Seperti pangeran kecil yang terkurung, Jungwon menghadapi nasibnya. Ia duduk di ranjang Jay sembari menundukkan kepala. Matanya yang bengkak mengerjap, menatap jari kakinya yang ia gerakkan bersama. Pipinya basah, cairan bening dari matanya terus mengalir dan menetes di lantai.
Setengah harinya ia gunakan untuk memikirkan cara untuk keluar dari kamar ini. Namun semakin ia berpikir, maka kepalanya akan terasa semakin berputar. Sampai akhirnya Ia pun menyerah dan mengalihkan pikirannya.
Jungwon menyadari, semakin ia berpikir, maka akan semakin sulit mencari jalan keluar. Semakin ia panik, maka akan semakin sulit ia menjernihkan pikiran. Akhirnya ia pun memutuskan untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Duduk termenung, menatap apa pun yang ada di hadapannya. Namun semakin lama, apa yang ada di hadapannya semakin tidak menarik. Ia pun menunduk sembari menghela napas dan menghembuskannya dengan kasar.
Jungwon benar-benar marah. Batas kesabarannya sudah di ujung tanduk. Ia mengepalkan tangannya. Meluapkan kemarahannya dengan mengatupkan rahang begitu kuat. Lalu ia mengangkat kakinya, menekuknya di atas kasur dan memeluknya. Kepalanya semakin menunduk dan menyandarkan dahi di lututnya. Bahunya semakin bergetar. Isakan lirihnya pun mulai terdengar.
Kini wajah Jungwon semakin gusar. Ia mengacak rambutnya dengan kesal. Ketika mengingat tindakan keterlaluan Jay, ia akan merasa marah. Pasiennya itu benar-benar sudah di luar batas. Jungwon sempat berpikir jika ia telah gagal memahami Jay. Namun setelah kembali memikirkannya, Jungwon menyadari jika ia lebih gagal dalam memahami dirinya sendiri.
Jungwon memang marah, ia kesal dan kecewa. Namun dirinya seolah menolak untuk membenci Jay. Setiap kebencian itu terasa akan tumbuh, tiba-tiba saja semua itu menguar dan menghilang. Hal seperti ini membuatnya putus asa.
Beri aku waktu.
Kalimat itu, tiba-tiba saja Jungwon menyesalinya. Kalimat itulah yang membuatnya terjebak. Kalimat itu adalah alasan kenapa Jay mengurungnya. Jika saja malam itu ia bersikap tegas. Namun apa pun jawabannya, semua tidak akan berubah. Jawaban ‘ya’ berarti menyerahkan diri. Lalu jika ia mengatakan ‘tidak’ belum tentu Jay akan melepaskannya. Bisa saja ia akan bertindak lebih mengerikan dari sebelumnya. Mungkin mengurungnya seumur hidup, menidurinya dengan paksa setiap hari, atau bahkan menyiksanya hingga ia mendapatkan jawaban ‘ya’.
Di dunia ini setiap pertanyaan hanya ada dua jawaban. Ya atau tidak. Namun Jungwon melanggarnya. Ia memilih jawaban ketiga. Ya, memang ada jawaban ketiga seperti
“mungkin”,
“aku tidak tahu”,
“beri aku waktu”,
dan lainnya. Jawaban yang biasa di katakan oleh pengecut. Jawaban yang justru akan memperburuk keadaan.
Dahulu Jungwon adalah orang yang tegas. Jika iya maka iya, jika tidak maka tidak. Namun akhir-akhir ini ia terlihat selalu ragu-ragu. Seolah ia tengah berdiri di atas jembatan kaca yang rapuh. Melangkah menemui kebebasan, atau tetap bertahan menunggu jembatan kaca itu pecah dan menjatuhkannya.
Di tengah kegusaraannya, ia mendengar pintu kamar yang di ketuk beberapa kali. Jungwon terperanjat, ia menoleh menatap daun pintu yang tertutup.
Jungwon berseru, “Siapa?”
Si pengetuk pintu menanggapi, “Jungwon-ah, ini bibi!”
Mendengar suara itu, wajah Jungwon seketika terlihat cerah. Suara itu milik Bibi Kim. Ia pun berdiri sembari menghapus air matanya lalu mendekati pintu. Dahulu, Bibi Kim selalu memanggilnya Dokter Yang. Namun Jungwon sedikit tidak nyaman dengan panggilan itu. Ia pun memberitahu Bibi Kim untuk memanggil nama panggilannya saja dan tidak perlu bersikap formal.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION | JAYWON [END]
Fanfictionob·se·si /obsési/ n Psi gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan. Jay mengidap thantophobia. Lalu seorang psikiater berhasil menyembuhkannya. Ia pun jatuh cinta dengannya. Namun siapa sangka kesembuha...