Ignorance is a Bliss

1.5K 134 34
                                    

Enam puluh hari telah berlalu setelah Mas Baskara mengunjungiku di kost dan mengungkapkan semuanya. Selama dua bulan itu pula hidupku mengalami transformasi seratus delapan puluh derajat dari segala aspek. 

Pertama, aku telah pindah ke sebuah apartemen tipe studio yang aku sewa perbulan di daerah Gatot Soebroto. Kedua, per tanggal 11 Januari aku resmi masuk sebagai associate di Alatas Halim & Partners di bawah Bang Iver selaku supervising partner dan supervising senior associate Kak Rian (bukan Ryan NLO, hanya mirip namanya, kelakuannya sih beda). Last but definitely not least, aku punya honorary roommate yang sering sekali menghabiskan waktu di sini bersamaku, kapanpun kami berdua bisa. 

Kenapa aku bisa bilang begitu? Karena dia rata-rata pulang pukul tujuh sampai delapan dari kantor, sedangkan aku biasa pulang pukul sebelas paling cepat. Untuk akhir pekan, kami selalu mengusahakan ketemu meski tidak selalu lama.  Aku paham. Dia punya kehidupannya, aku pun demikian.

Terus terang dinamika kehidupan kami yang seperti ini menjadi tantangan tersendiri, terlebih karena ini semua baru buat kami masing-masing. Aku pribadi masih suka tertegun melihatnya menonton TV kabel lalu ketiduran, menungguku pulang seperti yang dilakukannya malam ini.

"Mas," aku mengguncang-guncangkan pundaknya. "Bangun yuk, emang nggak pegel lehernya?"

Baskara Pramadono membuka matanya perlahan. Disorientasi menyerang, dia mengamati ruangan di sekitar kami, lalu tersenyum samar. "Oh, kamu udah pulang. Jam berapa sekarang?"

"Sepuluh," aku melepas blazerku, menyisakan kamisol abu-abu dan celana panjang yang aku kenakan untuk bekerja. Mas Baskara memungut blazerku, melipatnya rapih sebelum memasukannya ke keranjang baju kotor. Dibanding aku, dia memang lebih rapih dan tertata. "Udah mulai nggak peak season kali ya Mas, makanya jam pulangku udah mulai manusiawi."

Mas Baskara melirik jam di atas kulkas. "Jam segini itu masuk golongan jam pulang yang manusiawi versi kamu ya? Wow."

Aku cekikikan, meninju pundaknya. "Sombong deh kamu, mentang-mentang jam delapan maksimal udah bisa ngacir."

"Iya dong," Mas Baskara mengulet, merenggangkan otot-ototnya. "Kamu sih, milih kantor yang pulangnya malem. Padahal kan enak di NLO, Lun. Bisa ketemu aku, bisa pulang sama aku di jam-jam wajar."

Mendengar gurauannya, aku yang lagi menghapus riasan wajah jadi terdiam. Paham, Mas Baskara cuma bercanda. Dia sekarang sudah menerima kenapa waktu itu aku harus resign. Pun, aku yakin dia sebetulnya mendukung pekerjaanku di kantor yang lebih besar. Tetapi jujur, rasanya masih canggung untuk membahas soal itu. "Atau kamu aja yang pindah ke AHP Mas. Nanti aku tanya ya, siapa tahu masih perlu untuk senior associate atau partner litigasi."

"Ngeledek deh," sahutnya pura-pura merajuk. "Ngomong-ngomong Lun, Pak Hadi kan udah tahu kamu di AHP. Bukan dari aku ya tentunya."

"Oh ya?" aku berputar menghadapnya, tangan masih sibuk menekan-nekan mata menggunakan kapas berisih minyak zaitun untuk membersihkan sisa maskara. "Kamu tahunya gimana Mas?"

"Bapak yang ngomong ke aku. 'Bas lu tahu nggak si Lunar di kantor tetangga?' gitu katanya. Sebelumnya dia duluan yang heboh ngabarin kamu pindah kemana ke senior-senior lain. Aku sih diam aja."

"Terus-terus?"

"Iya. Aku bingung juga Bapak tahu dari dari mana. Soalnya kan kamu di sana belum kedapatan ngerjain energi atau bersinggungan sama klien yang sama kayak NLO," katanya keheranan. "Wah tadi itu Lun, kalau kamu lihat sendiri, heboh banget. Tapi hebohnya pas Babeh udah cabut sih. Hahaha."

Aku menggelung rambutku menjadi satu cepolan sebelum menoleh ke arahnya, "Heboh gimana? Ih kamu kok santai banget sih Mas, aku udah deg-degan tahu dengernya."

ResignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang