Obla-date

1.7K 187 5
                                    

"Gimana progres Memo-nya Lun?" sapa Mas Aji, tiba-tiba nongol di depan kubikelku.

Dari mana lagi datangnya si Mas satu ini?

"On progress nih, udah 60%. Eh Mas, brainstorming bentar dong. Ada waktu nggak?"

"Boleh yuk," katanya lalu mendekat, bersandar ke mejaku. Sepertinya aku belum pernah cerita soal Mas Aji ya. Padahal menurutku beliau ini termasuk top three pria ter- oke se- NLO. Kami juga cuma terpaut tujuh tahun. Belum lagi dia ini punya muka yang cute dan pembawaan khas boy-next-door

"Ini tadi gue udah telpon ke kementerian, tapi kayaknya kita nggak bisa proses izin usaha industrinya deh. Gimana ya Mas?"

"Kendalanya apa Lun?" tanyanya lembut.

Dengan sabar doi menyiman penjelasanku soal klien kami yang ternyata tidak boleh memperoleh izin pertambangan karena sudah memperoleh izin penyediaan jasa pertambangan yang masih aktif. "Kalo mau bisa pakai izin industri katanya Mas. Karena klien kita kegiatannya pemurnian emas buat bikin logam mulia batangan sih asumsi gue beneran bisa."

Lalu aku menambahkan lagi keteranganku soal mekanisme perizinan yang aku peroleh dari percakapan telpon selama nyaris tiga puluh menit dan riset peraturan pendukungnya. Kalau mau tahu, beginilah salah satu kerjaan lawyer, dimana klien dapat meminta kami untuk menyediakan sebuah memo atau legal opinion mengenai suatu permasalahan hukum. Di kantorku, Mas Aji merupakan salah satu ahli bidang general corporate yang biasa mengurus permasalahan-permasalahan korporat secara umum.

"Oh gitu, coba deh lo tolong tulis dulu di memo-nya, nanti gue review. Sekalian tolong kirimin gue peraturan-peraturan terkaitnya ya Lun," ujarnya menyudahi diskusi kami. 

"Siap Mas, jam enam maksimal gue kirim," aku mengacungkan satu jempol.

"Eh Lun, sebentar," Mas Aji yang baru saja melangkah, mundur lagi untuk berdiri di dekat kursiku. "Lo last day kapan?"

"Rabu depan Mas."

"Beneran jadi tapi Lun?" Mas Aji mengetuk-ngetuk dinding kubikelku. "Nggak berubah pikiran?"

"Iya nggak ya?" gurauku dengan intonasi pelan. "Aduh Mas, gue jadi nggak enak deh ditembak langsung begini."

"Pindah kemana sih emang? Tetangga sebelah?" cecar Mas Aji lagi.

"Belum ada Mas. Mau istirahat dulu kayaknya."

"Masih sakit hati ditinggal Thareq tunangan ya?" kedua alis Mas Aji naik-turun sembari melirik tetangga kubikelku. Sementara yang dijadikan bahan omongan malah asyik berkutat dengan pekerjaannya, sambil tertawa kecil. 

"Yeh ketawa lo Bang. Emang diajak bercanda?" aku menjulurkan lidahku pada Thareq seperti anak umur lima tahun.

"Tuh kan Req, sakit hati lho si Lunar," timpal Mas Aji mengompori. "Elo gimana sih Req?"

Thareq menoleh ke arah aku dan Mas Aji, tawanya mulai reda, tergantingan dengan senyuman iseng di bibirnya, "Lunar tuh sakit hatinya pas lo nikah lagi Mas. Nggak tahu kan lo?"

Lah? Mas Aji aja nikahnya udah dua tahun lalu. Kemana sih arah candaannya?

"Alah, jangan ngalihin pembicaraan gitu Req," Mas Aji menunjuk Thareq, ekspresi muka menantang, ujung kiri bibir tertarik ke belakang. "Yang jahat kan elo. Anak orang lo PHP-in bertahun-tahun."

Ekspresi Thareq yang terlihat tidak terganggu atas bercandaan Mas Aji memang membuatku sedikit lega. Namun, tidak berarti aku mau mengambil risiko melontarkan lelucon yang berpotensi membuat muka Thareq kurang mengenakan seperti kemarin-kemarin lagi.

ResignTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang