Park Sunghoon, pemuda yang murah senyum. Anak kedua dari pengusaha besar setelah ayah Jay. Sunghoon sangat berbeda dari keluarganya. Ketika mereka memuja harta, Sunghoon justru tak minat dengan dunia mewah di keluarganya. Ia adalah pemuda yang bersemangat. Siapa pun yang mengenalnya tentu akan tahu, Sunghoon adalah orang yang ceria. Ia selalu terlihat cerah seperti matahari.
Hidupnya terlalu santai. Ia benar-benar menikmati masa mudanya. Bergaul dengan banyak teman dan termasuk orang paling terkenal di antara teman sebayanya. Meski pun ia sangat terbuka, namun tidak pernah ada yang tahu jika Sunghoon selalu menutup hatinya. Ia menggemboknya rapat-rapat, hingga tak sadar ia telah melukai banyak orang yang berharap dapat membuka kunci hatinya.
Beberapa minggu yang lalu, seseorang melintas di hatinya. Tak seperti orang-orang yang begitu brutal mengetuk pintu hatinya dengan tidak sabaran. Orang ini berbeda. Ia tidak mengetuk tidak juga mencoba mendobrak pintu hatinya. Ia hanya terdiam dengan senyum polos nan lembutnya. Membuat pintu hati Sunghoon bergetar, menyebabkan gembok di hatinya mengendur. Sunghoon menerimanya. Ia membuka setengah pintu hatinya, menunggu orang itu masuk dan mengisinya. Namun hingga saat ini, orang itu masih terdiam di depan. Tak berniat melangkah hingga membuat Sunghoon resah.
Sunghoon gelisah. Matahari sudah mulai menghangat. Semalam ia tidak bisa tidur. Tak peduli berpuluh-puluh kali ia mengubah posisi tidurnya, matanya enggan memejam. Tangannya terus menggenggam ponsel, matanya enggan beralih dari layarnya. Dahinya akan berkerut begitu dalam, lalu helaan napas terdengar. Sunghoon mengacak surainya. Ia begitu frustasi seolah-olah besok adalah akhir dari dunia.
Sedari semalam ia menunggu kabar dari seseorang. Sunghoon sedikit cemas. Tidak biasanya ia tidak diberi kabar. Ia berguling di kasur dengan perasaan campur aduk. Berteriak seperti orang kesetanan. Lalu kembali duduk sembari melamun.
“Jungwon-ah, apa kau baik-baik saja? Kenapa tidak mengabariku? Aku tidak berani mengabarimu dulu. Kau melarangku menghubungimu terlebih dahulu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?”
Sunghoon bermonolog seperti orang gila. Menanyakan beberapa pertanyaan, lalu menjawabnya sendiri. Sekali lagi ia mengacak rambutnya, kali ini disertai dengan jambakan.
Sunghoon sudah tahu mengenai Jay. Jungwon sudah menceritakannya sebagian. Dimana Jay melarang Jungwon untuk keluar rumah namun Jungwon tidak bercerita jika Jay melarangnya bertemu Sunghoon. Saat Sunghoon mendengar cerita itu, ia merasa kesal. Ia bahkan menggerutu dan mengumpat atas nama Jay. Jungwon melarang Sunghoon menghubunginya. Hanya Jungwon yang boleh menghubunginya terlebih dahulu. Sunghoon tidak keberatan dengan syarat mereka berdua harus saling bertemu minimal seminggu sekali. Jungwon menyetujuinya.
Sunghoon sedikit merasa ada yang tidak beres. Tidak bisanya Jungwon seperti ini. Setiap selesai bertemu, Jungwon selalu memberi kabar ketika sampai di rumah. Namun sejak semalam ponselnya tidak menerima satu pesan pun dari Jungwon. Ia sangat kesal. Tangannya bergerak meraih ponselnya. Bersiap hendak membantingnya di lantai. Namun gerakannya terhenti.
“Bagaimana jika setelah aku membantingnya dan ponsel ini mati, Jungwon justru mengabariku?”
Lagi-lagi Sunghoon frustasi. Terbesit di pikirannya sebuah ide untuk datang ke rumah Tuan Park. Namun Sunghoon segera menggelengkan kepalanya.
“Tidak! Jungwon juga melarangku menemuinya terlebih dahulu.”
O B S E S S I O N
Sementara itu keheningan selalu terasa di rumah Tuan Park. Udara terasa begitu dingin. Jay duduk di samping Jungwon yang masih memejam. Ia memandang keluar jendela kamarnya. Embun yang menempel membuat pemandangan diluar mengabur. Hujan masih mengguyur bumi. Membasahinya disertai aroma segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION | JAYWON [END]
Fanfictionob·se·si /obsési/ n Psi gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan. Jay mengidap thantophobia. Lalu seorang psikiater berhasil menyembuhkannya. Ia pun jatuh cinta dengannya. Namun siapa sangka kesembuha...