The Calm Before The Storm

1.5K 165 13
                                    

Salah satu alasan kenapa aku sering menganggap Thareq adalah reinkarnasi dari orang suci adalah karena hobinya yang nggak banyak orang tahu, yaitu mengajar dan menyantuni anak-anak yatim piatu di panti asuhan.

Ya, memang banyak sekali manusia di dunia ini yang melakukan kebaikan itu. Banyak juga yang menyumbang lebih banyak uang dan tenaga untuk anak-anak yang kurang beruntung, aku tahu itu. Kuncinya cuma satu, konsisten. Di jaman sekarang, dimana anak muda seumurku paling melakukan bakti sosial setahun sekali, ada manusia seperti Thareq yang mendarmakan waktunya sekali seminggu untuk main ke sebuah panti asuhan yang letaknya dekat dari rumahnya.

Dari mana aku tahu semua itu? Cuma kebetulan. Kebetulan, dua tahun lalu Thareq tiba-tiba mengirimkanku pesan hari Sabtu sore, menanyakan apakah aku punya waktu untuk menemaninya mengajar bahasa Inggris.

"Nanti gue traktir makan McDonald's deh Nar, mau ya? Temen gue yang jago bahasa Inggris, available, dan bisa nempel sama anak-anak cuma elo."

Waktu Thareq bilang anak ya aku pikir lima-sepuluh orang lah. Eh nggak tahunya, empat puluh. Badanku sampai pegal-pegal karena nggak biasa bergerak sebanyak hari itu.

Padahal Thareq nggak tahu aja, aku ini pengalaman menangani anak kecil itu minim sekali. Mentok-mentok anaknya Mas Adil, Mbak Tiara, dan anaknya orang-orang kantor lain. Secara kan, aku anak tunggal, Irlanie yang sahabatan denganku dari SMP juga nggak punya adik, geng kuliahku belum punya anak kecuali si Priscil, aku pun jauh dari saudara-saudara Mami karena setelah melahirkan aku Mami memilih tidak lagi berhubungan dekat dengan mereka.

Tapi entah Thareq itu punya kelebihan membaca bakat orang atau bagaimana, aku bisa-bisa saja bermain bersama anak-anak itu. Malahan banyak dari mereka yang antusias sekali belajar bahasa Inggris denganku. Aku berhasil mengajarkan vocabulary yang berkaitan dengan rumah seperti kamar, kamar mandi, dapur, dan sebagainya.

"Makasih banget loh Nar," Thareq tersenyum di tengah-tengah kegiatannya membereskan alat-alat tulis yang tadi digunakan anak-anak untuk belajar. "Gue udah duga, pasti anak-anak bakal suka sama elo. Ternyata elo bakat jadi guru."

"Yah, pesona gue kan memang nggak mengenal umur, latar belakang, dan jenis kelamin Bang?" aku mengerling jahil, sambil menumpuk kertas-kertas menjadi satu.

Tawa merdu Thareq hari itu cukup mengobati rasa lelahku. Kalau rasa lapar, baru teratasi waktu dia membelikan paket nasi, ayam, telur dadar, berikut soda yang aku tandaskan dalam lima menit.

Dulu, aku bela-belain naik ojek online dari kost-ku di daerah Kemang ke panti asuhan Kasih Ibu di daerah Kebon Jeruk cuma demi mendengar pujian Thareq. Ya, aku sekarang sadar betapa tidak logis dan tidak tulusnya perbuatanku itu. Tapi buktinya aku rela sampai tiga kali mengajar ke panti itu, menggantikan relawan lain.

Cuma kan nggak mungkin aku bisa sampai tiga kali kalau tidak karena menikmati kegiatan itu juga. Entah kenapa bermain bersama anak-anak itu rasanya menenangkan. Mungkin karena aku bisa relate dengan mereka sebagai anak yang tidak punya bapak.

Sempat waktu itu aku pernah nyaris keceplosan cerita ke anak-anak kantor soal kegiatan mingguan Thareq. Alhasil dia langsung mendistraksiku dan mengalihkan ke topik pembicaraan lain. Saat aku tanya kenapa, dia bilang dia tidak suka kalau urusan pribadinya jadi bahan ledekan di kantor. 

"Ya tapi siapa tahu ada yang mau ikutan bantu-bantu ngajar juga? Kan bisa jadi bermanfaat buat anak-anak Bang."

"Nggak ada Nar, gue udah pernah nyoba," Thareq tersenyum kecut. "Paling pada nyumbang waktu panti kebanjiran. Terutama si Mas Baskara sama Mbak Wening. Ya tahu sendiri lah mereka dermawannya kayak apa." Jadi aku terpaksa menutupi ini dari orang-orang di NLO, bahkan ke El. Aku merasa tersanjung bahwa Thareq mempercayakan aku menjaga rahasianya. 

ResignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang