Why You So Cold?

3.7K 299 1
                                    

"Hah? Pingsan? Di tengah-tengah Exodus? Elo?" 

"Bisa nggak usah skeptis gitu nggak sih?" hardikku pada El yang malah cekikikan santai di seberang sana. "And for the record, gue nggak pingsan beneran. Cuma lemes doang."

"Kenapa lo lagian bisa sampai amsyong begitu? Perasaan gue udah liat kemampuan lo minum dan pesta sampai berani joget-joget di atas meja bar juga selalu baik-baik aja. Inget nggak lo Lun?" kekehan El membuatku memutar kedua bola mataku. Kayak aku perlu aja dinggatkan soal 'talentaku' yang satu itu. "Terus gimana habis itu?"

"Ya untung, karena nggak ada satupun yang nanya-nanyain soal alasan gue resign, atau ngajak gue ngomong lagi," lanjutku membanting badan ke atas kasur. "Jadi gue aman lah at least sampai Senin besok."

"Aman?" aku bisa membayangkan kedua alis tebal El mengerut dan matanya menyipit. "Tumben. Lo kan suka jadi pusat perhatian. Ditanyain, dipuji, diajak ngomong. Ya nggak Lun?"

"Aduh El, males kali musti jelasin satu-satu ke mereka? Emangnya gue artis?" rengekku. Coba aja El tahu batas antara males dan nggak tahu mau ngomong apa itu tipis. 

El berpikir sejenak lalu menyatakan persetujuannya atas teoriku,"Iya juga ya Lun. Masa lo mau bilang lo cabut karena Thareq mau kawin? Kan kocak."

"Rese lo," makiku keras-keras. "Gue nggak cabut karena dia mau kawin kali. Kan udah gue bilang, gue bosen ngurusin kontrak energi. Bosen juga kali ngadepin klien BUMN terus, gue pengen sama bule. Sayang nih udah jago bahasa Inggris gini tapi jarang kepake."

"Iya-iya Lun, paham gue," tentu El nggak paham alasanku cabut yang sebenarnya. Kami memang berteman baik, tapi aku belum mau ambil risiko, "Ya udah, terus lo gimana baliknya kemaren? Dipesenin taksi online nggak? Apa jangan-jangan lo ilang lagi kayak waktu malam tunangannya Thareq."

"Nggak," topik malam pertunangan Thareq yang tiba-tiba disinggung El membuat perut bagian bawahku terasa nyeri, "Dianterin."

"Sama?"

Mataku menutup rapat sembari aku membenarkan posisi berbaringku "Mas Baskara. Dia kan penanggung jawab manusia-manusia mabuk dan sakit seperti gue ini. Kalau gue kenapa-kenapa bisa habis dia sama Babeh."

"Oh sama dia. Iya bener Mas Baskara emang sering nganter-nganter kan. Gue aja yang rumahnya di Bekasi pernah dianterin," terang El panjang lebar. "Kalo lo dianter Bang Thareq baru gue heboh."

"Haha," tawaku sarkastik. "Enggak bakal lah. Lagian rugi sih dianterin Thareq tapi gue-nya cuma bisa meringkuk sambil nahan sakit kayak pas dianterin Mas Baskara kemarin." 

Terang saja, mana ada muka lagi aku di depan seniorku itu? Rasanya stok maluku buat satu tahun sudah habis begitu saja. 

"Emang lo maunya ngapain hayo?"

"Yah El, perlu amat dijelasin? Pakai dong imajinasi lo." 

"Nah kalau gitu lo sama Mas Baskara nggak ngapa-ngapain kemarin di mobil sampai diberhentiin polisi kan?"

"Hah, maksud lo?" sergahku tidak terima. "Lo gila kali ya El?"

"Ya enggak, ngakak aja. Sejak kapan ada vampir tidur sambil disetirin pendeta? Siapa tahu polisinya nyetop biar tukeran peran gitu. Harusnya kan elo yang bikin semaput manusia. Vampir macam apa lo? Hahaha."

Mungkin aku bakal menemukan ini lucu seperti halnya El kalau saja bukan aku yang kemarin berbaring di kursi depan mobil Pajero warna hitam milik litigator handal NLO itu, lemas, sementara dia terus menyenandungkan lagu-lagu 80an yang teramat asing di telingaku. Untung sekali aku masih bisa jalan dan berdiri. Kalau nggak, masa Mas Baskara musti gendong aku dari mobilnya sampai ke kamar sih?

ResignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang