23

2K 204 8
                                    

Tandai typo
...

Empat tahun kemudian.

Terlihat seorang wanita berhijab sedang duduk bangku kebesarannya di sebuah ruang CEO dengan laptop di hadapannya. Ia sedang sibuk dengan pekerjaan kantornya.

Tak lama kemudian, wanita itu merenggangkan ototnya lalu tersenyum puas menatap layar laptopnya.

Wanita itu adalah Sania, ia terlihat sangat cantik dan anggun. Tepat pada tiga tahun yang lalu, ia memutuskan melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah dan menutup auratnya dengan memakai pakaian muslimah.

Di umurnya yang menginjak 22 tahun, ia sudah mampu menjadi CEO muda terkenal. Bahkan, ia juga di kenal oleh pembisnis luar negeri.

Sania menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 13:20. Tepat, setengah jam lagi waktunya ia meeting dengan pembisnis besar dari berbagai negara. Seperti negara Singapura, Jepang, Belanda, Turki, termasuk juga Indonesia, dan negara lainnya.

"Bunda!" pekik seorang bocah laki-laki berumur empat tahun. Bocah laki-laki itu bernama Zaki, anak sulung Sania.

Sania menoleh menatap sang anak, "Jangan teriak, Bang!" peringat Sania berjalan menghampiri Zaki.

Zaki menyengir. Bocah laki-laki itu sangat pintar. Bahkan, bocah itu sudah mampu berbicara lancar. Zaki tumbuh menjadi bocah yang sangat tampan, begitupun dengan Zidan, tampan dan pintar. Namun, Zidan masih belum bisa mengucapkan huruf R.

"Maap, Bun... " ucap Zaki menundukkan kepalanya menatap sepatunya.

Sania tersenyum lalu mengusap rambut Zaki, "Udah gak papa... Lain kali jangan teriak ya? Kasian mbak-mbak dan mas-masnya malah gak konsen kerjanya denger suara kamu. " kekeh Sania lamu menjawil hidung Zaki.

Sania clingak-clinguk, "Zidannya mana?" tanya Sania.

Zaki mendongak menatap sang Bunda, "Lagi beli es krim ama Bik Sulis, Bun. "

Sania hanya mengangguk paham, lalu menggendong Zaki ke sofa.

***

Sakha memasuki hotel dengan gaya coolnya, dan jangan lupakan dengan ekspresi datar pria itu. Hari ini ia berada di negeri jiran untuk menemui para rekan kerjanya.

Sakha sudah kembali normal sejak tiga tahun lebih yang lalu. Namun, ia masih sering memikirkan Sania. Ia sangat berharap bertemu dengan Sania kembali.

Hari ini ia akan meeting bersama kolega bisnis terkenal dari berbagai negara. Sakha menoleh menatap sekretarisnya yang bernama Dion.

"Berapa menit lagi meeting di mulai?" tanya Sakha pada Dion.

"Sepuluh menit lagi, Pak. " sahut Dion.

Sakha mengangguk sekali. Kemudian mereka melanjutkan langkah nereka menuju lantai delapan tempat berlangsungnya meeting. Namun, Langkah Sakha terhenti kala melihat dua bocah laki-laki yang sedang merengek kepada perempuan, yang ia yakini itu adalah pengasuh kedua bocah itu.

"Bik! Ayo tempat Bunda... " rengek Zaki pada pengasuhnya yang di kirim sang Oma dari Indonesia. Panggil saja pengasuh mereka dengan sebutan Bik Sulis, yang berusia 34 tahun.

Yaps, benar. Itu adalah Zaki dan juga Zidan, putra Sania. Sedari tadi sikembar terus saja merengek meminta di pertemukan dengan sang Bunda.

"Huaaa! Hiks, hiks... Idan mau tempat Bunda!" pekik Zidan yang sudah berguling-guling di lantai.

Lihat lah para tamu hotel dan para karyawan hotel, mereka semua menatap Zidan yang sedang menangis. Ada yang menatap kasian, ada juga menatap Zidan bingung, dan bahkan ada yang tertawa melihat tingkah bocah menggemaskan itu.

Bik Sulis benar-benar kewalahan menghadapi dua pangeran Sania. "Aduh Den Zidan... Nanti bajunya kotor loh kalo guling-guling di lantai, " peringat Bik Sulis lalu menggendong Zidan.

Zaki memeluk kaki Bik Sulis lalu mendongak menatap Bik Sulis, "Ayo Bik! Tempat Bunda!" pekik Zaki.

"Iya ayo Bik tempat Bunda..." rengek Zidan yang berada di gendongan Bik Sulis.

Bik Sulis menghelas napas panjang, "Iya kita tempat Bunda. Tapi nanti, kan Bundanya Den Zidan sama Den Zaki, lagi kerja." ucap Bik Sulis memberi pengertian pada keduanya.

"Gak mau! Zaki mau tempat Bunda sekarang!" pekik Zaki, dan seketika menangis  kencang.

Tanpa mereka sadari sedari tadi Sakha dan sekretarisnya, Dion, melihat ketiganya. Entah dorongan darimana, Sakha menghampiri Zaki.

"Halo Boy? " sapa Sakha lalu berjongkok di hadapan Zaki yang duduk di lantai.

Seketika itu pula tangis Zaki mereda, lalu menatap polos Sakha di hadapannya.

"Om, siapa?" tanya Zaki memiringkan kepalanya menatap Sakha. Sungguh, Sakha sangat gemas melihat Zaki dengan hidung yang merah dan mengeluarkan cairannya, sesekali Zaki juga menghirup ingusnya, bola matanya bewarna cokelat persis seperti dirinya, pipinya yang gembul kemerah-merahan, dan rambut yang di tata rapi. Tampan.

Bik Sulis dan Zidan diam melihat interaksi keduanya. Bik Sulis menggigit bibir bawahnya. Pasalnya ia tahu betul siapa Sakha sebenarnya. Walau hanya mendengar ceritanya saja.

"Kok nangis?" lembut Sakha mengusap puncak kepala Zaki yang masih sesenggukan.

Perlahan bibir Zaki melengkung ke bawah, siap hendak nangis. Sakha gelagapan, "Eh-eh! Jangan nangis, kalo nangis ntar gantengnya ilang loh!" ancam Sakha.

Zaki menatap tajam Sakha, "Jadi maksud, Om! Kalo Zaki nangis Zaki jelek!?" pekik Zaki.

Mereka yang berada disana sontak mengusap telinga mereka. Sakha meringis, "Salah ngomong gue?" gumamnya pelan.

"Ah-enggak gitu maksud saya. Jad-" ucapan Sakha terpotong.

"Maap, Pak! Meeting akan di mulai, sebaiknya kita segera ke tempat." tegas Dion.

Sakha menoleh kearah Dion, lalu berdiri tegak. Sakha menatap Zaki, "Om deluan ya?" ucap Sakha seraya mengusap puncak kepala Zaki yang menatapnya garang.

...

Sakha Sania (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang