13

1.8K 162 0
                                    

"Maksud lo... Gara si kakak kelas kita yang menjabat sebagai osis itu? " tanya Galih menatap serius Sania.

Posisi mereka kini berada di sebuah kafe. Sania meminta Galih untuk melacak keberadaan Gara. Karena hanya Galih yang ia tahu mampu melacak dan menghakcker.

Sania mengangguk sebagai jawaban 

"Lo kenapa sih, nyuru gue ngelacak keberadaan Kak Gara? " bingung Galih.

"Dia harus bertanggung jawab dengan anaknya yang di kandung Fely--" ucapan Sania terjeda.

"Uhuk uhuk." Galih tersedak ludahnya sendiri  lalu menatat Sania tak percaya. "Anak? Kandungan? Gimana bisa? Maksudnya gimana sih? " tanya Galih beruntun.

Sania menyentil gemas kening Galih.

"Gue gak bisa bilang kejadiannya. Saat ini Kak Gara gak tau kalo Fely sedang mengandung anaknya. Di tambah kejadian itu satu bulan yang lalu. "

Galih terkejut dengan pernyataan Sania barusan.

Cekrek

Tampa mereka sadari, di meja tak jauh dari mereka seseorang yang menutupi wajahnya dengan buku menu memotret mereka diam-diam.

"Oke, ntar gue kabarin lo. Gue buru-buru ada matkul yang gak bisa gue tinggal. Jadi deluan ya? " pamit Galih berlalu dari sana.

***

Ting!

Ponsel Sakha berdenting tanda notifikasi masuk di aplikasi whatsapp-nya.

Rahang Sakha mengeras kala melihat seseorang yang mengirimkan poto saat Sania bertemu dengan Galih. Namun, Sakha juga penasaran siapa yang mengirimnya. Sakha melihat username no tersebut yang bertulislan. Ardan. D.

Apakah dia ingin menghancurkan rumah tangga ku?
Pikir Sakha.

"Arrrghk, " Sakha mengacak rambutnya gusar.

***

Sore harinya.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu utama.

Sania yang berada di dapur berlari kecil kearah pintu. Ia yakin bahwa itu adalah Sakha.

Ceklek!

Pintu terbuka. Sania mengerutkan kening heran, kala melihat Sakha berpenampilan kusut, rambut acak-acakan dan dasi yang longgar.

"Bang Sakha, kenapa? " tanya Sania bingung seraya menyalami punggung tangan Sakha.

Sakha diam tak menggubris, ia melangkahkan kakinya kearah tangga menuju kamar.

Sania semakin bingung dengan sikap Sakha yang tidak seperti biasanya.

"Mungkin lagi ada masalah kali, bisa jadi... Masalah si penggelap uang kemarin." monolog Sania lalu menuju ke dapur berniat membuatkan kopi untuk Sakha.

***

Setelah mandi, Sakha merebahkan tubuhnya di kasur. Entahlah ada apa dengan hari ini, baginya hari adalah hari yang sangat melelahkan, lelah bagi fisiknya maupun batinnya.

Baru saja Sakha memejamkan mata, Sania sudah datang membawa secangkir kopi.

"Di minun dulu kopinya, nanti dingin." ucap Sania seraya meletakkan kopi di nakas samping kasur sebelah Sakha.

Sakha hanya diam tak berniat mengeluarkan suaranya. Sania mendudukkan bokongnya di samping Sakha.

"Lo kenapa sih, Bang Sakha? " tanya Sania. Biasanya laki-laki itu tak biasa mendiamkannya seperti ini.

Sakha masih terdiam menutup matanya.

"Kalo ada apa-apa itu cerita, jangan diem aja. Apa masalah kemarin semakin rumit? "

Sakha hanya diam melirik Sania sekilas lalu menutup matanya kembali.

"Suami kampret! " gumam Sania mendengus kesal. Lalu pergi dari sana menuju kamar mandi berniat membersihkan tubuhnya.

Sakha membuang napas kasar. "Apa aku salah? " monolognya.

***

Hingga malam kini, Sakha masih mendiamkan Sania. Bahkan Sakha tidak menunggunya untuk solat Magrib dan Isya.

Sungguh Sania sangat bingung. Mengapa Sakha mendiamkannya. Padahal, tadi pagi saja mereka masi baik-baik saja.

Sania memiringkan tubuhnya menatap punggung Sakha.

"Gue salah apa? " lirih Sania.

Sakha yang bekum tertidur jelas mendengar lirihan Sania.

"Lagian ni suami kampret ngapain sih! Sok-sok an diemin binik." dengus Sania mencebikkan bibir.

Sakha hanya tersenyum tipis mendengar sewotan Sania.

"Kalo ada masalah tu bilang, " gumam Sania seraya menonjok-nonjok pelan punggung Sakha menggunakan jari telunjuknya.

"Ya Alloh... Apa dosa hamba sehingga engkau menakdirkan sosok yang sangat menjengkelkan untuk menemani hidup hamba? " gumam Sania dramatis seraya menatap langit-langit kamar dan berekspresi sedih.

Sania mengelus perutnya. "Nanti kamu jangan kaya Bapak mu ya, nak. Bisa pusing tujuh keliling Bunda kalo kamu kayak ni demit, " seraya menyikut pelan punggung Sakha.

"Ekhem!" dehem Sakha membalikkan tubuhnya menatap Sania yang terkejut tak berkedip menatapnya. Sania pikir suaminya itu sudah terlelap, maka dari itu ia berbicara seperti barusan.

"Saya dengar apa yang sedari tadi kamu dumel, " dingin Sakha menatap datar Sania.

Sania tersenyum kecut. "Ya terus? " enteng Sania menaikkan kedua alis matanya.

"Dosa berbicara di belakang suami. Dan jelas anakcini seperti saya...." seraya menunjuk perut Sania. "Karna saya Ayahnya. "

Sania tersenyum geram. Lalu Sania merubah posisinya memunggungi Sakha.

"Dosa membelakangi suami, " dingin Sakha.

Sania mendengus kesal. "Tadi aja ni orang munggungin gue, emang gak dosa? " gumamnya lalu merubah posisinya menghadap Sakha yang menatapnya datar.

"Apa lo! " menatap tajam Sakha.

Sakha menaikkan sebelah alis matanya lalu menggeleng.

***

Sakha Sania (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang