24

2.4K 201 12
                                    

Tolong tandai typo:)
.
.
.

Terlihat Sania sedang berbincang dengan sekretaris rekan kerjanya yang bernama Werie dari negara Singapura.

"You are so great, at a young age like this you have become the leader of a big company!" kagum Werie menatap takjub Sania.

Sania tersenyum, "Ah, that's not a great thing. You can also be a leader if you work hard."

Werie hanya tersenyum menatap kagum wanita berhijab itu.

"Excuse me!" ucap Sakha dan Dion bersamaan memasuki ruang meeting.

Sakha tercengang, kala pandangannya mengarah pada wanita berhijab yang tengah berbicara dengan wanita bule.

"Sania?" lirih Sakha.

Sedangkan Sania? Dia masih belum menyadari kehadiran Sakha dan malah asik dengan wanita bule di sampingnya.

Sania menatap berkas-berkas di hadapannya lalu menoleh kearah Nira, selaku sekretarisnya.

"Good. then let's get started!" ucap Nira memulai acara meeting.

Nira menjelaskan secara rinci tentang produk perusahaan Sania yang akan di produksi. Sania tersenyum puas melihat cara kerja Nira yang profesional.

Drrt! Drrt! Drrt!

Ponsel Sania bergetar tanda telpon masuk. Sania menatap layar ponselnya, yang ternyata Mamanya yang menelpon.

'Angkat gak ya? Ntar penting lagi. Dah lah angkat aja!'  batin Sania.

"Excuse me! sorry, I want to pick up the phone for a moment." pamit Sania berlalu keluar ruangan meeting.

Mata Sakha sedari tadi tak lepas dari Sania. Sepertinya, perempuan itu belum menyadari kehadirannya.

"Siapa yang menelponnya? Sampai ia pamit mengangkat telpon di waktu meeting pentingnya gini?" gumam Sakha.

***

Sania menggeser tombol hijau itu untuk mengangkat telepon.

"Assalamualaikum, Ma?"

"Waalaikumsalam, San! Kamu jadi pulang kan, Kak? Kakak udah janji lo sama Mama pulang hari ini!"  ucap Saras sang Ibunda di seberang sana.

Sania menghela napas lelah, "Iya, Ma. Abis meeting Kakak pulang."

"Beneran ya! Mama udah gak sabar pengen ketemu twins. Yaudah, kalo gitu kamu lanjut cari dolarnya. Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam, Ma!" jawab Sania lalu mematikan ponselnya.

Sania kembali ke ruangan meeting. Tatapannya terpaku ketika melihat Sakha yang juga menatapnya. 'Bagaimana bisa aku baru melihatnya?'  batin Sania lalu mendudukkan bokongnya di bangku.

'Bagaimana ini? Bagaimana bisa aku tidak mengecek rekan kerja ya hadir hari ini? Aduh... '   batin Sania menatap berkas di hadapannya.

'Aku harus perbaiki hubungan ku dengan Sania. Tak kan ku biarkan ia pergi lagi!'  batin Sakha.

Tiga puluh menit kemudian. Acara meeting di bubarkan, dengan langkah cepat Sania keluar ruangan setelah pamit pada rekam kerjanya.

Drrt! Drrt! Drrt!

Ponsel Sania bergetar. ia menatap ponselnya ysng ternyata Aris lah yang meneleponnya. Dengan segera, Sania menggeser tombol hijau itu.

"San! Semua udah siap, meeting udah selesai kan? "  tanya Aris di seberang sana.

"Sania!" panggil Sakha dari belakang yang tak jauh dari dirinya.

Sania mempercepat langkahnya. Menjauh dari Sakha yang mencoba mengejarnya.

"San! Denger gak gue ngomong apa?" dengus Ars di seberang sana.

"Kalian tunggu di parkiran!" ucapnya lalu memasuki lift.

Baru saja Sakha hendak masuk, pintu lift sudah tertutup lebih dulu. Sania membuang napas lega, "Untung... Saja." monolognya.

Tak lama pintu lift terbuka, dengan segera ia melangkahkan kakinya menuju parkiran. Sania membalikkan badannya, untuk mengecek apakah Sakha masih mengikutinya atau tidak. Ia mengucap puji syukur kala Sakha ternyata tidak mengikutinya.

Terlihat di depan mobil, Aris melambaikan tangan kearahnya, dan juga Jihan yang tersenyum lebar menatapnya.

Aris menyipitkan matanya kala melihat seseorang laki-laki yang ia ketahui bahwa itu adalah Sakha yang tengah berlari kearah Sania.

Jihan mengerutkan kening kala melihat Aris yang mengeraskan rahangnya dan juga tangannya yang mengepal keras. Jihan menatap arah pandang Aris yang menatap tajam Sakha.

Jihan pucat, "Bisa perang badai nih," monolognya.

Sania menaikkan sebelah alis matanya, "Tu mata kenapa setajem silet gitu?" monolognya. Sania lalu mempercepat langkahnya kearah Aris dan Jihan.

Namun, langkah Sania terhenti kala tiba-tiba saja ada yang mencekal tangannya. Sania berbalik. Matanya membulat kala kini Sakha sudah berdiri tepat di hadapannya.

Grep!

Sakha memeluk erat Sania. "Maap... Maapkan saya... Jangan tinggalin saya lagi, San... " lirih Sakha, tampa Sania sadari Sakha meneteskan air mata.

"Saya janji akan selalu percaya sama kamu. Saya sangat bersyukur bisa menemukan mu. Beri saya kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita, San." ucap Sakha lalu melepas pelukan mereka dan menatap Sania serius.

Sania menatap sendu Sakha. Tiba-tiba saja Aris menarik tangan Sania.

"Mau ngapain lo hah! Mau nyakitin Sania lagi? Iya!" bentak Aris. Sungguh, ia sangat emosi saat melihat Sakha.

Sakha mengerutkan kening, "Anda siapa?"

"Lo gak perlu tau siapa gue! Mending lo pergi jauh-jauh dari hadapan Sania, dan jangan pernah kembali!" tekan Aris.

Sedangkan Jihan? Sudah panas dingin kala melihat kemarahan sang suami. Sania diam, memperhatikan kedua lelaki itu.

Sakha menatap Sania, "San?" Sakha meraih tangan Sania untuk di genggamnya.

Aris menepis kasar tangan Sakha. Sakha menatap tajam Aris. "Jangan ikut campur urusan saya dan Sania. Lebih baik, anda pergi," ucap Sakha berusaha tetap tenang.

"Gue gak akan biarin lo bicara dengan Sania. Karena disini, Sania tanggung jawab gue!" sanggah Aris.

"Tapi gue suaminya, jadi gue yang lebih berhak tanggung jawab atas Sania," tegas Sakha.

Aris tertawa garing, "Suami? Suami macam apa lo hah? Disaat Sania bertaruh nyawa melahirkan anak kalian lo dimana? Dimana hah!" bentak Aris,  kini amarahnya sudah di ubun-ubun.

Aris menatap serius Sakha, "Lo gak akan tau gimana perasaan gue, saat Dokter menyatakan Sania gak dapat diselamatkan," Aris membuang wajahnya menahan air mata. Sungguh, disaat itu ia benar-benar hancur.

Spontan Sakha menatap Sania yang hanya diam menatap lurus. Dengan langkah berat, Sakha menghampiri Sania. Sakha menggenggam tangan Sania yang menatap kosong.

"San... Maapin saya San... Saya janji tidak akan membuatmu kecewa lagi," ucap Sakha menggenggam erat tangan Sania.

"Kembali, San... Saya membutuhkan mu. Hidup saya tidak akan sempurna tampamu tulang rusukku. "

Sakha memeluk Sania, "Ayo kita buka lembaran baru, San. Saya tidak lupa dengan kesalahan saya, tapi saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan itu." Sakha mengecup puncak kepala Sania yang terbalut hijab.

Jihan tidak dapat menahan air matanya lagi. Sedangkan Aris, ia menatao kosong. Ia tidak boleh egois untuk menjauhkan sepasang suami istri yang bahkan sudah memiliki dua buntut.

"Bunda!" pekik Zaki dan Zidan bersamaan.

Sontak Sakha, Sania, Jihan dan Aris menatap twins yang berlari kearah Sania.

...

Sakha Sania (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang