Kembali duduk saling berhadapan. Masih diam dengan kecanggungan. Dua laki-laki dengan kepribadian yang berbeda tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Si manis masih mencerna kalimat pasiennya beberapa saat yang lalu. Kalimat yang membuatnya bingung. Ia merasa tertekan. Diberi waktu seminggu? Bukankah itu terlalu singkat?
"Bantu aku! Kuberi waktu satu minggu. Jika kau berhasil aku akan berubah, jika kau gagal kau boleh menyerah."
Sementara itu, si pasien tengah menyesali ucapannya. Ia berperang dengan batinnya. Mengutuk setiap kalimat yang telah ia lisankan. Memberi kesempatan satu minggu pada si psikiater manis. Jika ia berhasil, bukan kah pertanda tugasnya telah rampung? Jika ia gagal, bukan kah pertanda tugasnya telah gugur? Pada akhirnya semua sama saja.
Berhasil atau gagal, dokter manis itu akan tetap pergi meninggalkannya. Lalu apa masalahnya? Jay tidak mau! Ia tidak ingin Jungwon pergi. Hatinya tidak terima, namun logikanya meronta. Ada apa ini? Kenapa rasa takut kehilangan Jungwon tiba-tiba muncul. Apa ia mulai membuka hatinya untuk si dokter manis? Tidak mungkin!
Namun di sisi lain, sejujurnya Jay nyaman dengan Jungwon. Ia memperlakukan Jay dengan begitu baik. Jay senang ketika Jungwon menyuapinya sembari bercerita tentang dunia luar. Jay senang ketika Jungwon mengajaknya menonton film di laptop. Memperlihatkan film-film kekeluargaan, persahabatan, dan pasangan. Meski malamnya, ia akan menangis ketakutan karena teringat sang ibu dan mantan kekasihnya.
Ada pula ketika Jay memejam di malam hari. Tak tidur, sekedar menutup mata dengan entah memikirkan apa. Suara pintu kamar yang didorong terdengar samar. Tak mau tahu, Jay tetap memejam. Lalu dirasanya seseorang tengah mengusap rambutnya. Lembut, begitu lembut! Selimut yang awalnya ia pasang asal-asalan pun terpasang dengan rapi dan terasa begitu hangat. Lalu suara lembut dan manis mengalun sebelum pintu kamar kembali tertutup.
"Selamat malam, Jay-ssi!"
Suara pintu yang tertutup berbunyi. Mata yang semula memejam kini terbuka. Hati Jay menghangat. Pintu itu, ia selalu menguncinya. Hanya sang ayah yang memiliki kunci cadangan. Beberapa hari setelah Jungwon tinggal di rumah ini, Jay tak minat mengunci kamarnya. Ia suka ketika Jungwon diam-diam masuk kamarnya. Mematikan lampu, membenarkan selimutnya, mengucapkan selamat malam, atau sekedar membuka pintu untuk mengeceknya. Jay senang? Tentu! Kenapa? Ia pun tidak tahu!
"Keringkan rambutku!"
Jungwon mengerjap. Dia ini seorang psikiater atau pembantu? Tunggu! Jangan membantah! Jungwon harus ingat tujuannya. Jay sudah mulai berubah, ini kesempatannya untuk segera menyembuhkan Jay. Dengan demikian, ia bisa segera kembali ke kliniknya.
Berdiri di hadapan Jay, Jungwon mengusap rambut pasiennya dengan handuk. Mengeringkan dari sisi ke sisi dengan telaten. Gerakannya selalu saja lembut. Jay tidak mengerti, bagaimana bisa seorang laki-laki bertindak selembut ini. Caranya berjalan, menggerakkan tangan, atau bersuara. Benar-benar lembut dan halus.
Menengadah, menatap wajah dokter manis yang sibuk mengusak rambutnya. Sejenak, Jay merasa dokter ini begitu rapuh. Terlampau paham, meski fisiknya terlihat rapuh namun Jay yakin, hati dokter ini begitu kuat. Ngomong-ngomong, dimana Jungwon dulu tinggal? Siapa orang tuanya? Berapa umurnya? Kapan ulang tahunnya? Apa makanan kesukaannya? Jay tidak tahu. Ia hanya tahu, Yang Jungwon namanya. Mereka tak pernah memiliki perkenalan resmi. Pertemuan pertama mereka begitu buruk!
"Kau belum meminum obatmu."
"Aku tidak sakit!"
"Jika kau ingin sembuh, kau harus menurut padaku!"
"Kau bukan orangtuaku!"
"Tapi aku yang bertugas merawat dan mengurusmu?"
"Kau psikiater atau babysitter?"
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION | JAYWON [END]
Fanfictionob·se·si /obsési/ n Psi gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan. Jay mengidap thantophobia. Lalu seorang psikiater berhasil menyembuhkannya. Ia pun jatuh cinta dengannya. Namun siapa sangka kesembuha...