VOTE KOMEN SELAGI MEMBACA~
"Julia! Choi Julia! Kau mendengarku?!" Jaemin sangat panik ketika mendapati gadis cantik itu tergeletak diatas tanah.
Jaemin memukul pelan kedua pipi Julia, namun tidak ada respon yang Julia tunjukkan.
"Sial, siapa yang membuatmu seperti ini? Aku tidak akan mengampuninya," Na Jaemin mengangkat tubuh ramping Julia dan menggendongnya. Kemudian mereka terbang menuju markas yang tak berapa jauh.
"Jae, kau--Julia?! Apa yang terjadi padanya?" Chenle melotot kaget melihat kondisi Julia yang berdarah-darah. Ia mengikuti langkah kaki Jaemin sampai di kamar Julia.
Jaemin membaringkan tubuh Julia, dan segera keluar mencari keberadaan Mark Lee.
"Astaga Julia, maafkan aku. Sungguh. Jika aku tahu akan jadi seperti ini, tak kubiarkan kau keluar markas satu langkahpun..." Ucap Chenle melirih.
Sedangkan Jaemin, dia menemukan Mark sedang menikmati semangka dari lemari pendingin, "Mark, ikut aku sekarang. Aku membutuhkanmu."
Mark Lee tersedak saat Jaemin dengan kasar menarik tangannya dan membawanya dengan langkah tergesa.
"Hei, ada apa? Mengapa kau panik sekali?"
Jaemin tak menjawab, tapi begitu mereka sampai di kamar Julia, Jaemin melepaskan tautan tangan Mereka.
"Aku menemukan Julia di dekat Danau, tubuhnya penuh darah. Tolong periksa dia, lihat apa yang terjadi sebelumnya," Jelas Jaemin.
Mark membagi tatapannya antara Jaemin, Chenle dan Julia. Lalu ia mendekati gadis yang terbaring lemah itu seraya mencolek darah segar dari leher putih mulusnya. Mata Mark tertutup, dahinya makin lama semakin mengerut dalam kala melihat secercah ingatan tentang Julia tadi.
"Ada tiga alien yang mengincar Julia, namun seekor merpati mematuk leher Julia hingga dia seperti ini," Mark menjelaskan apa yang dia lihat secara singkat dan jelas.
"Merpati tersebut hanya mematuknya sekali?" Chenle menaikkan sebelah alis.
"Ya, sepertinya bukan sembarang merpati."
"Merpati jinak? Atau merpati samaran?"
Mark menghela nafas panjang, "Aku tidak tahu. Tetapi itu tidak menjadi masalah, karena dia telah menyelamatkan Julia."
"Segera sembuhkan Julia, Jae. Aku ingin berbicara serius denganmu," Kata Mark tegas sebelum pergi berlalu.
Jaemin menyentuh luka Julia kemudian mengelusnya perlahan. Tiba-tiba luka patukan dan darah gadis itu lenyap. Kondisi Julia sudah seperti semula lagi, namun wajahnya tetap pucat.
"Jaga dia sebentar, aku akan pergi menemui ketua Lee," Jaemin memerintah mutlak yang langsung diangguki oleh Chenle.
"Kau mau membicarakan apa?" Tanya Jaemin.
Mark yang sedang bersidekap dada segera memperbaiki posisi duduknya.
"Aku sedikit merasa kasihan sekaligus risih mendengar Julia terus mengeluhkan pacarnya yang sudah mati."
"Lalu?" Jaemin menaikkan sebelah alis.
"Jika Julia masih mengingat pacarnya, semua akan rumit. Aku yakin dia sampai saat ini masih mengamuk dan sulit mengontrol emosi. Terlebih, saat dia menjumpai ketua Jung dari team 127. Semua berantakan dalam sekejap, Jae."
"Benar. Lalu?"
"Aku menghapus ingatan tentang pacarnya saat malam pertama dia tertidur dan menyisakan ingatan tentang Bumi dan orangtuanya saja. Aku masih berbaik hati," Ucap Mark pada akhirnya.
***
"Enghh..." Julia bergerak gelisah diatas kasur.
Chenle yang menyadari itu bergegas menghampiri Julia dan menepuk-nepuk pelan pundaknya agar sedikit tenang.
"Aku disini, Julia. Jangan khawatir."
Perlahan namun pasti, gadis bernama Julia tersebut membuka kedua matanya. Julia tidak bodoh untuk mengenali kamarnya sendiri maka ia memilih diam saja.
"Apa kau butuh sesuatu? Aku akan memberikannya," Ujar Chenle yang saat ini kalang-kabut, bingung mau melakukan apa.
"Kau tidak pernah merawat orang sakit? Astaga, ambilkan aku air minum."
Chenle menggelengkan kepala, "Dalam kondisi seperti ini saja kau masih cerewet."
Walaupun begitu, Chenle tetap melangkah keluar kamar guna mengambilkan Julia air minum.
"Bukankah sudah kubilang agar kau menemani Julia? Mengapa kau meninggalkannya sendirian?" Jaemin bertanya tegas, sorot matanya berubah tajam kala melihat Chenle menuruni anak tangga.
Mendengar itu, Chenle merotasikan bola mata, "Dia sudah sadar dan aku ingin mengambilkan air untuknya."
"Benarkah? Aku akan menemuinya dulu," Ujar pemuda Na, berjalan tergesa menuju kamar Julia di lantai atas.
Ceklek
"Sudah bangun?" Jaemin datang dengan senyum manis yang selalu dia tampilkan untuk Julia.
Julia mengangguk lemah, "Apa aku terlihat masih pingsan? Berpikir saja, tuan Na."
"Wow, kau tampak lebih pulih."
"Ya."
"Apa yang terjadi padamu?" Jaemin sengaja memancing Julia agar perempuan itu bercerita sendiri. Jaemin ingin tahu melalui sudut pandang Julia.
"Aku sedang bosan dan pergi melihat-lihat pemandangan. Aku menemukan Danau yang tak jauh dari markas ini, jadi aku merasa aman-aman saja jika duduk di pinggirannya. Namun ternyata ada tiga makhluk alien yang mengintaiku dibalik rerumputan. Sebelum alien-alien itu menyerangku, tiba-tiba seekor burung merpati mematuk leherku pelan," Julia mengerucutkan jemari tangannya dan membuat gerakan mematuk di leher, "Sangat pelan tapi aku kesakitan, banyak darahku yang keluar, ah serius, aku merasa seperti terpenggal saat itu juga. Tapi, kau tahu tidak, Jae?"
"Apa itu?" Jaemin semakin mendekat.
"Anehnya tiga alien tadi langsung lari terbirit-birit saat aku terjatuh diatas tanah. Dan mereka tumbang begitu saja sebelum menghilang dari pandanganku."
"Begitukah?"
"Iya! Apa aku tampak menyeramkan, ya?"
"Mungkin, aku saja tadi ketakutan ketika mengangkatmu."
Julia terdiam beberapa detik, mencerna kalimat Jaemin baik-baik, "Kau... yang mengangkatku kemari?"
"Iya, memangnya siapa lagi?"
"Aku kira Chenle."
"Tidak. Dia hanya terbodoh saat melihatmu terluka."
"Itu karena dia merasa bersalah."
"Ya, ya. Terserah apa katamu."
"Eh, tapi..." Julia meraba-raba bagian leher, kemudian memeriksa kedua telapak tangannya, "Kau membersihkan luka ku juga, ya?"
"Aku tidak membersihkan lukamu, tetapi menyembuhkannya. Sama seperti saat kau terluka pasca kecelakaan waktu lalu."
NEXT?