Menjelang sore hari Prilly keluar dari kamar orang tuanya. Nanti malam ia akan bergabung dengan tamu-tamu yang datang untuk mendoakan orang tuanya.Prilly keluar dengan wajah sembab dan mata bengkak, ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk menangis sebelum akhirnya ia tertidur lelap.
"Baru bangun Sayang?" Prilly menoleh menatap Rahma lalu tersenyum kecil. "Iya Bun."
"Teman-teman aku kemana ya Bun?"
"Naura sama Adrian lagi keluar sebentar Sayang. Yang bule itu lagi bersih-bersih tuh di halaman depan."
Yang bule dimaksud Rahma pasti Reagan tapi kenapa Reagan ikutan bersih-bersih. "Reagan ngapain bersih-bersih Bun?"
Rahma mengedikkan bahunya. "Nggak tahu Nak udah Bunda larang tapi tetap kekeuh dia." Prilly mengangguk pelan. "Biar Prilly bilangin dulu deh Bun. Kasihan dia." Prilly ingin beranjak menghampiri Reagan namun sentuhan Rahma ditangannya membuat Prilly urung melangkah.
"Kenapa Bun?" Tanya Prilly saat melihat Rahma yang menatapnya dengan sendu. "Maafin Ali Nak."
Wajah Prilly terlihat kaget ketika mendengar Rahma menyebut nama Ali meskipun sesaat kemudian ia kembali tersenyum meskipun terlihat sangat ia paksakan.
Untuk saat ini ia masih belum bisa merasakan apa-apa kepada Ali selain rasa sakit. Ia kecewa bahkan sudah terlalu sering Ali mengecewakan dirinya namun ia belum pernah merasakan kekecewaan sebesar ini pada Ali sebelum-sebelumnya.
Jika hari ini Ali menyakiti hatinya maka besok ia akan kembali mengikuti pria itu seolah-olah ia tidak pernah disakiti sebelumnya tapi untuk kali ini Prilly tidak bisa.
Hatinya seperti sudah mati untuk pria itu.
"Sayang.."
Prilly tersentak kaget saat Rahma menyentuh pipinya. "Kasih Prilly waktu ya Bun. Untuk kali ini Prilly benar-benar harus berpikir jernih sebelum mengambil keputusan untuk hubungan Prilly dan Abang." Prilly berkata lembut namun penuh ketegasan.
Rahma hanya bisa menghela nafasnya namun kepalanya tetap urung mengangguk. Ia tahu, kesalahan putranya kali ini tak main-main Ali sudah terlalu dalam melukai Prilly.
Prilly segera melangkah menuju teras rumahnya tujuannya untuk menemui Reagan namun ketika ia mencapai ruang keluarga Ali sudah terlebih dahulu menahan dirinya.
"Kita perlu bicara."
Prilly menggeleng pelan. "Gue nggak ngerasa perlu bicara apapun sama lo."
"Prilly please."
"Jangan memohon lo nggak pantas memohon apapun sama gue. Kasta lo terlalu tinggi untuk memohon pada perempuan murahan kayak gue." skak Prilly yang membuat Ali sontak terdiam.
Prilly belum lupa perihal hinaan Ali kemarin dan tadi malam pria itu kembali menorehkan luka untuknya.
"Tadi malam aku jagain Bella dirumah sakit." Sialan! Ali nyaris menggigit lidahnya sampai putus dari sekian banyak kalimat lain kenapa justru kalimat itu yang keluar dari mulutnya.
Prilly tersenyum sinis berusaha menutupi rasa sakit lainnya yang kembali Ali torehkan di hatinya. "Nggak perlu lo jelasin apapun sama gue. Lo bukan siap--"
"Aku tunangan kamu!" Ali tidak tahu kenapa tapi mulai hari ini ia tidak akan lagi membiarkan Prilly mempermainkan ikatan mereka.
Cuih!
"Tunangan ya?" Prilly bersidekap menatap Ali dengan sorot remehnya. Untung saja di ruangan besar itu hanya ada dirinya dan Ali dan beberapa orang yang berlalu lalang namun tidak ada yang berani menguping pembicaraan Tuan muda dan Nona besar itu.
"Mungkin kemarin-kemarin gue akan melambung dengan pengakuan lo tentang status kita tapi hari ini gue jijik."
Deg.
Ali tidak tahu jika perkataan Prilly bak belati tajam yang menancap tepat di ulu hatinya. Sakit.
"Secepatnya gue bakalan akhiri pertunangan sialan ini dan lo bebas ngedeketin wanita manapun bahkan lo bisa nikahin Bella wanita pujaan hati lo itu. Lo bahagiakan? Dari dulu kebebasan seperti ini yang lo mau dari gue dan sekarang lo bebas. Gue bakalan benar-benar pergi dari hidup lo kalau perlu selamanya." Nafas Prilly terdengar berat meskipun ia kecewa pada Ali tapi melihat tatapan sendu yang pria itu layangkan tetap saja membuat bagian lain hatinya berdenyut sakit.
Sebelum air matanya benar-benar menetes di hadapan laki-laki yang masih begitu ia cintai ini, Prilly terlebih dahulu melangkah meninggalkan Ali yang terpaku sendirian.
Ia benar-benar sudah kehilangan Prilly, gadis cantik yang selama ini ia sakiti.
***
Sepanjang acara tahlilan dilaksanakan Prilly tidak bisa menahan air matanya namun begitu ia tetap menegarkan dirinya demi mengikuti acara tersebut. Ketika salah seorang ustad mulai membacakan doa dan menyebut nama kedua orang tuanya di sanalah tangis Prilly pecah.
Ali yang duduk berhadapan dengan gadis itu segera beranjak memapah Prilly untuk bangkit dari sana. Dan sikap manis Ali itu tak luput dari semua pandangan orang yang ada di sana terutama Reagan.
Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menatap kepergian Ali yang memapah Prilly ke kamarnya. Acara kembali dilanjutkan sedangkan dikamar Prilly, Ali masih setia memeluk gadis itu.
Prilly tidak menolak pelukan hangat yang Ali tawarkan, untuk saat ini saja tolong biarkan hati mengambil alih pikirannya. Hatinya begitu menginginkan Ali meskipun sejak tadi pagi otaknya begitu keras memerintahkan dirinya untuk menolak kehadiran pria ini.
"Mami Papi sudah tenang di sana. Kamu jangan nangis lagi ya. Kamu harus kuat." Untuk pertama kalinya sejak kehilangan orang tuanya Prilly benar-benar mendapatkan apa yang hatinya mau.
Sejak kemarin malam ia hanya menginginkan Ali dan malam ini ia benar-benar mendapatkannya. Andai saja Ali bersedia membuka pintu hatinya untuk Prilly mungkin gadis itu tidak akan sehancur ini setidaknya masih ada Ali meskipun sekarang laki-laki itu ada tapi jarak yang tak kasat mata yang sejak dulu Ali bangun tidak mungkin runtuh hanya dalam sekejap mata.
Setelah berhasil menguasai dirinya perlahan Prilly menarik diri dari rengkuhan Ali dan disaat itu pula perasaan hampa kembali menyusup ke hati pemuda itu.
"Makasih." Suara Prilly terdengar serak. "Tapi sekarang lo boleh keluar gue mau istirahat." Usir Prilly sebelum merebahkan tubuhnya membelakangi Ali yang masih menempati sisi ranjang dimana Prilly berbaring.
Ali menatap sendu punggung ringkih itu sebelum menghela nafasnya dan benar-benar beranjak dari sana. "Aku tahu kesalahan yang aku buat sudah tidak terhitung tapi untuk kali ini. Abang mohon tolong kasih Abang kesempatan untuk bahagiain kamu Prilly."
Hening.
Ali tahu Prilly tidak akan semudah itu memaafkan dirinya. Membungkukkan sedikit badannya ia raih kepala Prilly lalu ia kecup dengan lembut.
"Tidur yang nyenyak. Abang diluar kalau kamu butuh sesuatu panggil Abang jangan orang lain." pesan Ali sebelum benar-benar keluar meninggalkan Prilly yang perlahan kembali membuka matanya.
Mata Prilly kembali merasakan sengatan panas sampai akhirnya bulir-bulir air matanya kembali tumpah dan membasahi bantal yang masih melekat aroma Ibunya.
"Mami... Papi.. Prilly kangen.."
*****
![](https://img.wattpad.com/cover/292155606-288-k370191.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My husband❤️
RomantizmBagaimana rasanya mengejar cinta seorang pria yang sedari kecil kamu jadikan pangeran impianmu yang merupakan tetangga sebelah rumah yang jaraknya hanya hitungan langkah? Sakit? Tentu saja. Kecewa? Sudah biasa. Terluka? Sering. Terlebih ketika p...