Twenty Five

1.5K 167 28
                                    

Pernahkah kalian bangun tidur dan merasa kecewa karena harus kembali ke dunia nyata setelah berhasil kabur sejenak dari hidup yang serba kejam? Ini yang aku rasakan sekarang, di pagi pergantian tahun sekaligus hari perayaan kelahiranku yang ke dua puluh lima tahun. 

Happy birthday, Lunar. Although now it's just the birthday part without happy. How can I be happy when my life is falling apart?

Setelah yang semalam, mendengar sahabatku sendiri membuangku dan melihat reaksi acuh dari laki-laki yang aku cinta dan telah membuat hidupku kacau balau aku seperti tidak punya lagi spirit untuk merasa gembira.

Lagi-lagi aku tidak bisa tidak membandingkan ulang tahunku sekarang dengan ulang tahunku tahun lalu. Lunar yang baru berusia dua puluh empat bangun dengan kepala berdenyut akibat hangover yang parah, perut yang keroncongan, dan api yang membara di jiwa. 

Tahun lalu perayaan ulang tahunku berbarengan dengan acara nginep kantor di Puncak. Jadi bisa bayangkan betapa meriahnya kan? Langit dipenuhi kembang api aneka warna, sorak sorai manusia menghitung pergantian tahun, dan ucapan selamat dari orang-orang kantor. 

Belum lagi kue raksasa berwarna merah maroon yang dihasi empat buah lilin. Angka 24 dan 27. Dan bagian bawah kue bertuliskan dua nama yang membuat kehaluanku semakin menjadi-jadi. 

Happy birthday Thareq dan Lunar. 

Ya, aku dan Thareq sama-sama berulang tahun tanggal 1 Januari. Jadi sudah tiga kali berturut-turut Thareq dan aku merayakan ulang tahun bersama dengan seisi kantor. Termasuk dengan dia

Bahkan mengingat pelukannya saat mengucapkan selamat ulang tahun untukku, dan celetukan-celetukan tidak pentingnya meledek aku dan Thareq yang lahir di hari yang sama saja membuatku rasanya sesak. 

"Berapa ratus juta penduduk di muka bumi, dan lo harus sharing birthday sama Thareq. Suatu kebetulan yang terlalu kebetulan," bisiknya di telingaku.

"Ye, menurut lo Mas terus gue minta gitu dilahirin 1 Januari? Nggak kali. Namanya juga takdir," aku menyikut tulang rusuknya.

Takdir pula yang membawaku ke umur perak, tanpa pekerjaan, sahabat yang berkurang satu, serta status sebagai perebut suami orang.

Luar biasa. Ayahku dimanapun berada mungkin akan menepuk dahi bila tahu pencapaian anaknya di umur dua lima. Kalaupun dia kecewa, mungkin dia bisa memulai dari menjelaskan kenapa dirinya semudah itu melepas tanggung jawab sebagai ayah.

Talk about unreliable men, laki-laki yang menyebabkan semua tadi terjadi padaku pun nyatanya juga tidak ada disini sekarang. Tidak untuk merayakan ulang tahun bersamaku, atau merayakan pergantian tahun.

Mungkin sekarang dia sedang ada di rumahnya bersama M. Sedang sarapan makanan yang entah mereka beli atau masak sendiri, bersikap seolah-olah aku tidak baru saja berkali-kali mengatakan bahwa aku mencintainya. 

Kalau menduganya memanfaatku demi jabatan saja sudah membuat dadaku penuh oleh amarah, maka bayangkan saja sakitnya aku saat aku memberitahu yang sesungguhnya soal perasaanku, dan dia cuma bisa diam. Diam tanpa ada reaksi apapun selain terkejut. Bahkan mengira bahwa aku—astaga, mengatakannya saja aku tidak sanggup. Yang jelas aku merasa murah. Di era modern seperti ini, oleh dia yang aku pikir tidak akan menilaiku dengan salah.

Aku tidak berharap sebuah janji untuk bersamaku keluar mulutnya. Tidak ketika aku paham dia sudah mengikat janji suci dengan perempuan lain di hadapan Tuhan. Tapi paling tidak, tak bisakah dia berkata sesuatu selain yang membuat hatiku semakin sakit? 

Semalam dia bertanya, memangnya aku mau dia mengatakan apa. Apapun akan jadi alasan yang baik. Dia bisa mengatakan bahwa sekalipun dia memang menginginkanku, tapi dia sadar bahwa dia masih seorang suami sehingga kami tidak bisa melanjutkan hubungan yang lebih lagi  jadi dia mau aku tetap tinggal karena dia sayang aku sebagai teman. That's fine. Lebih baik dari pada omongan pahit nan kosongnya semalam.

ResignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang