14

231 45 12
                                    

Sejujurnya jumlah readers sama yang aktif vote komen kebanting bgt. Aku nunggu rame aja deh baru update lagi, biar yang sider muncul:(

VOTE DAN KOMEN SELAGI MEMBACA~


Ini sudah tiga hari sejak Jaemin menyatakan rasa, sudah tiga hari pula sejak kejadian mereka tidur bersama. Ya, walaupun hanya tidur dan tidak melakukan lebih, namun tetap saja Julia merasa ingin mencekik diri ketika tak sengaja mengingatnya.

Hari-hari berlalu seperti biasa, tapi bedanya, Jaemin sekarang lebih betah berada di markas. Dia benar-benar menemukan makna bahagia jika bersama Julia.

Mendengar tawa manis yang keluar dari bibir ranum gadis itu, membuat Jaemin merasa senang dan sakit di saat yang sama. Senang karena Julia berhasil terhibur olehnya, dan sakit karena ia berfikir sampai berapa lama tawa manis tersebut dapat ia saksikan.

Semakin hari, helaan nafas Jaemin lebih berat. Seakan-akan beban yang ia pikul bertambah banyak. Padahal yang ada di pikirannya hanya seputar Julia dan hidup Julia saja.

"Julia kemana?" Tanya Jaemin begitu dia duduk disalah satu kursi, tepat disamping Renjun yang tengah membaca sebuah majalah.

Memang Renjun itu sangat gemar membaca buku tentang ilmu-ilmu pengetahuan, walaupun yang ia baca rata-rata mengenai asal-usul manusia buatan atau mengenai manusia buatan kedua yang diciptakan oleh pemimpin Lee bernama Kim Jongin yang tega mengkhianati bangsanya sendiri.

Buku-buku yang Renjun baca sudah kuno, lembar kertasnya saja banyak yang terkoyak dan kumuh. Tetapi, ia tetap mampu membacanya dengan benar.

Renjun menoleh sebentar, membenarkan letak kacamatanya, kemudian lanjut menyelami kalimat demi kalimat yang tertulis di lembar buku. "Dia tadi mendesak Jeno untuk pergi keluar. Sepertinya Jeno ada menjanjikan sesuatu padanya. Jadi, ya, mereka berdua pergi entah kemana."

Jaemin mengangguk mengerti, "Ohh, begitu."

Jaemin diam, matanya lurus menerawang kedepan sana. Dia tidak sedang menajamkan penglihatan, karena tatapan matanya kosong.

Lagi-lagi, nama Choi Julia berputar mengelilingi kepala Jaemin. Ia benar-benar dibuat pusing.

Kalau ia menahan Julia lebih lama, pasti semua akan berkali-kali lebih sulit dari yang ia duga. Julia harus tahu dalam waktu dekat, itu bisa memudahkannya untuk mempersingkat strategi dasar yang telah disusun pemimpin Lee.

Namun yang jadi masalah, Jaemin belum siap menghadapi kemarahan Julia. Ia baru saja merasakan bahagia.

"Menurutku, sih, kesampingkan perasaan dan egomu, Kawan. Kita sedang bertugas kalau kau lupa, keselamatan Dunia kita yang harus menjadi prioritas utama, bukan cinta buta-mu, bukan seorang gadis yang bahkan tidak bisa bersatu dengan boneka penipu. Memangnya, siapa yang membuatmu bertahan sampai sekarang ini? Si makhluk Bumi? Oh, ayolah, berfikir kritis sebentar saja. Kemana perginya Na Jaemin yang selalu bersikap bijaksana?"

Jaemin termangu mendengar rentetan kalimat yang diucap rekannya. Ia menoleh, baru sadar kalau Renjun sudah menutup buku bacaannya dan menyimpan kacamata diatas buku kuno tersebut.

Renjun lama memandangi Jaemin, sampai pada akhirnya dia tersenyum saru. "Apa kau juga lupa kalau aku bisa membaca pikiran? Apalagi kau orang yang sangat mudah ditebak, Jae."

Jaemin menghembuskan nafas panjang, "Aku bingung."

"Oh ya?"

"Hm. Julia harus kita bawa ke markas besar untuk mengikuti rapat bersama rekan yang lain, bukan?" Renjun mengangguk setuju.

"Lalu?"

"Aku takut resiko yang kudapat setelah itu."

"Hei, bukan hanya kau saja. Kita semua juga akan dimusuhi oleh Julia. Tapi aku bersumpah kemarahannya tidak akan berlangsung lama, Jae. Dia mempunyai hati yang tulus dan lembut," Kata Renjun. Lalu ia melanjutkan, "Kau yang paling dekat dengannya, tentu kau-lah yang nanti akan dia maafkan terlebih dulu."

Kini Jaemin merasa, sebagian beban yang ia pikul perlahan menghilang.

"Aku memaklumi ke-khawatiranmu karena kau baru merasakan cinta. Astaga, bodoh sekali," Pemuda Huang terkekeh pelan, "Tapi jangan sampai rasa cinta-mu merugikan pihak lain, jangan sampai mengotori kertas yang masih putih. Benar?"

Ragu, Jaemin mengangguk.

***

Lee Taeyong, dengan gagah berjalan mengitari ruang persegi yang didalamnya terdapat banyak perkakas yang bisa digunakan sebagai alat perombakan.

Dia tidak sendirian, ada Jaehyun juga. Namun si pemuda Jung terbaring tak berdaya diatas brankar lantaran sistem kerja ditubuhnya sedang di periksa ulang oleh pemimpin Lee.

Pemimpin Lee menatap kepala Jung yang sudah dia belah setengah dan layar monitor bergantian.

"Sejak kapan kabelmu melilit? Siapa yang melakukannya, Jae?" Tanya pemimpin Lee tapi Jaehyun tidak menjawabnya.

Usai menyelesaikan urusan dengan Jaehyun, ia kembali menjahit kulit palsu yang menyerupai kulit manusia itu hingga kondisi Jaehyun seperti sedia kala. Namun, butuh waktu untuk membuat Jaehyun terbangun. Mungkin, beberapa jam kedepan sampai sistem kerja di tubuhnya benar-benar berfungsi dengan baik lagi.

Pemimpin Lee melangkah keluar seraya menyembunyikan kedua telapak tangannya dibalik saku jas yang dia pakai.

Tiba-tiba sebuah suara dari belakang menyita atensinya.

"Pemimpin!"

Sang empu balik badan, menghadap lurus pada sosok yang baru saja memanggil status resminya.

"Oh, Jaemin? Ada apa?" Tanya pemimpin Lee.

Jaemin menghirup nafas dalam, "Kurasa besok waktu yang tepat mengadakan rapat. Aku akan membawa Julia kemari."

Lee Taeyong tersenyum, "Keputusan yang bagus. Kau sungguh bisa diandalkan."

"Itu... tadi sebenarnya aku tidak sengaja melihat kau keluar dari ruang perombakan. Apa Jaehyun ada disana?" Tanya Jaemin tanpa basa-basi.

Pemimpin Lee mengangguk, "Benar."

"Lalu, hasilnya bagaimana?"


NEXT?

PLAYGROUNDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang