Unavoidable Eclipse

1.2K 121 28
                                    

Mahadewi Novita Pramadono. Aku cuma pernah melihat kakak perempuan Mas Baskara yang lahir tiga tahun lebih dulu darinya itu di foto. Dari cerita Mas Baskara, Mbak Dewi punya kepribadian yang tegas dan dominan. Kurang lebih sama lah seperti sang adik. Bedanya, Mbak Dewi amat menginginkan hadirnya anak di pernikahannya yang sudah jalan enam tahun. Mas Baskara sendiri yang menceritakan itu padaku di suatu hari waktu aku masih jadi juniornya di kantor. Tentu dengan perkembangan teknologi yang pesat, bukan tidak mungkin buat perempuan usia tiga puluh delapan tahun untuk hamil pertama kali. 

Selain aku, El, dan juga anak-anak yang baru join di NLO setelah kami, semuanya di kantor sudah pernah bertemu Mbak Dewi waktu pesta pernikahan Mas Baskara.  Kalau begitu yang El salah tangkap dari interaksi Mas Aji dan Mas Baskara adalah ucapan selamat itu  diperuntukkan untuk Mbak Dewi. 

Mengapa Mas Baskara bisa mengeluarkan ekspresi gembira yaitu karena menjadi om bagi keponakannya adalah sesuatu yang dia inginkan. Jika melihat bagaimana Alena dan anak-anak keluarga besar NLO yang begitu antusias setiap kali bertemu Mas Baskara, sekalipun perawakannya tinggi besar dan terkesan mengintimidasi, bukannya tidak mungkin keinginannya itu terwujud. Anaknya Mbak Dewi nanti pasti akan sangat sayang dan kagum pada omnya.

Mungkin kalau waktu itu Mas Baskara punya inisiatif untuk menceritakan soal Mbak Dewi padaku, dan kalau saja aku bisa sabar sedikit mendengar penjelasannya, aku nggak bakal punya prasangka buruk dan begitu saja memercayai El. 

Namun aku cuma manusia biasa, yang punya trauma mendalam ditinggal laki-laki yang mengaku mencintaiku sampai menikah dan punya anak. Trauma kadang lebih mematikan dari racun yang mengalir pada urat nadi.

"Apapa?" 

Masih memegangi pipinya yang memerah, Mas Baskara memicing tajam. "Kamu mau bukti apa lagi? Pengumuman di grup Whatsapp keluarga besar? Hasil USG? Posting Instagram? Ada. Kalau perlu aku telpon dia sekarang biar dia ngomong sama kamu."

Tangaku yang masih tergantung di udara mendadak keram. Aku ambruk lagi ke sofa. Sekujur tubuhku lemas. Pasalnya nggak mungkin Mas Baskara berani bohong ketika dia tahu aku bisa mencari kebenaran atas pernyataannya. 

"Kenapa diam sekarang Lun? Kenapa kemarin itu kamu nggak tanya? Aku paham kamu kaget Lun, tapi jangan main kasar begini dong, kamu kan bisa tanya konfirmasi ke aku dulu!" Mas Baskara tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menghardikku. "Kamu itu nggak percaya sama aku apa gimana sih?"

Percaya. Entah Mas Baskara lagi mengelabuhi dirinya sendiri atau bagaimana. Dia menuntut kepercayaan dariku, sedangkan malam-malam yang dihabiskannya di sini bersamaku, bisa terwujud karena suatu kebohongan. 

Luar biasa. 

"Kamu kemana waktu aku telpon? Aku telpon kamu! Kamu bilang akan telpon balik. Sampai sekarang, nggak ada kabar. TIba-tiba kamu ada di sini. Gitu aja terus!" aku melipat kedua tanganku, tertawa sinis. "Dan kamu bisa ngomong soal kepercayaan atau whatever bullshit that means to you, sedangkan sikap kamu aja nggak menunjukkan kalau kamu bisa dipercaya!"

Mas Baskara mendelik, "Astaga Lun, aku kan udah bilang aku sibuk kerja! Maklum lah kalau aku lupa telpon balik. Kenapa untuk urusan sepenting ini kamu nggak Whatsapp aku? Pasti aku bales kok!"

Dua tahun lalu, aku pernah menyaksikan Mas Baskara hampir meninju seseorang yang kurang ajar pada salah satu orang kantor kalau tidak keburu dilerai Mas Adil dan Mas Aji. Aku ingat betul, bagaimana tampak Mas Baskara jika sedang marah. Tinjunya terkepal, rahangnya mengeras. Sorot matanya seolah bisa menghunus menembus jantung orang yang ditatapnya sampai bolong.

Sekarang ini, sikapnya itu juga sama. Persis. Dia tidak pernah semarah ini padaku sebelumnya, "Padahal ya Lun, aku selalu bersyukur, meskipun hubungan kita nggak bisa dibilang ideal, kamu nggak pernah membuat situasi semakin susah dengan dengan nanya-nanya pertanyaan yang aku nggak bisa jawab. Kamu punya pemahaman yang tinggi atas posisi kita, dan bahwa aku nyatanya punya hidup yang terpisah dari kamu sekalipun itu mungkin bikin kamu nggak nyaman. Apa yang berubah, Lun?" 

ResignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang