32. CRUSH HOUR

7.9K 1.3K 37
                                    

Mereka pulang dengan bibir yang lebih banyak terkatup, diam. Belum ada pembahasan yang bisa membuat keduanya mencapai mufakat. Sepertinya memang sulit sekali menerima banyak hal dalam satu waktu. Bagi Odessa, dia tak mau menjadi pihak yang berpangku tangan dan pasrah. Sedangkan bagi Seda, tidak ada keputusan yang benar dalam jangka waktu dekat. Semuanya terasa salah meski Seda ingin melakukan hal yang benar.

"Des, aku nggak mau pisah." Itu adalah kalimat yang Seda layangkan begitu mereka memasuki kamar.

Ya, karena akhirnya mereka pulang hari itu juga dari klinik, maka malam ini mereka sepertinya akan memulai perdebatan panjang.

"Ya, kalo kamu nggak mau pisah jangan diem aja, Mas. Kamu punya kemampuan dan waktu untuk bicara. Kita bisa bicarakan bagaimana cara untuk menghentikan kebodohan ini."

"Aku yang bodoh, Des. Aku nggak bisa membahagiakan kamu selama pernikahan kita. Aku pikir kamu baik-baik saja dengan sikapku yang begini. Tapi setelah aku baca sendiri curhatan kamu sebagai akun Tadaaa ... aku mulai menyadari sikapku udah keterlaluan selama ini."

Begitu banyak hal yang dikatakan Seda malam ini, tetapi sejauh ini tidak nyaman didengar di telinga Odessa. Meski suaminya mengalah dan mengakui ini kebodohan dan kesalahannya, itu tidak membuat Odessa senang ataupun menang. Justru Odessa merasa lebih payah.

"Mas, bukan hanya kamu. Aku juga bodoh karena nggak menganggap bicara sama kamu itu penting."

"Iya, tapi aku yang paling salah—"

"Kapan selesainya pembahasan ini kalo kita gini terus?" sela Odessa. "Bukannya kita udah bahas di klinik? Kalo diulang terus, kapan selesainya?"

Seda menggelengkan kepala, tak mengerti harus bagaimana. "Terus harus gimana, Des? Aku nggak mau pisah, tapi aku juga nggak tahu gimana caranya menjadi seperti yang kamu mau."

Semula, rancangan 'menjadi seperti yang Odessa mau' adalah surga. Namun, setelah melewati dan mendapatkan kesempatan untuk memintanya dari suaminya sendiri, Odessa malah merasa ini neraka. Ternyata memaksa seseorang untuk berubah seperti yang kita mau adalah siksaan.

"Awalnya aku memang mau kamu jadi seperti yang aku minta. Tapi sekarang nggak lagi," ucap Odessa letih.

"Kenapa, Des? Aku udah bikin kamu kecewa, kan? Aku nggak bisa membuat kamu senang dan bahagia, makanya kamu nggak berharap apa-apa lagi. Iya, kan?"

Kacau. Seda sudah terlalu meresapi bagian yang salah. Seharusnya ia tidak membiarkan suaminya menyendiri tadi. Inilah akibatnya, Seda menjadi tidak percaya diri sama sekali. Insecure dengan apa yang pria itu miliki selama ini.

"Sama sekali nggak. Aku udah nggak mau mengubah kamu, karena yang aku butuhkan adalah bicara apa mauku ke kamu. Bukan segalanya yang aku mau kamu turuti. Yang aku butuhkan adalah membicarakan segalanya, baik itu nanti bisa dikabulkan atau nggak."

"Aku harus—"

"Nggak semua hal bisa manusia lakukan, Mas. Aku terlambat menyadari bahwa nggak ada manusia yang sempurna. Aku terlalu menuntut kamu jadi seperti yang aku mau, tapi aku nggak pernah ngaca, aku nggak sesempurna itu untuk kamu. Aku terlalu cari perhatian dengan pake aplikasi Madam Rose, sedangkan kamu nggak pernah menuntut aku jadi sempurna. Maafin aku, Mas."

Seda termenung. Hingga kini, Odessa belum tahu sepenuhnya bahwa Seda menggunakan aplikasi Madam Rose itu. Meski tak sepenuhnya, tapi Seda yang sudah mendoakan dan memberi balasan pada Tadaaa.

"Des, ada yang perlu kamu tahu."

Odessa menatap suaminya dengan lekat. Tidak ada kalimat atau ucapan yang akan Odessa tinggalkan dari mulut suaminya.

"Apa itu, Mas?"

"Deprima yang kamu kenal dari aplikasi itu memang akun anak buahku," mulai Seda. Semua ini harus dibuka dan tidak ada yang ditutupi lagi. "Dia memang yang akan syuting sama kamu di Bandung, tapi aku juga ada andil dengan akun itu."

Odessa menatap suaminya tak paham. "Maksudnya apa, Mas?"

"Aku ... sejak Deprima menggantikan Mayang jadi asistenku, aku pakai akunnya untuk membalas pesan kamu di Madam Rose."

Jelas sekali Odessa tidak menutupi keterkejutannya. Odessa semula hanya mengira bahwa suaminya yang memimpin stasiun televisi maka wajar saja berada di lokasi syuting hingga ujungnya tahu keberadaan Odessa. Namun, sekarang Odessa mencoba mengumpulkan pecahan dari skenario yang ada.

"Jadi ... kamu yang bales pesanku waktu jam kerja?" tanya Odessa dengan lirih.

Seda mengangguk. "Benar, Des."

"Kamu yang aku mintai pendapat saat kamu aktif fi kantor?" Sekali lagi Seda mengangguk.

"Kamu ... sosok yang aku suka di jam-jam tertentu itu." Ini pernyataan dari Odessa.

"Apa, Des?"

Odessa menatap suaminya dengan fokus tak terbagi. "Mas, kamu ... crush hour aku selama ini. Bodohnya aku. Kamu sudah menjadi sosok yang aku suka, Mas. Meski tanpa kita sadari, kamu sosok idamanku."

Seketika saja Seda kebingungan. Crush hour ... apa?


[Eaaaahhh! Judulnya udah kesebut di bab ini🐵. Kira-kira perlu kasih badai yang membadaikan, nggak?]






CRUSH HOUR /TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang