|
SELAMAT MEMBACA!!
.
• bab tiga •
Pemilik hoodie abu-abu.
|
Langit mulai menggelap, namun Anna masih berada di kelas. Sudah sejak beberapa jam yang lalu bel pulang berbunyi, namun ia masih enggan untuk beranjak dari bangkunya.
Ia menatap ke arah hoodie abu-abu milik seorang laki-laki yang tidak ia ketahui namanya, setitik harapan muncul bahwa ini akan segera berakhir. Dengan menggendong tas ransel biru dipundak dan menenteng hoodie itu ditangan, ia berjalan keluar dari kelas.
Sekolahan sudah sangat sepi, ia berjalan menyusuri jalanan yang biasa ia lewati saat berangkat maupun pulang sekolah.
Semilir angin menerpa wajahnya membuat sesuatu dalam dirinya tenang. Kurang lebih satu kilometer ia berjalan, hingga sampailah di depan sebuah rumah bercat putih tulang.
Menarik napasnya perlahan, menarik sudut bibirnya membentuk senyuman cerah. Senyuman yang menunjukkan bahwa tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Mendorong pintu depan, melihat ke arah sekitarnya. Sepi, sepertinya papa nya belum pulang dari kantor. Dengan langkah pelan menaiki anak tangga, segera memasuki kamar dan menguncinya dari dalam.
Seketika senyum yang tadi ia tampilkan sirna, terganti dengan sorot mata gelap yang menunjukkan berbagai macam kesedihan yang mendalam.
Dengan langkah gontai ia duduk di kursi meja belajarnya, menatap sticky note di dinding.
'Selamat datang di SMA Djuanda, Anna!'
Bayangan saat dirinya sangat senang pada saat diterima di SMA Djuanda, sekolahan sudah ia impikan sejak duduk di bangku sekolah dasar dan saat pertama kalinya memakai seragam sekolahnya itu, hingga kemudian kesenangannya direnggut oleh seseorang dan membuatnya dipermalukan di depan umum, dengan segala macam perlakuan buruk dari kakak kelasnya yang selalu menjadikannya sasaran bully. Rongga dadanya terasa sesak, oksigen di dalam paru-paru nya seakan menipis.
Dengan segera ia meraup oksigen sebanyak-banyaknya, tangannya perlahan tergerak membuka laci meja belajarnya dan meraih silet kecil, menatapnya sebentar sebelum akhirnya menggores kan kepada tangan kirinya. Darah segar mulai menetes, ia kembali menggores beberapa goresan lagi pada tangan kirinya itu.
Meja belajar sudah mulai kotor dengan beberapa tetesan darah dari tangannya. Setelah puas melampiaskan seluruh emosi yang ada di dalam dirinya, ia termenung menatap frustasi ke arah luka sayatan yang ia ciptakan tadi. Kemudian memukul kepalanya kencang dan berteriak histeris. Cairan bening mulai mengalir dari ujung matanya, rasa sesak dalam dada yang semakin lama semakin menyakitkan.
"Anna!"
Suara dari luar pintu, terdengar beberapa kali ketukan. Aubrian Erik, papa nya.
"Anna! Kamu kenapa sayang?" tanya Erik dengan nada khawatir. Anna mengangkat kepala nya melihat ke arah pintu kamarnya yang terkunci. Perlahan otak nya mulai menghubungkan rasa tenang dalam dirinya.
"Anna gak kenapa-kenapa Pa, cuma ada kecoa aja di kamar. Tapi udah pergi kok." jawab Anna berbohong, ia menatap tangan kirinya itu dengan perasaan bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALOPSIA
Teen Fiction(FOLLOW DULU SEBELUM BACA) Seperti apa kehidupan remaja usia 17 tahun pada umumnya? Pastinya di tahun itu seorang remaja telah bisa memilih keputusan serta bertanggung jawab atas pendewasaan. Bagi orang awam mengatakannya mereka mulai mencari jati d...