Sticky Situation

1.4K 158 10
                                    

"You did what? Anjrit, gokil lo Lun!"

"Sssh," aku mengulurkan tangan menutup mulut Ryan. "Berisik lo! Sampai yang lain denger bisa amsyong gue!"

Tidak ya. 

Jelas aku nggak lagi curhat soal insiden di mobil pada Ryan. Aku nggak segila itu. Kebalikannya, aku malah berusaha mengusir bayangan itu dari benakku. Meskipun hasilnya yah, tidak seberapa berhasil.

Akibat dari kurang konsentrasi itu kemudian merambat kemana-mana. Senin pagi tadi aku salah mem-forward email panggilan interview yang harusnya aku forward ke Irlanie, menjadi ke Ryan yang seharusnya menerima dokumen dari klien. 

Alhasil dia langsung tancap gas ke mejaku, sambil menodongkan ponselnya seolah-olah benda itu adalah pistol. "Ini apaan Lun?"

Bisa dipastikan aku langsung menariknya ke pantry. Dan menjelaskan seputar aku yang sedang dalam proses rekruitmen di kantor hukum tetangga alias AHP.

"Ya elo sih!" sungut Ryan. "Ini AHP, man, tahu kan seberapa bencinya Babeh sama Pak Santo sama partner-partner AHP? Terutama si Okto sama istrinya Rana."

"Ya tapi gue nggak apply buat bidang energi atau procurement Kak," aku membela diri. "Gue bakal most likely ditaruh buat tim employment dan general corporate. Yang mana sama sekali nggak ada hubungannya sama bidang pekerjaan kita di sini!"

"Tetep aja AHP gitu lho Lun, can you imagine? Babeh might skin you alive!" serunya hiperbolis.

"Ya nggak lah gila elo ya Kak. Paling cuma sebatas diomongin dan disumpahin aja."

"No, no, no," Ryan menggeleng heboh. "Elo tahu kan, sepanjang kantor ini berdiri, enggak ada satupun eks lawyer sini yang berani pindah ke AHP. Itu pasti ada alasannya Lun!"

"Iyaaa," aku mendesah frustasi. "Dan alasannya yakni karena nggak ada dari orang-orang itu yang berhasil diterima."

"Atau karena mereka tahu sekalinya mereka menginjakan kaki di kantor itu, pintu NLO akan selamanya tertutup," Ryan menatapku serius. "Lun, come on, ini bukan saatnya menyombongkan diri. Ini masa depan elo! Gimana kalau suatu saat elo menyadari bahwa persaingan di sana terlalu ketat? Atau elo keburu nggak tahan dan pengen resign detik itu juga. Mau kemana lagi nyari rumah yang kemungkinan besar masih mau menerima elo pulang?"

Omongan Ryan ada benarnya juga. Bagaimana ketika nanti aku nggak kerasan di sana? Mau kerja di mana yang bisa menerimaku secepat di NLO?

Tapi nanti dulu, kalau aku saja bisa mendapatkan jadwal interview lewat networking dengan salah satu alumni tanpa sengaja, maka aku yakin bisa melakukannya lagi amit-amit AHP ternyata bukan tempat kerja yang aku cari.

Memangnya tempat kerja seperti apa sih yang aku cari? Bukannya aku cuma butuh kabur dari sini?

"Tapi gue berhak mengepakkan sayap gue kan Kak? Kalau kesempatan buat gue saat ini adanya di AHP, masa gue mau melepasnya begitu aja?" kataku memelas. "Lagian gue yakin gue pasti bisa kok menjalaninya."

"Lembur sampai subuh tiap hari, weekend kerja, tekanan dan persiangan super intens, are you sure you can handle that?" mata cokelat terang Ryan yang biasanya menyorotkan kejenakaan kini berubah serius. 

"Iya," kataku tak kalah meyakinkan. "Gue yakin, Kak Ryan."

Associate yang hanya terpaut empat tahun dariku itupun menghela napas, "Ya whatever, elo masih muda, cantik, pintar, ambisius. I'm sure you can go through that," dia melambaikan tangan.

Aku menarik napas lega, bersandar ke lemari pantry. "Thanks, I really, really need that. Itu juga kalau gue lolos interview sih. Nadaku yang semula yakin, berubah lemas.

ResignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang