Bella tersenyum puas ketika mendengar Ali berkata pria itu akan kerumahnya. Tak sia-sia aktingnya menangis sehisteris tadi."Gue bakalan buktiin ke semua orang terutama Prilly jika Ali benar-benar sudah tunduk di bawah kaki gue." Katanya dengan begitu sombong. Bella menyeka air matanya sebelum menyambut kedatangan Ali ia harus memastikan jika kondisinya dalam keadaan mengenaskan supaya Ali tidak tahu jika semua yang katakan adalah kebohongan.
Bella akan menghampiri Ali dengan wajah bersimbah air mata seolah-olah ia baru saja dilecehkan oleh orang-orang yang tidak dikenal bercak merah bekas bibir Pak Bram tadi siang cukup membantu dirinya saat ini.
Bella sengaja mengganti bajunya dengan pakaian tidur berbahan lembut dan sedikit menerawang. Sebelum ia kenakan ia sengaja merobek beberapa bagian baju itu supaya Ali semakin yakin jika dirinya benar-benar menjadi korban pelecehan.
Bella tinggal sendirian di rumah besar ini. Rumah besar hasil menjual tubuhnya pada Pak Bram. Menjadi simpanan Bram benar-benar membuat kehidupannya bergelimang harta.
Bella tidak tahu dan tidak perduli dengan keberadaan orang tuanya. Ia bisa menghidupi dirinya sendiri jadi ia tidak butuh yang namanya orang tua.
Mereka hanya akan menyusahkan dirinya saja.
"Selesai. Walaupun penampilan awut-awutan tapi gue harus tetap terlihat cantik didepan Ali." Ujarnya dengan senyuman mengembang. Bella terlihat sangat puas dengan dandanannya saat ini.
Bella sedang memoles bibirnya dengan lipstik warna kalem supaya terlihat natural namun tiba-tiba ia merasa mual luar biasa sehingga ia harus melemparkan lipstiknya dan berlari menuju kamar mandi.
Huek.. Huekk...
Hueekk...
Bella mengerang kesakitan ketika perutnya terus bergejolak tenggorokannya sampai terasa sakit sekali. Bella hanya memuntahkan cairan bening sedikit kekuningan namun rasa pahit yang menjalar didalam mulutnya membuat perutnya kembali bergejolak dan Bella kembali memuntahkan isi perutnya.
"Akh sialan tenggorokan gue sakit sekali bangsat!" Terdengar suara makian Bella sebelum wanita itu kembali mengeluarkan isi perutnya.
Diluar rumahnya, Ali baru saja dan langsung buru-buru turun dari motor maticnya. Ia benar-benar khawatir dengan keadaan wanita itu. Bella menangis begitu histeris ketika menghubungi dirinya tadi.
"Bella! Bella!!" Ali berteriak didepan pagar rumah Bella.
Ali tak kehilangan akal pria itu nekat memanjat pagar rumah Bella bertepatan dengan ponselnya yang berdering meminta perhatian. Ali memilih mengabaikan deringan ponselnya, Bella lebih penting sekarang.
Ali berhasil menapaki tanah setelah memanjat pagar rumah Bella. Ponselnya kembali berdering namun lagi-lagi Ali memilih abai, pria itu sudah berlari menuju pintu rumah Bella dan mulai menggedornya.
"Bella! Bell! Ini aku buka pintunya Bell!" Ali benar-benar terlihat khawatir pria itu bahkan sampai nekat mendobrak pintu rumah itu.
Baru sekali dobrakan pintu rumah itu terbuka dan memperlihatkan Bella yang datang dengan wajah pucat pasi.
"Bella kamu kenapa?" Ali segera menahan tubuh Bella ketika wanita itu nyaris tersungkur ke lantai.
"Lemes banget.." Lirihnya. Bella tidak berbohong kali ini, ia benar-benar merasa lemas pandangannya juga terasa berputar-putar setelah insiden dikamar mandi tadi.
Bella tidak tahu apa yang salah dengan tubuhnya tapi pandangannya semakin mengabur dan perutnya kembali terlilit rasanya sakit sekali.
Bella refleks meremas perutnya. "Perutku sakit sekali Li. Sakit." Tubuh Bella meluruh dalam dekapan Ali sebelum wanita itu benar-benar kehilangan kesadarannya.
"Bella! Ya Tuhan Bella kamu kenapa? Jangan buat khawatir Bella! Bella bangun!" Namun sayangnya Bella tak lagi membuka matanya meskipun Ali sudah berkali-kali menepuk pipinya.
***
Prilly tidak pernah membayangkan jika hari ini akan tiba di kehidupannya. Ia sama sekali tidak pernah menyangka jika diusianya yang masih begitu belia ia harus kehilangan dua dunianya.
Prilly berubah menjadi sosok pendiam, wajah cantiknya terlihat datar tatapan matanya berubah kosong. Prilly tidak menangis bahkan ketika Rahma dan Fajar membantunya melangkah memasuki kamar mayat dimana kedua dunianya berada.
Langkah kaki Prilly terasa begitu berat namun ia harus kuat. Dengan dibantu oleh Fajar dan Rahma akhirnya ia bisa berdiri tepat didepan pintu kamar mayat yang sudah dibuka seolah mereka memang sudah bersiap untuk menyambut Prilly.
Jantung Prilly seolah berhenti berdetak ketika melihat dua ranjang dimana orang tua Prilly dibaringkan meskipun sudah ditutupi dengan kain putih tapi Prilly bisa melihatnya. Telapak kaki besar itu milik Papinya.
"Ayok Sayang." Rahma merasa tenggorokannya seperti tercekat, seolah ada bongkahan batu yang berusaha ia telan. Rasanya sakit sekali.
"Bang Ali?"
Rahma dan Fajar saling berpandangan, mereka tahu Prilly akan selalu mencari Ali jika mengalami sesuatu yang mengerikan meskipun Ali kerap mengabaikan dirinya tapi Prilly benar-benar tidak bisa jauh dari pria itu.
"Ada Ayah. Ayah temenin ya?" Fajar memeluk bahu Prilly dengan erat. "Ternyata bukan hanya Mami Papi yang pergi dari aku tapi Abang juga." Lirih Prilly dengan begitu sendu. Gadis itu tidak menangis tatapannya masih kosong mengarah pada jasad orang tuanya.
Rahma memejamkan matanya, ia benar-benar tidak menyangka jika putranya begitu tidak bisa diandalkan. Bahkan disaat Prilly tunangannya terpuruk seperti ini pria itu tetap saja tidak ada. Ali benar-benar keterlaluan.
"Mami.."
"Papi.."
Prilly sudah berdiri di antara kedua orang tuanya. "Kita pulang sekarang ya? Prilly tahu Mami nggak suka bau rumah sakit kan? Papi juga paling nggak bisa liat Mami nggak nyaman. Jadi sekarang kita pulang ya." Prilly berbicara dengan begitu lancar tidak ada air mata yang keluar dari sudut matanya.
Rahma yang berdiri disebelah jenazah sahabatnya tak bisa menahan air matanya. "Ziaa! Kenapa kamu pergi bahkan sebelum kita mewujudkan impian kita yang tinggal selangkah lagi Zi?" Rahma tidak ingin meracau tidak mulutnya benar-benar tidak bisa diajak bekerjasama. Rahma belum bisa menerima kenyataan jika sahabat karibnya sudah terlebih dahulu berpulang ke pangkuan Tuhan.
"Bunda jangan nangis nanti Mami ikut nangis. Prilly nggak bisa nenangin Bunda dan Mami jika kalian sama-sama menangis." Ucap Prilly masih dengan tatapannya yang begitu kosong.
Rahma segera berjalan menghampiri Prilly lalu memeluk putrinya dengan erat. "Jangan begini Nak! Kamu boleh menangis tapi tolong jangan seperti ini."
Prilly sudah berubah menjadi cangkang kosong. Tidak ada ekspresi apa-apa di wajahnya bahkan kedua tangannya seperti mati rasa sehingga ia tidak dapat membalas dekapan hangat sang Bunda.
"Kita pulang sekarang ya Bun. Kasihan Mami sama Papi pasti bobonya nggak enak, ranjangnya nggak empuk."
"Ya Tuhanku.. Prilly putriku..."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
My husband❤️
Lãng mạnBagaimana rasanya mengejar cinta seorang pria yang sedari kecil kamu jadikan pangeran impianmu yang merupakan tetangga sebelah rumah yang jaraknya hanya hitungan langkah? Sakit? Tentu saja. Kecewa? Sudah biasa. Terluka? Sering. Terlebih ketika p...