Right Kind of Wrong

1.3K 126 15
                                    

"What did I say about getting enough sleep?"

Baru buka pintu mobil kursi penumpang belakang saja Bang Iver sudah menyerangku dengan teguran khasnya. Namun aku tidak merasa terganggu akan hal itu, aku malah tertawa seikhlas yang aku bisa setelah semalaman cuma bisa berbaring di kasur tanpa bisa tertidur sama sekal, lalu duduk di sebelahnya. "How do you know I did not get any?"

"Mata kamu," Bang Iver menunjuk mukaku. "Mau kamu coba tutupi pakai concealer berlapis-lapis di bawah mata, rona merah di bola mata nggak bisa bohong, Lun."

"Well, sorry, aku nggak bisa nggak nervous sekaligus excited sama business trip pertamaku. Apa itu salah?"

"Enggak dong. Sangat amat normal," Bang Iver menyengir. "Mungkin nggak akan jauh beda sama business trip yang biasa kamu jalanin di kantor lama. Just relax and focus, and you're good to go."

Ya, ya. Aku ngerti. Andai saja dia tahu alasanku sebetulnya itu karena alasan yang seratus persen personal. Bahkan aku nggak bisa merasakan antusiasme menjadi perwakilan kantor hukum top se- Jakarta untuk diutus mengurus urusan klien di luar daerah. 

Nggak saat pikiranku masih terfokus ke peristiwa semalam. Bagaimana seorang Baskara Pramadono dengan brengseknya menyebutku anak kecil dan meremehkan kemarahanku dengan memberikan alasan secuil tanpa mau mengakui salahnya. 

Padahal yang aku butuhkan cuma permintaan maaf, atau bahkan jaminan kalau nanti lagi ada peristiwa yang membuatnya harus menghilang sementara, cukup mengabariku sekali saja, itu sudah cukup. Aku nggak perlu dia konsisten memberikan update soal kegiatannya jika memang tidak memungkinkan. 

Tapi sudah hukum alam yang namanya Baskara Pramadono dan kata 'maaf' itu tidak bersahabat. Bahkan ketika pagi ini dia mengirimkan pesan kepadakutentu dengan mengabaikan puluhan pesan-pesan yang aku kirim sebelumnyakata itu tidak juga muncul.

My sunbeam: Udah berangkat Lun? Hati-hati ya. 

Well, aku juga bisa memprioritaskan hidupku tanpa memberikan ruang untuk kehadirannya seperti yang dia perbuat supaya membuat semuanya impas. Maka dari itu aku meninggalkan pesannya dalam keadaan terbaca tanpa balasan.

Aku kira ya dia mengerti bahwa aku artinya marah dan beneran tidak bisa dibujuk dengan cara apapun. 

Tapi tidak. Mas Baskara tidak segitu pekanya.

Malahan, mengetahui pesannya tidak aku balas dia lantas mengganggu aku dengan panggilan telpon membuat Bang Iver di sampingku ikutan memandangi layar ponselku. 

Seraya aku memencet tulisan 'reject' pada layar ponsel, Bang Iver tak kuasa menumpahkan rasa penasarannya. "Is everything okay?"

"Ya," kataku sambil mengabaikan panggilan telpon Mas Baskara untuk yang kedua kali.

Giliran dia tahu aku marah semarah-marahnya, baru peka dan tak menyerah menghubungiku.

Basi.

"Nggak lagi ditagih utang kan?" tanya Bang Iver lagi, kali ini beserta bumbu humor. 

Aku terkekeh, menggeleng. "Biasa lah," lalu memilih meletakkan ponselku di dasar tas. Di hari kerja seperti ini yang wajib aku angkat adalah telpon dari orang kantor. Berhubung bosku ada di sebelahku saat ini, berarti tidak apa-apa bila aku membiarkan ponselku mati. 

"Trouble in paradise?" alis cokelat Bang Iver terangkat satu.

"You could say that," aku mengangkat kedua bahuku, mencoba mengabaikan ironi dalam perkataannya. 

ResignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang