Dua Puluh Dua ; Ayah

567 116 8
                                    

Rekomendasi Playlist :

Runtuh oleh Fiersa Besari dan Feby Putri

Kami berdua pulang, ada bajingan itu disana, menatapku dari atas hingga bawah. Aku tak memperdulikannya, terus menggandeng dan menuntun Felix menuju kamarnya. Parasnya benar-benar licik, Ya Tuhan, aku benar-benar membencinya.

Aku mencuci kaki setelahnya, membersihkan diriku sendiri, kemudian tertidur.

Di sisi lain.

Felix merasa nyaman begitu ia diletakkan hati-hati di atas ranjang empuk miliknya, ia mencoba tertidur, kemudian mendengar dobrakan keras dengan jangka waktu yang cukup lama.

Pria itu menutupi wajah Felix dengan bantal, ia sesak, tak bisa bernapas, meronta-ronta, menendangkan kakinya kesana kemari

"Felix, kamu kan yang curi uang saya di dalam laci?"

Felix kebingungan bukan main. "Bukan Felix, ayah."

"NGGAK USAH BOHONG KAMU!"

Ia terjengat kaget, bantal itu berhasil dilepaskannya, ia beranjak, langkahnya mundur perlahan, merasa sesuatu buruk akan terjadi.

Pria itu menarik kerah anaknya sendiri, membantingnya hingga jatuh tersungkur, melayangkan tendangan pada perut jahitan sisa operasi kala itu. Felix mengusap hidungnya, cairan kental mengalir dari sana, matanya mulai berkaca-kaca.

"Kamu berani mencuri uang saya, Felix? Kamu kira kamu siapa? Anak haram tak tahu diuntung, kamu itu tidak diharapkan disini, mengerti?! Dari dulu kamu lahir dari rahim ibu kamu, saya tidak pernah menginginkan kehadiran kamu disini, kamu kira saya tidak malu punya anak cacat yang tidak bisa melihat seperti kamu?!"

Teriakan itu begitu menyayat hatinya, air mata lelaki itu meluncur begitu saja, jatuh membasahi kedua pipinya. Matanya terasa panas setelah ia kuatkan untuk menahan tangis. Kalimat-kalimat yang dilontarkan begitu kejam.

Felix tidak pernah meminta dilahirkan seperti ini.

Tidak, bukan Felix yang mencuri uangnya, Damian hanya menerima banyak tekanan dari perusahaannya yang bangkrut, dan ia tak punya siapapun yang dapat disalahkan, terkecuali anaknya yang bisa ia jadikan sebagai pelampiasan.

"Felix nggak nyuri uang ayah... Felix nggak pernah sentuh yang ayah punya..."

"DIAM KAMU!"

Tamparan kembali ia rasakan, mendarat pada wajahnya. Ia hanya dapat memegangi pipinya, menahan segala rasa perih yang menjalar hingga ke seluruh tubuhnya.

"Felix bisa ganti uang ayah yang hilang, tapi Felix nggak pernah sentuh apapun milik ayah..."

"KAMU KIRA SAYA PERCAYA SAMA ANAK BUTA SEPERTI KAMU? MELIHAT SAJA TIDAK BISA, APALAGI BEKERJA!"

"Maaf, ayah..."

Cambukan itu kembali terdengar, membuat bekas pada kulit mulusnya yang semula putih pucat menjadi kemerahan. Ia hanya bisa berjengit menahan sakit yang diberikan oleh pria yang ia sebut ayahnya sendiri.

Tangisannya semakin deras. Cairan merah kental itu menguar begitu saja setelah pria itu dengan brutalnya memukulkan kabel logam pada anaknya sendiri. Ia monster, Damian aalah seorang monster yang mau berbuat namun tak berani bertanggung jawab.

Felix hanya dapat mengaduh kesakitan, meminta ampun pada Tuhan dan bundanya agar ia diberi kesempatan sekali lagi untuk hidup dalam hatinya. Ia ingin sekali menyerah dan menemui bunda tercintanya di atas sana. Namun kuasa yang menahan untuk hidup lebih lama sepertinya lebih kuat.

"Kak Lino, bunda, tolong Felix... ayah jahat sama Felix..."

"KENAPA CARLA HARUS MATI? KENAPA BUKAN KAMU SAJA YANG MATI?!"

"F-Felix juga mau bunda hidup, ayah. Felix juga kangen sama bunda."

Dilayangkan kembali pukulan demi pukulan, membuat tangisannya deras sekali lagi. Ia ingin meminta ayahnya berhenti, ia ingin melakukan apa saja demi ayahnya agar dapat memandangnya sama dengan kakaknya, ia akan melakukan apa saja demi kasih sayang seorang ayah kepada anak. Luka yang belum kering itu ditambah lagi dengan tinjuan yang ia terima, masih ditempat yang sama, membuat rasa perih semakin terasa.

"AYAH, SAKIT, BERHENTI," tangisnya terdengar begitu keras.

Felix semakin meronta begitu ia mendengar suara benda tajam yang dikeluarkan, ia mencoba merangkak keluar dari tempat itu, isakannya semakin kencang, namun pasrah begitu ujung pakaiannya ditarik begitu saja oleh yang lebih tua. Belati tajam itu ia arahkan pada kepala sang anak. Sebelum itu, ia menggores lengan Felix dengan brutal, menusuk benda besi itu pada perut Felix. "Kamu benar, Felix. Saya seharusnya bunuh kamu sejak dulu."

"Ayah...jangan...tolong..."

"PAPA, PAPA GILA? MAU APAIN FELIX?!"

Suara yang ia kenal seolah menyelamatkannya dari pria itu. Damian menghentikan aksinya, menjatuhkan pisau yang semula ia genggam, yang semula akan ia gunakan untuk membunuh anaknya sendiri. Pria itu menatap Revalino tak percaya, seolah merasa terkhianati. "Kamu juga mau bela anak ini? Sekarang kamu berpihak ke dia? Apa cerita yang membuatmu terhipnotis, Revalino?"

"Papa itu monster, jahat, psikopat gila. Nggak seharusnya Tante Carla mau dapet omongan halus papa yang sebenernya bullshit."

Pemuda itu menggendong adik tirinya, menyambar kunci mobilnya, dan meletakkan Felix hati-hati pada jok belakang agar dapat merebahkan dirinya. Menyetir tanpa tujuan dan arah, kemanapun asal pergi dari tempat itu.

Kepalanya seolah akan pecah, bertubi-tubi problema yang menyerangnya sekarang membuatnya tertekan, ia ingin menangisi adik semata wayangnya sejadi-jadinya.

"Kamu kenapa nggak lawan papa?"

"Maaf kak, Felix nggak bisa."

"Sudah, berhenti Felix," ia mulai terisak, air matanya menetes satu persatu secara perlahan.

 "Berhenti jadi orang baik."

"Kamu itu terlalu lunak, apa tidak takut patah?"

"Kak Ino terlalu keras, kakak tidak takut hancur?"

Keduanya sama-sama diam. Felix hanya memegangi perut dan punggungnya yang masih kesakitan, ia tak berani menatap netra kakaknya yang sedari tadi mengawasinya lewat kaca. Ia merintih perlahan, tak ingin kakaknya mendengar.

"Kak?"

"Iya, Felix?"

"Kalau Felix menyerah, boleh ya?"

Matahari & Brownies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang