Another Chance

1.6K 178 1
                                    

"Woi, ngapain sih lo pura-pura kerja udah jam setengah dua belas gini?" aku nangkring di meja El, mengganggunya mengetik. "Cabut yuk, gue laper maksimal nih."

"Ntar dulu sih, gue masih ngerjain dokumen," El menabok tanganku yang iseng memencet-mencet keyboard laptopnya. "Ish, rusuh banget sih lo. Iya deh tahu yang habis ngedate, jadi berbunga-bunga."

"Eh iya, tadinya gue mau ngajak lo El. Tapi kan gue inget si Niko bilangnya cuma mau pergi sama gue. Jadi ya males lah gue pikir-pikir kalau ada lo," candaku, berpura-pura mengamati kuku. "Ganggu gue sama Niko ngobrol."

"Tuh kan, apa gue bilang. Kalian cocok," El memundurkan kursinya, lalu menutup layar laptop. Dagu ditopang di atas telapak tangan. "Ceritain dong yang semalem. Kalau dari foto kelihatannya berhasil tuh kencan lo."

"Nggak kencan kali. Hangout sebagai teman," aku memukul-mukul meja El. "Which is why, elo musti tahu ya. Gue tahu lo sengaja jebak gue waktu di Pacific Place. Kebaca banget lagi taktik kacangan lo!"

"Sumpah demi Tuhan, enggak Lun," El mengacungkan dua jari. "Itu gue ngajak lo karena Niko nanyain. Tapi soal gue diajak cabut Mbak Wening ya di luar kuasa gue. Suer."

Aku manggut-manggut. Ya sudah kalau memang begitu adanya. "Oke. Well, anyway, Niko orangnya asyik banget. Gue beneran heran kenapa nggak dari dulu gue sama dia temenan. Ternyata doi sama gue sama-sama anak ya team, terus anak tunggal juga. Hobi kulinerannya pun sama."

"Udah, gitu doang?" pancing El. "Lo nggak ada interest lebih gitu ke Niko?"

"Najis, pancing terus, dasar mak comblang wannabe," aku mendorong pelan bahu El. "Ketertarikan mah ada. Ada banget. Dia good looking, fun, satu frekuensi. Gue juga cuma seorang cewek normal kali, El."

"Ya terus kapan dong second date-nya? Kalau dia nggak inisiatif ya lo aja ajak Lun," El tersenyum sumringah.

Aku benci mematakan kebahagiaan sahabatku, tapi ini realita yang baik dia, dan aku, harus terima.

"Dia udah ajak. Gue tolak. Baik-baik. He's nice and all, cuma saat ini gue nggak di dalam kapasitas untuk menjalin hubungan lebih dari teman. Apalagi cowok baik-baik kayak Niko, kasian kalau gue gantung tanpa kepastian," aku harap El bisa ngerti makna dalam dari perkataanku tanpa aku harus mendiktekannya. "Lagi nih El, tempat kerja baru aja gue belum dapet. Gawat kan? Padahal Rabu last day gue. Ada yang lebih genting."

El mengangguk penuh pengertian. "Iya Lun, lo lebih baik urusin soal tempat kerja aja dulu. Kalau gue bisa bantu, pasti gue bantu."

"Iya Say, biar gue aja lah yang handle. Tapi lo beneran nggak kecewa kan soal Niko?" aku memastikan.

El menghela napas, "Sayang banget sih Lun, kalau boleh jujur. Soalnya gue tahu Niko kayak apa, dan dia betulan baik," ujar El santai. "Tapi ya gue hargai keputusan lo Lun. Pasti itu yang terbaik buat lo."

"Iya lah," aku menyetujuinya." Ya udah nanti aja lah sedih-sedihannya, yuk makan." 

Di detik bokongku terangkat dari meja El, datang Mbak Tiara tegepoh-gepoh. "Eits, Lunar, El, jangan pergi dulu!"

"Kenapa Mbak?"

"Lunar dipanggil Pak Hadi ke ruangannya."

Aku dan El sontak tatap-tatapan. Dalam hati aku mengerang malas. Harus banget di jam istirahat begini ya? Aku laper tahu!

"Duluan aja deh El, gue nggak tahu nih kenapa dipanggil Babeh. Takutnya lama," menurutiku, El langsung mencari orang lain untuk diajak turun.

Shit. Padahal udah ngidam makan soto ayam dan lontong yang kalau siangan dikit antreannya sudah melebihi antrean bansos.

ResignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang