu seterusnya hingga lima belas nomor. Ketika dirasa sudah cukup banyak, ia menghentikan aktivitas pembelajaran dan membiarkan lelaki itu istirahat, memakan biskuit yang ada di sampingnya dan meneguk setengah botol air mineral.

"Kerja bagus, Lixie. Kamu semakin mahir matematika, tingkatkan ya!"

"Siap, pak!" sahutnya lantang.

Jackson langsung mencatat nilai pada buku super tebal yang ia bawa kemana-mana, berisi rangkuman satu semester mulai dari nilai, perkembangan, juga respons dari murid-murid spesial yang ia ajar. Pintar, bergelimang harta, sabar, mampu mengasuh anak, selalu melakukan hal produktif, semua itu merupakan apa yang ada dalam diri gurunya, tak ada alasan bagi Felix untuk tak mengagumi gurunya itu, ia ingin jadi seperti itu suatu saat nanti.

"Ini kertas ujian yang sudah diberi nilai, jangan lupa tunjukkan kakak dan ayahmu ya, Lixie. Mereka pasti bangga."

Lelaki itu terdiam sejenak, kemudian mengangguk. "Baik, Pak Jackson."

Sekolah singkat yang hanya berlangsung selama empat jam itu diakhiri. Felix mempersilahkan kepulangan Jackson dengan hormat, mengantarkannya sampai ke depan gerbang, lalu menundukkan kepalanya. Setelah didengar kendaraan pria itu yang telah melaju kencang, Felix kembali melangkahkan kakinya ke dalam rumah, dibantu oleh satpam yang berjaga, menuntun lelaki itu masuk perlahan dengan begitu hati-hati.

Ini kesempatannya untuk menunjukkan kertas ujiannya pada kakak dan ayahnya! Ia harus menunggu mereka pulang. Sembari menunggu, ia memutuskan untuk kembali ke dapur, seperti yang selalu ia lakukan. Felix mengambil mangkuk, pengocok telur, dan bahan lainnya yang diperlukan untuk membuat brownies. Kue cokelat itu memang selalu ia sajikan pada keluarganya. Namun anehnya, tidak ada yang memprotes bahwa kue buatannya tidak enak atau mereka bosan. Apa kue yang ia buat memang disukai oleh ayah dan kakaknya? Who knows, mereka tidak pernah mengakui keberadaan Felix di rumah ini.

Suara khas tas yang digeletakkan begitu saja terdengar kembali, Felix memusatkan perhatiannya pada sumber suara itu. "Selamat datang kembali di rumah, ayah! Felix bikin brownies buat ayah."

Sesegera mungkin ia mengambil kue yang jelas-jelas masih panas pada oven yang baru ia buka, menaruhnya pada piring putih seperti biasanya. Sepertinya kakaknya sudah pulang lima menit yang lalu, namun ia tidak dapat mendengar langkahnya. Ia dapat mengetahui dari derap langkah yang berasal dari lantai atas.

"Kak Lino, gimana kuliahnya hari ini?"

Hening.

"Aku hari ini dapet A lagi loh kak di sekolah. Kakak mau lihat nggak kertasnya?"

"Mau C atau D saya nggak peduli sama kamu."

"Mana kertasnya?" lanjutnya lagi.

Felix mengulum senyum dalam hatinya, lalu menyerahkan selembar kertas yang ia lipat dalam saku celananya. Kakaknya merampas kasar, lalu tak mengucapkan apa-apa dan langkahnya menjauh pergi.

Matahari & Brownies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang