Turning Point

2.8K 191 14
                                    

Seratus delapan puluh hari berlalu sejak perpisahanku dengan laki-laki yang aku cinta. Selama itu juga hidupku berjalan dalam ritme yang cepat. Aku masih kerja di tempat yang sama, di AHP. Malahan mungkin semakin sibuk karena sudah mulai mandiri menangani proyek-proyek dari Bang Iver atau partners lainnya. Bang Iver memang menpati omongannya, hubungan kami masih baik-baik saja di dalam maupun di luar pekerjaan. 

Soal Pria, aku sudah menyudahinya sejak lama. Di luar ekspektasiku, he was so cool about it. Nggak ada berita-berita miring, sindiran, atau treatment negatif yang aku terima darinya. Kami bisa menjadi teman di kantor, tanpa ada hawa-hawa awkward dan itu sudah cukup buatku.

Untuk hobiku party, masih aku lakukan sebulan sekali bersama geng YWNF, Irlanie, atau geng AHP. Bedanya mungkin aku lebih hati-hati dan lebih mengontrol perkataan serta perbuatanku saat mabuk. Aku juga lebih menjaga jarak dan sikapku pada teman laki-lakiku yang sudah menikah. 

Sesi terapiku bersama Mbak Sacha masih jalan. Frekuensinya saja yang berkurang dari dua minggu sekali ke satu bulan sekali. Aku anggap itu kemenangan kecil yang harus aku syukuri.

Selain itu paling yang rutin aku lakukan adalah mengunjungi panti setiap minggu. Kadang aku sama Thareq, kadang sama El, kadang sama relawan lain, dan pernah juga sendiri. Sebenarnya kegiatan itu sudah mulai rutin lakukan sebelumnya, tapi masih bolong-bolong. Tak sekedar mengajar, aku juga mulai aktif memainkan peran dalam urusan rumah tangga panti. Belakang aku baru tahu kalau panti tersebut tidak dikelola oleh yayasan. Padahal jumlah anak asuh di sana semakin bertambah. Itu artinya ketimbang mengandalkan donatur dan relawan yang cuma dari mulut ke mulut, lebih baik berada dalam sebuah naungan badan hukum yang jelas dong?

Sayangnya, untuk sebuah panti mencari yayasan bisa dibilang sulit. Lazimnya yayasan berdiri dulu, baru panti dibuat belakangan. Artinya aku harus benar-benar mengandalkan kemampuanku membuat koneksi untuk bisa mewujudkan ini semua demi Bu Wela, Pak Yoni, dan pastinya anak-anak.

Kantorku AHP sebetulnya punya yayasan sendiri. Namun sudah ada panti asuhan lain yang berada dalam binaan yayasan tersebut sehingga tidak mungkin untukku mengajukan ke partners.

And let me tell you, it's not easy. Panti asuhan Kasih Ibu bukan panti asuhan binaan artis atau orang terpandang lainnya sehingga bisa menarik perhatian dari yayasan-yayasan besar. Bu Wela dan Pak Yoni juga datang dari latar belakang orang biasa. Tidak ada keuntungan komersil baik dari segi popularitas apalagi yang lainnya bagi sebuah yayasan untuk membina panti asuhan ini. Kecuali yayasan tersebut memang sudah sangat besar dan masih membutuhkan panti untuk dibina.

Aku pun bekerja di bidang hukum korporat. Sebelum sekarang, aku nggak pernah terjun sama sekali ke kegiatan sosial. Maka dari itu untuk urusan panti, aku harus mulai semuanya dari nol. Pernah suatu ketika Bu Wela yang aku panggil Ibu itu menarikku kepinggir untuk membicarakan keprihatinannya. "Sudah nggak apa-apa kalau nggak bisa, Mbak. Sekarang ini kami semua sudah cukup dan banyak-banyak bersyukur sama yang di atas."

"Tapi ini nggak sustainable Bu, buat keperluan panti," aku masih ngotot, mencoba memberi penjelasan yang lebih bisa diterima Ibu. "Setelah aku ngobrol sama Bapak soal pembukuan, panti ini aman mungkin sampai lima tahun ke depan. Habis itu nggak ada yang tahu. Realistisnya, Bu, kita kan nggak tahu kondisi ke depan. Aku sih maunya juga Ibu sama Bapak sehat-sehat terus dan donasi stabil. Tapi yang bisa jamin siapa?"

Ibu dan Bapak sudah tidak tergolong muda. Meskipun keduanya sehat, yang namanya umur adalah rahasia Tuhan. Bagaimana nasib anak-anak kalau sudah begitu?

"Gue cuma mau yang terbaik buat semuanya aja Bang," curhatku pada Thareq sepulang kami mengajar. "Kalau ada cara yang lebih aman buat semua, kenapa melulu ada di zona nyaman?"

ResignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang