Chapter 13

5.2K 519 2.7K
                                    

*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*****

“Hai anak Mama,” sapa Fanya ketika pulang kerja langsung menemui Gaby yang sedang menonton di kamarnya.

“Mama,” gumam Gaby langsung mempersilahkan Fanya duduk di sampingnya.

“Gimana hari ini, Nak? Semua baik-baik aja?” tanya Fanya sembari membelai lembut rambut sang putri.

Gaby tersenyum mengangguk. “Lebih baik dari hari kemarin,” jawab Gaby.

Mendengar itu Fanya tersenyum bahagia.

“Syukurlah, Mama senang dengarnya,” ujar Fanya memeluk Gaby.

“Maaf ya, Nak, Mama nggak pernah ada waktu buat kamu. Mama selalu sibuk sama pekerjaan Mama, sampai Mama mengabaikan peran seorang ibu,” gumam Fanya, dengan menahan sesak di dadanya.

Gaby mendongak menatap wajah Fanya. Dilepaskannya pelukan Fanya, lalu ia menangkup wajah sang ibu dengan kedua tangannya sambil menghapus air mata yang telah menetes di pipi Fanya.

“Nggak, Ma. Mama kenapa ngomong kayak gitu? Mama itu adalah Mama yang hebat dan terbaik bagi Gaby. Mama harus tau, Gaby bersyukur banget punya Mama kayak Mama Fanya,” ujar Gaby menatap manik mata Fanya, lalu memeluknya.

“Mama juga harus tau, Gaby benar-benar bangga punya Mama yang baik, cantik, dan selalu pengertian sama anak-anaknya,” lanjut Gaby tersenyum manis sambil memeluk erat Fanya.

Seketika air mata Fanya semakin deras membasahi pipi kala mendengar ucapan Gaby.

“Ih Mama kok makin nangis?” celetuk Gaby menatap wajah sang ibu. “Baru kali ini Gaby liat Psikiater nangis kayak gini,” lanjutnya menggoda Fanya agar tertawa.

Berhasil membuat Fanya tertawa. “Maaf ya, Nak, Mama mu agak cengeng,” sahut Fanya langsung menghapus air matanya.

Di sela-sela obrolan Fanya dan Gaby, ponsel Fanya berdering.

Dertt…

Fanya langsung mengangkat telepon setelah melihat siapa yang menelponnya.

“Bentar, ya, klien Mama telepon,” ujar Fanya langsung keluar dari kamar Gaby untuk menerima telepon.

Tak banyak bertanya Gaby mengangguk, mempersilahkan Fanya mengangkat teleponnya. Lalu ia kembali melanjutkan film yang ia tonton tadi.

Baru lima menit setelah Fanya keluar dari kamarnya, ponsel Gaby berdering, mendapat panggilan dari nomor yang tak dikenal.

“Siapa? Jangan-jangan Athlas,” gumam Gaby menebak Athlas lah yang menelponnya dengan nomor baru, karena laki-laki itu sering berganti nomor hanya agar Gaby mengangkat teleponnya.

“Males! Biarin lah.” Gaby tak menghiraukan panggilan itu, ia lanjut menonton filmnya.

Geram, karena berkali-kali teleponnya berbunyi, Gaby pun akhirnya mengangkat telepon tersebut.

GABY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang