Bab 2

2.9K 277 3
                                    

"Abang aku ikut pulang sama Abang dong!"

"Gue ada urusan lo pulang sendiri aja sana!"

Prilly mengerucutkan bibirnya ketika Ali menolak pulang bersama dengannya padahal sudah setengah hari ini Prilly tidak berinteraksi dengan pria itu, Ali sibuk dengan Bella.

Tidak apa-apa, Prilly tidak akan marah toh ia yakin jika Ali hanya akan menjadi miliknya seorang.

"Memangnya Abang mau kemana sama Bella?" Sebenarnya usia Bella lebih tua dari Prilly tapi karena mereka seangkatan tidak mungkin Prilly memanggil Bella dengan tambahan Kakak jadi Prilly hanya memanggil Bella dengan nama saja.

Ali yang sedang menunggu Bella menoleh menatap Prilly dengan tatapan dinginnya. "Bukan urusan lo!" Ketusnya yang membuat wajah Prilly murung seketika.

Prilly memang sudah terbiasa dengan dengan bentakan bahkan kata kasar yang keluar dari mulut Ali tapi setiap kali pria itu bersikap dingin dan cuek padanya hatinya tetap saja terasa sakit.

Dengan memaksakan senyumannya Prilly kembali mendongak menatap Ali. "Ya sudah kalau begitu aku pulang duluan ya Bang. Dadah Abang!" Prilly segera berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Ali yang menatap heran punggung kecil Prilly.

"Tumben langsung pergi." Katanya sambil mengedikkan bahunya cuek. "Bella kemana sih? Lama banget." Keluh Ali melirik jam di pergelangan tangannya.

Tanpa Ali tahu, jika saat ini seorang gadis mungil sedang menangis terisak-isak dibalik pohon besar yang ada di samping pagar sekolah mereka.

Gadis itu adalah Prilly, ia sengaja berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Ali karena tidak ingin Ali sampai melihat air matanya, ia takut Ali akan semakin membencinya.

Ali tidak menyukai wanita manja jelas pria itu akan semakin jijik jika tahu Prilly memiliki sifat lain selain manja yaitu cengeng.

Prilly menumpahkan seluruh rasa sakit dan kecewanya melalui tangisan. Ia berjanji setelah menghapus air matanya ia akan kembali bersikap seperti semula. Prilly sudah terbiasa melakukan hal ini tujuannya hanya untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Syukurnya cara ini selalu ampuh untuk dirinya.

Puas menangis Prilly mendongakkan kepalanya dengan wajah bersimbah air mata hal pertama yang ia lihat adalah seorang pemuda yang entah sejak kapan sudah berjongkok didepannya.

"Jelek banget muka lo kalau lagi nangis gini." Ejeknya sambil menyodorkan satu tangan untuk Prilly. "Hapus air mata lo gue paling nggak suka lihat cewek nangis apalagi cewek itu lo." imbuhnya lagi yang membuat Prilly segera merah sapu tangan itu lalu menyeka air matanya.

Prilly bahkan membuang ingusnya pada sapu tangan itu, suara berisik yang keluar dari hidungnya membuat laki-laki yang berjongkok didepan nya mengernyit jijik.

"Untung lo cantik." Katanya sebelum berdiri lalu berlalu dari sana tanpa mengatakan apapun.

Prilly yang sibuk membersihkan wajahnya sampai tidak sadar jika pria yang memberinya satu tangan itu sudah pergi dari sana. Setelah wajahnya benar-benar bersih Prilly berniat mengembalikan sapu tangan pria itu dan di saat itu pula ia baru sadar jika pria baik hati yang memberinya satu tangan itu sudah pergi.

"Yah Kakaknya hilang." Keluh Prilly sambil meremas kain ditangannya. "Nggak apa-apa deh sapu tangannya aku bawa pulang dulu terus aku cuci besok aku balikin deh." Seru Prilly kembali riang sebelum bangkit dari posisinya dan berjalan kembali menuju pagar.

Tepat disaat itu pula mobil milik Ali melaju meninggalkan sekolah. Prilly bisa melihat bagaimana wajah berseri Ali ketika mengusap kepala perempuan yang ada disampingnya. Bella, wanita itu benar-benar bisa meluluhkan kerasnya hati Ali bahkan Prilly saja yang sudah berusaha belasan tahun jangankan meluluhkan hati Ali membuat Ali bersikap baik padanya saja ia tidak mampu.

Miris sekali.

Prilly menatap mobil Ali sampai mobil itu benar-benar menghilang dari pandangannya. Prilly mengukir senyumannya. "Semangat Prilly! Nggak apa-apa sakit sekarang siapa tahu besok kamu yang paling bahagia. Semangat!" Prilly menyemangati dirinya sendiri sebelum melangkah menuju pagar meninggalkan sekolahnya yang mulai sepi.

***

"Assalamualaikum Mami." Suara cempreng Prilly terdengar memenuhi ruangan tamu rumahnya.

"Mami di dapur Sayang." Suara Zia sang Ibu terdengar menyahut. Prilly segera berlari menuju dapur menghampiri Ibunya. "Mami masak apa hari ini?" Tanya Prilly sambil melongokkan kepalanya ke panci yang ada di depan sang Ibu.

"Mami masak sup iga sapi Sayang." Jawab Zia sambil mengaduk sup buatannya.

Prilly sontak bersorak gembira saat mengetahui Ibunya memasak sup kesukaan dirinya. "Nanti bagi Abang juga ya Mi, Abang kan juga suka sup buatan Mami." Seru Prilly pada Ibunya. Gadis itu seolah lupa tentang tangisannya akibat perbuatan Ali disekolah tadi.

Prilly terlihat sekali sangat menyayangi Ali hanya saja pria itu terlalu bodoh untuk menyadari hal itu hingga terus-menerus menyakiti Prilly bahkan terkadang dengan sengaja ia lakukan.

Zia menatap putrinya. "Kamu sayang sekali sama Abang Ali ya?" Prilly menganggukkan kepalanya dengan begitu yakin. "Sayangnya Bang Ali nggak sayang Prilly Mi." Jawabnya dengan senyuman penuh kemirisan.

Zia sudah tahu perihal perasaan putrinya pada putra semata wayang sahabatnya itu. Hanya saja Zia mulai merasa kasihan pada putrinya, Prilly begitu gigih memperjuangkan cintanya sedangkan Ali begitu gigih pula menolak perasaan putrinya.

"Mami tahu kamu udah gede tahu mana yang baik untuk kamu tapi Sayang apa kamu tidak ingin berhenti saja?" Tanya Zia pelan-pelan. Ia takut putrinya akan tersinggung, Prilly ini mudah sekali tersinggung jika sudah membahas tentang Ali.

Lihat saja ekspresi berbinar putrinya kini berubah kecut saat Zia mulai membahas tentang Ali.

"Prilly suka tidak Prilly mencintai Bang Ali tepatnya." Jawab Prilly dengan ekspresi wajah begitu serius. "Mami tahu bukan jika selama ini mati-matian Prilly memperjuangkan cintanya Abang dan Mami selalu kasih dukungan lalu kenapa tiba-tiba --"

"Sayang dengarkan Mami."

"Tidak, Prilly tidak ingin mendengarkan apapun jika Mami masih meminta Prilly untuk berhenti memperjuangkan Abang." potong Prilly sebelum berbalik dan meninggalkan Ibunya yang menatap kepergian putrinya dengan helaan nafas berat.

"Mami hanya tidak ingin kamu terluka semakin dalam Nak. Ali memang pria baik tapi sayangnya Ali tidak baik untuk kamu Nak." Lirih Zia dengan setetes air matanya.

Di dalam kamarnya, Prilly kembali menumpahkan tangisannya. Ia tahu jika selama ini ia benar-benar bodoh, ia bodoh memperjuangkan laki-laki yang bahkan menoleh saja untuk dirinya enggan justru Ali merasa risih dan mungkin benci dengan kehadiran dirinya tapi Prilly tidak bisa melepaskan pria itu.

Prilly sudah terlalu dalam mencintai Ali, hanya Ali satu-satunya laki-laki yang ia inginkan di dunia ini. Jika tidak dengan Ali mungkin selamanya Prilly tidak akan menikah begitu besar rasa cintanya pada pria itu.

"Kenapa kamu jahat banget sama aku Bang. Kenapa?" Lirih Prilly disela isak tangisnya. "Kalau Abang benar-benar tidak mau membalas perasaanku setidaknya jangan lukai hatiku Bang. Hatiku sakit." Lanjut Prilly dengan linangan air matanya.

Prilly selalu saja menangis bahkan selama yang ia ingat jika berhubungan dengan Ali ia selalu seperti ini, terluka dan menangis.

Prilly menumpahkan kembali semua rasa sakitnya tanpa ia sadari dibalik pintu kamarnya, Zia sang Ibu ikut menitikkan air matanya saat mendengar isak tangis putrinya yang terdengar begitu pilu.

"Berhentilah Nak! Mami mohon tolong berhenti sebelum kamu semakin terluka dan hancur." Lirih Zia disela air matanya. Zia tidak membenci Ali sungguh karena disini Prilly-lah yang salah, putrinya yang ingin berjuang hanya saja Prilly salah menempatkan dirinya, putrinya memperjuangkan sesuatu yang ia sadari hanya memberinya luka tapi dengan keras kepalanya Prilly tetap melanjutkan usahanya.

Dan hari ini untuk pertama kalinya Zia merasa menyesali keinginannya dulu yang ingin bertetanggaan dengan sahabatnya, Fajar dan Rahma.

*****

My husband❤️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang