Matahari yang Tersisihkan

7.7K 725 152
                                    

Malam itu keadaan berangsur-angsur tenang. Kehadiran Jungwon sangat lah membantu. Kini Jay terlihat begitu tenang. Ia memejamkan matanya di ranjangnya, ditemani Jungwon yang duduk di sampingnya. Tangan Jungwon masih bergerak mengusap kepala Jay yang mampu memberikan ketenangan. Memastikan Jay sudah tertidur, barulah ia menghentikan usapannya.

Jungwon menarik selimut untuk menyelimuti tubuh kurus Jay. Ia menghembuskan napas, maniknya yang cantik memandangi Tuan Muda yang tengah terlelap. Ia duduk terdiam, dengan seribu pikiran yang berkecamuk.

Apa keputusannya tepat? Memilih kembali di ruang lingkup Jay. Menyerahkan diri dan memberikan kehidupannya. Jungwon tidak menahu. Tepat atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah. Di dunia ini tidak ada yang pasti.

Apa ia akan menyesal kembali? Jungwon tidak tahu. Masa depan begitu abu-abu. Layaknya pegunungan yang tertutup kabut tebal, tidak nampak.

Dalam hidupnya, hanya ada satu hal yang ia sesali. Satu hal itu adalah ketika ia tidak sempat memberikan kado ulang tahun untuk mendiang ibunya sebelum ibunya menutup mata.

Diantara seribu pikiran yang menghujami kepalanya, tiba-tiba saja Jungwon teringat seseorang. Ia segera bangkit dan berjalan keluar. Sembari melangkahkan kaki, ia menghubungi seseorang melalui ponselnya.

Kakinya berhenti di sebuah taman di rumah sakit tersebut. Di hadapannya, seseorang tengah duduk memunggunginya. Sejenak, Jungwon tertegun. Ia melupakan fakta jika ia datang kemari bersama orang lain.

"Sunghoon hyung!" Jungwon menyapa dan menghampirinya. Ia duduk di samping Sunghoon yang kini menampakkan senyum secerah matahari seperti biasanya.

"Aku kira kau sudah pulang. Maafkan aku!" Jungwon menyesali perbuatannya. Ia datang kemari bersama Sunghoon, namun justru ia mengabaikannya.

"Tidak apa-apa. Ingin pulang sekarang?" Mendengar pertanyaan itu membuat Jungwon menautkan alisnya. Pulang?

"Aku sudah pulang." Sunghoon menoleh. Mengerutkan keningnya, mencoba mencerna ucapan Jungwon. Tiba-tiba saja ada perasaan yang entah mengapa begitu mengganggunya.

Melihat Sunghoon yang terlihat bingung, Jungwon menarik napas dan menjelaskan. "Benar, aku sudah pulang. Dia rumahku!"

Sunghoon menerka-nerka 'dia' yang dimaksud Jungwon. Tentu saja jawabannya hanya menjurus kepada satu orang. Sunghoon memalingkan wajah, menatap tanaman di depannya. Hati dan pikirannya bergulat. Ia menelan seteguk ludahnya dan bertanya, "Kau sudah memikirkannya dengan matang?"

Jungwon mengikuti arah tatapan Sunghoon. Ia menatap setangkai bungai layu di depannya. "Ya. Aku sudah memikirkannya tempo hari."

Sunghoon terdiam. Wajahnya nampak tenang, namun hatinya tengah bergejolak. "Kau memilih bersamanya karena iba dan rasa bersalah?"

Pertanyaan itu membuat Jungwon dengan spontan menoleh, menatap Sunghoon yang kini menunduk. Terlihat layu seperti bunga yang baru saja ia pandangi. "Tentu saja tidak! Dia membutuhkanku!"

"Lalu bagaimana denganmu?" Sunghoon mengangkat kepalanya. Ia menoleh membalas tatapan Jungwon. Senyuman secerah matahari itu kian luntur tak menyisakan jejak sedikit pun.

"Aku lebih membutuhkannya." Jawaban itu terucap dengan begitu saja tanpa pikir panjang.

"Apa yang kau butuhkan darinya?" Sunghoon bertanya setengah menuntut. Di dalam kepalanya berjajar pertanyaan-pertanyaan yang tidak terhitung. Yang paling membingungkan, kenapa Jungwon memilih kembali padanya? Apa yang ia cari? Apa kesakitan di masa lalu tidak ia jadikan sebagai pelajaran? Kenapa harus dia yang Jungwon inginkan?

"Hidupnya." Lagi-lagi jawaban itu membuat Sunghoon tertegun. Dalam sekejap dadanya terasa sesak. Sesuatu seolah tengah menikamnya. Menjalarkan rasa sakit yang tak tertahankan. Ia terus bertanya-tanya dalam hatinya. Dari milyaran manusia, kenapa hidup orang itu yang Jungwon inginkan? Apa yang dapat Jungwon peroleh dari mengharapkan kehidupan orang lain?

OBSESSION | JAYWON [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang