"Kenapa senyum-senyum gitu?"
Seda menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan sang istri. Sulit sekali menahan senyumannya ketika panggilan sayang semakin terngiang di kepala. Siapa yang tidak akan salah tingkah ketika panggilan yang tidak pernah digunakan menjadi terdengar di telinga.
"Ya ... pengen senyum aja."
"Ohhhh, jadi gitu kalo kerjaanmu adalah senyumin pelayan toko, ya? Seneng banget kayaknya berhasil buat bikin perempuan lain salah tingkah. Senyumnya ke perempuan lain pula, mana pernah senyum tanpa diminta kalo buat istri. Sengaja buat goda perempuan lain, emang, kan!?"
Ada yang salah dengan pemahaman Odessa sepertinya. Mana sempat Seda berpikir mengenai menggoda perempuan lain yang tidak dia sukai. Memiliki satu Odessa saja sudah memusingkan. Bagaimana memiliki lainnya?
"Yang mau godain siapa?"
"Kamu godain pelayan tadi!" sahut Odessa cepat.
Ucapan Odessa benar-benar kacau. Jauh dari apa yang Seda lakukan. Bahkan kalimat perempuan itu juga tidak tertata sama sekali, hanya mengikuti amarah.
"Dari mana pikiran kayak begitu? Aku senyum bukan karena pengen godain pelayan tadi, Des."
"Yaudah, jawab aja dengan gampang, Mas! Kamu tadi senyum-senyum gitu kenapa? Jangan bikin pikiran aku melayang kemana-mana, deh. Kamu pasti tahu, kan, kalo perempuan hamil itu pikirannya kacau dan suka mengada-ada? Kenapa kamu masih suka bikin aku salah paham!?"
Seda menarik napas dalam, hampir saja Seda lupa cara bernapas karena ucapan istrinya yang menyerocos dalam satu tarikan napas.
"Des, kamu lagi cemburu. Setahuku cemburu itu tanda cinta. Dan harus kamu tahu, aku senyum bukan buat si pelayan. Tapi karena denger kamu panggil aku sayang."
"Hah?" balas Odessa.
"Hah, heh, hah, heh! Dijawab bener dibales begitu, dijawab singkat malah marah."
Wajah Odessa memerah. Dia kembali teringat dengan panggilan sayang yang dia berikan kepada suaminya tadi. Sungguh mengejutkan diri Odessa sendiri, karena memang biasanya tidak ada panggilan sayang semacam itu sebelumnya.
Kok, bisa aku pake panggilan begitu segala, sih?
Seda yang melirik sesekali ke arah istrinya menandai pipi bersemu istrinya.
"Akhirnya balik lagi pipi merahnya," ucap Seda dengan wajah yang tak menunjukkan rasa berbunga.Odessa menekan pipinya agar tidak terlalu lama merona. Malu juga karena bukannya melanjutkan kemarahannya, malah menjadi salah tingkah. Seda memang mampu membalikkan keadaan.
"Kamu bilang begitu bukan karena mau bikin aku berhenti marahin kamu, kan, Mas?" tanya Odessa masih setengah curiga.
Seda menghela napasnya dan berkata, "Terserahlah, Des."
Dan mereka fokus kembali pada jalanan menuju rumah.
*
Cemburu itu tanda cinta.
Selama mereka terdiam di mobil dan akhirnya sampai di rumah dengan selamat, sebenarnya Odessa memikirkan hal yang suaminya katakan tadi.
Odessa yang sudah memberikan tugas untuk suaminya mengenal perasaan mereka satu sama lain. Namun, Seda seolah sudah mengetahui perasaan Odessa begitu jelas. Seakan perasaan Odessa tercetak jelas di dahinya.
Sekarang, Odessa sedang berusaha mengamati. Bagaimana sikap suaminya yang sedang heboh di dapur menggoreng telur itu.
Seperti Arnis, Seda juga memiliki sisi yang suka mendramatisasi sesuatu. Jujur saja, Odessa tidak tahu sebutan apalagi yang menggambarkan sikap suaminya yang satu itu. Begini saja, apa ada pria selain Seda yang menggoreng telur menggunakan tameng? Pria itu menggunakan kardus untuk menghalau cipratan minyak menuju tubuhnya. Padahal jelas, itu hanya telur, bukan ayam atau ikan yang ketika digoreng akan membuat minyak berpesta.
"Aw! Sial, sial, sial."
Umpatan Seda bahkan enteng sekali dilontarkan, padahal pria itu sedang diperhatikan oleh Odessa. Lebih parahnya, Odessa yang tengah hamil mendengarnya. Apa pria itu tak takut jika umpatannya berdampak pada bayi mereka kelak?
"Akh! Breng—"
"Ssstttt!" sela Odessa begitu suaminya akan mengumpat dalam versi tingkat lebih tinggi. "Matiin kompornya."
Seda dengan cepat menuruti ucapan istrinya. Itu yang diinginkan sedari awal, jika bukan karena Odessa yang mengeluhkan hanya ingin makan masakan yang Seda buat, pria itu tak akan berkutat dengan kompor dan minyak panas.
"Kamu udah nggak pengen makan, Des?"
Odessa menarik tangan Seda tanpa peduli telur yang suaminya buat. Sepertinya masih belum matang sempurna, Odessa benci telur setengah matang, bau amisnya akan terendus olehnya dan membuat mual jika nekat makan telur setengah matang.
"Des? Ngambek?" tanya Seda merasa bahwa istrinya marah.
Tanpa bicara, Odessa membawa tubuh suaminya untuk duduk si sofa. Seda mendongak karena Odessa tak mau untuk duduk di sampingnya.
"Mas, aku mau tanya."
"Apa?"
"Kamu udah nemu jawaban soal perasaan cinta kamu buat aku?"
Ini bukan jenis pertanyaan, melainkan tindakan menodong layaknya preman. Odessa menanyakan hal ini dengan ekspresi geram yang membuat bulu kuduk Seda meremang seketika. Siapa yang bisa menjawab dengan sikap menodong begini?
"Des, kamu kayak mau rampok aku."
Odessa tak langsung membalas, dia memikirkan ucapan Seda baik-baik berulang kali.
"Iya, aku emang mau rampok kamu, Mas."
Seda semakin tak mengerti. "Rampok apa? Aku nggak ada apa-apanya." Pria itu merentangkan kedua tangannya seakan pasrah dan juga menunjukkan bahwa memang tak ada apa pun yang dia miliki.
Sedangkan Odessa kini berdiri menjulang dan membuat diri perempuan itu superior.
"Aku mau rampok satu hal yang kamu punya. Hatimu."
Belum sempat Seda berpikir, bibirnya bahkan sudah dibungkam oleh sang istri dan segalanya begitu cepat. Sangat mengejutkan.
Apa yang terjadi pada Odessa?
KAMU SEDANG MEMBACA
CRUSH HOUR /TAMAT
General FictionMATCHMAKER SERIES KAROS PUBLISHER Seda Dactari adalah pria kaku yang hidup bersama perempuan yang dijodohkan orangtuanya bernama Odessa Fica. Nama mereka mungkin mirip, tapi tidak secara ketertarikan. Dalam rumah tangga yang tidak menarik itu, merek...