Nightmare Within Nightmare

1.5K 133 7
                                    

Satu bulan setelah masa probation-ku selesai, dan aku diambang menyerahkan surat pengunduran diri.

Ini gila, benar-benar gila. 

Entah doa Pak Hadi, Pak Santo, atau siapa lah yang menaruh dendam padaku di kantor lama maupun di tempat lain sehingga aku benar-benar merasa seperti di neraka. 

Kalau bisa bersungut-sungut di media sosial, aku terutama akan mewanti-wanti juniorku supaya jangan berani-berani menaruh CV-nya di kantor ini kalau tidak mau menukar jiwa mereka yang berharga.

Oke, karena kalian sudah tahu perjalananku dari awal di NLO, aku bakal beberkan semengerikan apa kantor ini.

Pertama, AHP punya dua belas partners yang kesemuanya beda-beda watak, sifat, dan preferensi namun memiliki satu kesamaan yaitu super teliti, demanding, dan tegas. Oke lah wajar. Nggak mungkin kantorku bisa sebesar ini kalau Bu Intan Halim, Pak Othman Alatas, serta kesepuluh well-known lawyers lain tidak mementingkan kualitas.

Itu aku masih bisa maklum. Bekerja dari jam sembilan sampai jam sepuluh paling cepat, atau jam dua dini hari tiga kali seminggu masih bisa aku tolerir. 

Yang nggak bisa? Soal pekerjaan, yang pertama adalah ditegur secara tidak menyenangkan. Emang nggak bisa ya? Negur itu bahasanya sopan. Kenapa musti ketus-ketus gitu lho? Aneh banget! Di sini bukan cuma partner selain Bang Iver yang kadang-kadang bisa judes, senior associate lain juga. Bulan lalu aku yang baru sampai rumah pukul tiga ditelpon karena ada salah penulisan satu huruf dan dimaki-maki selama sepuluh menit. Untungnya, Mas Baskara nggak ada. Jadi dia nggak perlu menyaksikan aku dipermalukan.

Mau nangis, percuma. Aku cuma bisa berakting kuat dan mengucapkan terima kasih yang kelihatannya setulus mungkin baru kemudian mengatakan sumpah serapah segala macam umpatan dan macam-macam hewan keluar dari mulutku. 

Aku mencoba bertahan. Merendahkan ego, lalu merubah pola pikir bahwa terlepas dari pengalamanku yang sudah cukup lama berserta kemampuan sosialku yang sebetulnya di atas rata-rata, AHP adalah hutan belantara yang aku harus hormati adat istiadatnya sebagai penghuni baru.

Namun sulit. Sungguh amat sangat sulit, dan aku menyesal mengabaikan saran Ryan, meremehkan cerita-cerita horornya. 

"A public princess like you won't fit in there, Lun, believe me," yakinnya di sela-sela proses drilling untuk keperluan interview-ku waktu itu. 

"Kenapa? Karena gue nggak cukup pintar menurut lo?" aku mengibas rambutku yang tidak dikuncir, menantangnya. 

"Ini bukan masalah pintar apa nggak. Ini masalah kebiasaan. Mereka biasa berdarah-darah, Senin sampai Senin lagi, tusuk-tusukan satu sama lain, sementara lo biasa melakukan apa-apa dengan senyum dan pendekatan. Nggak bisa pakai cara kayak gitu Lun," Ryan duduk di kursi, menyisip kopinya. Apa lo bisa? Cari muka pakai cara merendahkan kinerja rekan kerja lo? Bisa?"

Aku menggeleng, "Nggak. Tapi apakah semua top tier law firm kayak gitu? Nggak mungkin. Pasti ada yang lumayan sehat. Kebetulan aja kali Kak, kantor lo dulu kayak zona perang."

Ryan memandangiku skeptis, "Tapi gue juga punya temen kali Lun. Kita kan satu almamater. Masa lo nggak percaya kalau gue pasti udah mikirin banget apa yang mau gue sampaikan ke elo soal masalah ginian? Besides, Lun, I don't just betray friends. Gue ngomong gini nggak biar elo batal pindah ke kantor yang lo pikir lebih bagus dari NLO kok. Keputusannya ya tetep ada di tangan lo."

Ya. Keputusanku yang menghantarkanku ke kantor dimana saat aku melakukan kesalahan bicara sedikit saja pada klien, aku langsung jadi bahan omongan associate-associate pendahuluku yang menatap rendah dan membisikan kalimat-kalimat seperti, "Newbie banget sih? Padahal katanya expri udah tiga tahunan di law firm. Eh tapi pantes aja, orang law firm-nya boutique."

ResignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang