City of Heat - Medan Trip #2

1.6K 171 14
                                    

"God," dumelku sambil membetulkan kunciran rambut yang berantakan, mengubahnya menjadi cepolan yang semoga cukup layak untuk disebut rapih. 

Kemeja kerjaku yang semula berlengan panjang aku gulung hingga ke siku, kancing paling atas sudah tanggal. Entah berapa banyak butir peluh memenuhi dahi dan leherku di bawah panas terik matahari sebuah kota yang letaknya dua jam dari Medan. 

Tim NLO beserta klien sedang melakukan on site visit salah satu kawasan industri manufaktur alat berat yang letaknya tidak telalu jauh dengan pertambangan mineral. Dua tempat itu menjadi agenda kami hari ini, guna meninjau langsung kondisi lokasi.

Dari awal aku sudah diberi tahu kalau bakal turun ke lapangan, sehingga aku sudah mempersiapkan sepatu yang nyaman. Begitupun dengan Thareq dan Mas Baskara yang mengenakan sneakers.

Ngomong-ngomong soal yang terakhir itu, aku sukses mendiaminya seharian kemarin. Selain untuk urusan pekerjaan aku lebih menyibukan diri mengobrol bersama klien-klien, terutama Ed tentunya. Sehabis itu aku dan Ed sukses kabur—well, aku sih, untuk makan kari bihun dan rujak kolam. 

Ada satu perbedaan bergaul dengan pria bule atau pria lokal yang modern, dan pria yang cenderung konservatif seperti Niko, misalnya. Dengan yang pertama, pembawaanku lebih santai. Topik-topik pembicaraan bisa mengalir bebas. Aku tidak malu-malu mengeluarkan kata-kata kasar dalam bahasa Inggris. Dan yang pasti, it doesn't have to mean something.

Terus terang aku nggak tahu apakah Ed punya pacar atau enggak. And frankly, I don't even care. Kami sama-sama menikmati kehadiran satu sama lain. Aku bakal kembali ke Jakarta lusa dan mungkin kita tidak bakal bertemu satu sama lain lagi. What happened in Medan, stays in Medan.

Meski, aku tidak bisa begitu saja melupakan kata-katanya semalam ketika kami berdua nongkrong sambil minum bir. "At first, I thought you and Bas have something going on between you two. Especially during the Monday meeting."

"What?" tawaku menggelegar, botol bir yang aku pegang beradu dengan tembok lounge. "Why in the world would you assume that? I mean, I know that I'm a ten, but not all the guys are into me, back home. You know?"

"But he's not back home, he's in here with you," Ed tersenyum, mengedipkan sebelah matanya. "Also, I've seen the way he looked at you. He really cares about you, Lunar. And yet, I guess the feeling is not mutual. Is it?"

Aku maju, kepala diistirahatkan di punggung tangan. "How so?"

Ed membetulkan posisi duduknya, mulut terbuka menampilkan deretan gigi putih bersih yang runcing-runcing. Melihatnya aku seperti teringat Cheshire Cat, salah satu tokoh di film Alice In Wonderland. Same grin, same blue eyes. "Well, then why would you spent your night with a stranger like me then?"

"Well, maybe I like you better," tanganku meraih bahan kemejanya yang sudah digulung setengah lengan. "But who says I won't be knocking at his door later at night, hmm?"

Tawa Ed berderai di telingaku, berbalapan dengan lantunan musik keras. "You are a cruel one, Lunar."

Atas penilaiannya barusan, aku mengangkat tinggi-tinggi botol birku. 

Sepintar apapun Ed, dan sebagus apapun almamater sekolahnya di Oxford sana, menurutku dia tetap seorang pengamat yang buruk. Maksudku, dia bahkan tidak bisa menebak kalau aku pernah tergila-gila oleh seorang Thareq Damier. Semua orang di kantor saja tahu. Mereka cuma nggak dengar konfirmasinya dari mulutku, tidak berarti hal itu tidak benar, kan?

ResignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang