Careful Whisper

1.5K 154 15
                                    

Aku tidak pernah tahu kalau aku 'sakit'. Lebih tepatnya, ada sesuatu di dalam diriku yang perlu diperbaiki. Meski ketika menginjak bangku sekolah dasar, aku sadar kalau kondisiku dan Mami yang cuma berdua saja tidak bisa dikategorikan 'lazim', entah kenapa Mami selalu membuat semuanya terasa normal.

Situasi agak berubah ketika aku mengenal Irlanie di bangku SMP dan mulai sering main ke rumahnya. Irlanie punya seorang ayah. Teman-teman SD-ku juga punya ayah. Namun aku tidak melihat hubungan antara ayah dan anak teman-teman SD-ku lebih dari mengambil rapot di sekolah. Sedangkan semakin bertambahnya frekuensi berkunjung Lunar kecil ke rumah sahabatnya, semakin sering pula aku mengamati apa yang tak aku miliki di rumah.

Ayah Irlanie bukan tipe ayah yang terlalu memanjakan putrinya. Aku ingat waktu Irlanie minta ponsel baru yang lagi hits di masa itu, dan sang ayah tidak mau membelikannya. Bahkan setelah ide bodoh dari kami untuk tak sengaja memecahkan layar ponsel lamanya, keinginan tersebut tak langsung dikabulkan oleh ayahnya. Malahan, Irlanie dihukum membersihkan seluruh rumah karena kecerobohannya. 

Pengamatanku atas perlakuan ayah Irlanie itu lah yang membuatku memberanikan diri bertanya pada Mami, kemana ayahku pergi. Seperti yang pernah aku ceritakan, tingkah nekatku itu tidak membuahkan hasil. Sayangnya lagi, selain dari Mami langsung aku tidak punya sumber terpercaya yang dapat aku tanya. 

Itu karena hubungan Mami dan ayahku di kantor tidak diketahui oleh siapapun selain mereka berdua. Alasannya, karena ayahku sudah punya istri di Taiwan. Ketika aku menanyakan, sebagai sesama perempuan yang pernah ada di posisi tersebut, jawaban Mami cukup mengagetkanku. "Mami saat itu bodoh. Mami pikir, hubungan yang cuma sekedar main-main tidak akan membuahkan hasil."

Mami tidak menargetkan akan jatuh cinta pada ayahku hingga mengandung bayi dari benihnya, apalagi membesarkannya seorang diri. Mereka berpisah saat ayahku harus kembali ke Taiwan, waktu itu kandungan Mami usianya baru tiga bulan. Dia terus bekerja di perusahaan itu sampai perutnya mulai membesar. Pada saat itulah dia harus jujur pada kedua orangtuanya, dan berakhir diusir dari rumah. 

Jika mau membandingkan hidupku dan hidup Mami, rasanya tak terbayang. Bagaimana dia harus berjauhan dari keluarganya, membesarkan anak seorang diri tanpa kehadiran suami di sisinya. Belum lagi untuk urusan mencari uang, tidak ada yang bisa membantunya. 

Sambil memasakan makan sore buatku, dengan mata yang juga masih sembab, perlahan-lahan Mami mulai terbuka. "Tapi Mami sadar kok Lun, itu sudah jadi konsekuensi. Mami sadar kalau kakek dan nenekmu pasti kecewa. Itu wajar," kemudian sambil menatapku dengan tatapan sendu, dia menghentikan sebentar kegiatannya, "Kita berdua di sini sama-sama nggak dalam posisi menghakimi, tapi andai kamu paham gimana sedihnya Mami, sekaligus bersyukur bahwa sejarah nggak terulang di kamu."

Aku menunduk, memainkan ujung kaus tidurku, "Kalau aku sampai hamil anak Baskara apa Mami bakal mengusirku seperti orangtua Mami dulu?" tanyaku, tak bisa menutupi penasaran. "Bakal lebih gampang kan buat Mami? Secara, Lunar juga udah mandiri dari lama."

"Yang namanya orangtua terpisah dari anak itu nggak mudah, Lun," memunggungiku, Mami berkata dengan tabahnya. "Sebenarnya udah lama Mami berdamai sama mereka. Cuma Mami males aja sering-sering kumpul lagi sama saudara-saudara yang lain. Udah kebiasaan berduaan aja sama kamu, Lun."

"Mami tetap nggak menjawab pertanyaan Lunar," aku menyambangi Mami di depan kompor, mengambil alih memasukkan beberapa bahan makanan ke dalam penggorengan sementara ibuku gantian duduk. 

Tak berapa lama, terdengar suara desahan halus yang hampir terbungkam suara penggorengan. "Anak Mami, harta Mami paling berharga, kebanggaan Mami, kan cuma kamu Lun."

"Tapi orangtua Mami rela ngebuang Mami yang juga anak tunggal. Meskipun karena kesalahan fatal, Lunar jadi nggak punya kakek dan nenek, " aku berbalik sebentar, menatap Mami supaya dia mengerti poinku, "Mami juga dibiarkan sendirian. Apalagi waktu kita kesusahan waktu itu Mi. Adilkah kayak gitu?"

ResignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang