War 4

1.7K 257 73
                                    

Fumime selalu berpikir bahwa dirinya punya mental yang sedikit lebih kuat dari yang lain.

Karena itu, saat hokage kelima menawarinya ikut perang—sebagai tim medis, walau beliau membeberkan 1001 resiko yang akan dia hadapi, Fumime tidak gentar. Dia menyanggupi untuk berdiri di tanah perjuangan.

Semua pelatihan psikologis yang dia jalani selama persiapan perang juga, tidak sepersen pun membuatnya goyah.

Pada akhirnya, dia menjadi prajurit termuda dalam aliansi.

Dengan kegigihan, dan tekad yang dia kobarkan dalam hatinya, Fumime yakin dia akan baik-baik saja walau dibayang-bayangi kematian.

Namun, setelah menjalani semua ini, baru Fumime sadari yang dia takutkan bukan lah kematiannya sendiri, atau pun pemandangan berdarah-darah sejauh mata memandang.

Yang dia takutkan adalah... kehilangan orang-orang yang disayangnya lagi, dan lagi.

Sasuru bergeming.

Pipinya terasa pedih karena sempat tergores oleh batang kayu runcing dari musuh, namun, kayu-kayu lain yang datang setelahnya—yang dia yakin tak sanggup dia hindari—entah bagaimana mengambang, seolah ada lapisan tembok tak kasat mata di hadapannya .

Beberapa orang yang berada di sekitarnya ikut terlindungi, berapa banyak pun kayu yang hampir menghujam, semua tertahan di udara.

Setelah hujan kayu dari musuh berhenti, kayu-kayu yang mengambang itu terhempas ke tanah.

"Ini ternyata sulit..." ucap Fumime ditengah napasnya yang satu-satu.

Sasuru menoleh, mendapati gadis itu menutup sebelah matanya yang berair, dan sebelah lainnya memperlihatkan sharingan dengan pola yang aneh. Katana Fumime sudah terjatuh di tanah, darah menetes dari lengan atas kiri, berusaha dia tutupi dengan telapak tangan kanannya.

"Fumime!" Langkah Sasuru cepat menangkap tubuh gadis itu sebelum limbung.

"Syukurlah.... aku.. berhasil..." Fumime gemetar dalam pelukan Sasuru. Dari pada bertanya apa yang baru saja terjadi, keturunan Nara itu membiarkan Fumime bersandar pada tubuhnya, mengambil perban, menutup luka di lengan Fumime, mengembalikan katana gadis itu pada tempatnya.

Setelah dirasa beres, dia bertanya "Kau baik-baik saja? Bisa berdiri? Atau mau mundur?"

"Aku baik-baik saja." Dengan bantuan Sasuru gadis itu kembali berdiri.

"Apa itu tadi? Sharingan? Aku tidak tau kau bisa melakukan itu"

Fumime tidak menjawab, gemetarnya belum mereda, justru semakin memburuk saat melihat sosok yang di peluk Naruto.

"Ne..ji-san..." Fumime menangkup mulut, menelan semua keluhan dan tangisannya. Napasnya sesak. Ada panik yang menjalar kesekujur tubuhnya.

Ini mengerikan, mengerikan.

Kemana pun Fumime berusaha membuang pandangannya, ada rekan yang tubuhnya mulai mendingin.

Takut, Dia takut.

Dia ingin berhenti dan segera pulang.

Tapi, disisi lain, pemandangan itu.. tidak asing.

Karena kita keluarga shinobi, kuatkan lah hati mu.

Gadis itu menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya pelan.

Kalimat sederhana dari ibunya itu mengembalikan semua akal sehat yang dimilikinya. Detak jantungnya yang cepat berangsur normal.

Ketakutannya tidak hilang, dia sudah akrab betul dengan kesepian yang kerap mampir karena kehilangan orang-orang disayangnya.

Hanya saja, Fumime kembali teringat bahwa orang-orang yang meninggalkannya tidak benar-benar menghilang. Mereka masih hidup dalam kenangan Fumime. Seperti saat ini, sosok ibunya mungkin tidak ada, hanya saja kalimatnya, kehangatannya, pelukan terakhirnya, berhasil menghentikan gemetar ditubuh Fumime.

Uchiha Untold StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang