Chapter 18: Erson Sini

184 25 7
                                    

Anna duduk didalam taksi yang berjalan dari sekolah menuju rumahnya. Anna duduk menyandar menikmati pemandangan luar yang tercipta dari jendela taksi. Jalanan mulai sepi dengan beberapa lampu jalan yang sengaja dimatikan membuat suasana malam makin terasa. sepi... dingin.. dan sendirian

Tidak jauh berbeda seperti saya, batin Anna

Keasikan memandangi jendela, tidak terasa taksi yang dia tumpangi berhenti sempurna didepan pagar rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keasikan memandangi jendela, tidak terasa taksi yang dia tumpangi berhenti sempurna didepan pagar rumahnya.

"Ini biayanya pak, terimakasih" ucap Anna sambari berjalan keluar dari taksi dengan koper di tangan kirinya.

Anna berjalan lunglai. Entah mengapa perasaan aneh mendatanginya. Kejutan demi kejutan hadir selama olimpiade, dari mulai kehadiran seseorang mirip Erson hingga kekalahannya mendapatkan peringkat pertama dalam olimpiade. Dan sekarang dia harus siap menghadap ayahnya yang pasti menagih kemenanganya.

"Kira-kira apa yang dapat saya dapatkan dengan peringkat kedua ini? tamparan? Atau bahkan saya akan diusir ayah?" Ucap Anna ketika berdiri didepan pintu. Gadis itu terdiam tidak beranjak membuka pintu, justru memikirkan nasib yang akan didapatnya setelah ini.

Cceklek...

Anna berjalan memasuki rumah. Seluruh lampu ruangan dalam sudah dimatikan, artinya kedua orangtua Anna telah terlelap dalam tidur. Anna berjalan menuju kamarnya sambil menarik koper di tangan kirinya.

"Udah pulang?" tanya Ayah Anna dari arah kamarnya. Ayahnya berjalan keluar kamar mendekati anak gadisnya itu.

"Ayah tunggu hasil dan penjelasanmu olimpiade ini besok. Sekarang istirahat lah" ucap Ayah Anna sambari berjalan menuju dapur. Anna yang mendengar itu hanya tersenyum miring, mengejek nasib buruknya esok.

------------------------00000----------------------

"Benar kamu dapat peringkat dua?" tanya Sang Ayah kepada Anna ketika keduanya terduduk di ruang makan, saling berhadapan. Anna menjawab dengan anggukkan kepala.

Dapat dia lihat kilatan emosi muncul dari raut wajah sang ayah. Pasti setelah ini ada ledakan hebat....., batin Anna

Ayah Anna menarik napas panjang menetralkan emosinya. "Bukankah ayah meminta untuk selalu memberi yang terbaik? Kamu pikir ini yang terbaik?" tanya Ayahnya dengan kilatan mata penuh emosi

"Saya sudah berjuang, tapi ternyata ada peserta baru yang bisa kalahkan saya" jelas Anna

Lagi-lagi, ayahnya menarik napas panjang sebagai penetral emosi. "Itu bukan sebuah alasan. Kalau memang kamu bersungguh-sungguh dengan olimpiade. Musuh tidak perlu kamu hiraukan, kalau kamu punya senjata" jawab Ayahnya

Tiba-tiba ayah Anna berdiri dan berjalan menuju Anna. Pria itu menarik pergelangan tangan Anna untuk mengikuti langkahnya menuju ruang tamu.

"Ini yang kamu bisa berikan ke orang tua kamu? Kamu kira sudah bisa buat bangga ayah? Tidak!! Juara dua hanya akan mempermalukan ayah dimata keluarga besar. " Ayahnya berucap keras tanpa memperdulikan Anna.

"Iya, Saya hanya akan menjadi beban Ayah dan selalu mempermalukan ayah." Jawab Anna dengan mata menatap lurus mata Ayahnya. Sudah terlalu sering pertengkaran mereka, jadi bukan hal sulit bagi Anna untuk sekedar membalas tatapan mata penuh emosi ayahnya.

"Ayah kira ini semua sesuai keinginan saya? Tidak!! Saya tidak pernah menginginkan ini semua." Dadanya berseteru, emosinya tengah memuncak. "Apa pernah saya meminta ikut olimpiade? Tidak! Tidak pernah bahkan. Kenapa? Karena saya tidak suka semua ini."

"Terus mau kamu apa? Musik? Menyanyi? Nggak ada masa depannya!! Ikuti kata ayah!" balas ayah Anna

"Ini bukan kata ayah. Ini keinginan Kakak. Kalau aja kakak nggak mati. Pasti dia yang akan kena amarah ayah dan bukan saya"

"Iyaa memang!! Ini semua keinginan dia!! Tapi apa, dia tinggalkan ayah dengan semua impian dia. Dan Kamu!!" Ayahnya menunjuk tegas Anna dengan telunjuknya. Emosi ayahnya semakin tersulut, dadanya naik turun ketika Anna mulai mengungkit masa lalu mereka.

"Kamu pembunuh dia! Dia mati karena kamu!!" Teriak sang ayah

"Apa perlu ayah ingatkan lagi, bagaimana kamu membunuh anak ayah?" sambung sang ayah

Tanpa sadar air matanya menetes mengingat kejadian paling menyeramkan dalam hidupnya. Masih terasa bagaimana peristiwa yang berhasil merubah dirinya. Bahkan dengan penuh sadar Ayahnya mengingatkannya kembali atas peristiwa itu.

Anna menghapus air mata dengan kasar dan berkata,

"Benar!! Saya memang bukan anak Ayah. Bahkan untuk mendapat peringkat pertama saja saya tidak mampu. Memang yang mati itu harusnya saya bukan dia"

"Berani kamu bilang begitu!"

Plakk..

Ayah Anna menampar Pipi kiri Anna.

"Jaga ucapan kamu!" peringat sang Ayah

"Bukannya ucapan saya benar? Bahkan sampai sekarang saya tidak mengenal diri saya, itu semua demi siapa?? DEMI AYAH!!!" teriak Anna

Plakk..

"DIAM!! kamu belum bisa membahagiakan ayah! Jadi DIAM" sekali lagi ayahnya menamparnya dipagi ini

Anna menyentuh pipi kirinya yang sudah dua kali tertampar.

"Bahkan semua perjuangan saya saja tidak pernah telihat oleh mata ayah, bagaimana ayah bisa bangga?" tanya gadis itu dengan suara lirih

"Masih berani melawan ayah?? Masih berani lihat mata Ayah??...Ayah nggak butuh anak sok pemberani seperti kamu!! Pergi kamu!!" ucap Ayahnya dengan suara keras

"Baik," Anna berlari keluar rumah.. terus berlari ....bahkan dengan mata yang terus saja mengeluarkan air mata

Hisk...hiskk...

Perlahan langkahnya melamban. Gadis itu tidak kuat berjalan lagi. Gejolak didalam dada berhasil memberatkan langkahnya. Tubuhnya melemas, mencari pegangan terdekat.

Hisk...hisk...

Tanggan terulur lemah mencari pegangan kemudian mendudukkan dirinya di bangku terdekat.

"Kenapa takdir selalu mempermainkan saya. Harusnya yang mati waktu itu saya... hisk.. bukan kakak" Anna menangisi ketidakberuntungannya. Gadis itu menundukkan kepala menutupi seluruh wajahnya

"Saya sudah capek disini! Takdir saya selalu begini! Gagal-ditampar-menangis-berakhir sendirian" ucap Anna lirih

"Saya tidak punya siapa-siapa... tidak ada yang bisa saya andalkan...bahkan orang yang biasanya menghapus tangisan saya sekarang hilang..." Anna menyentuh dada kirinya...

"hisk.. sakit sekali disini.... sakit sekali... saya tidak tau sampai kapan saya mampu bertahan"

"Saya butuh kamu Erson, tolong kesini. Kuatkan saya..." 

------------------------00000----------------------

Dikit banget ya??

Kalian kalau jadi Anna bakal gmn?

Bakal kangen Erson ngga?

Atau 

Makin benci sama dia?


Feign [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang