10

271 58 27
                                    


VOTE DAN KOMEN SELAGI MEMBACA~

Hari sudah berganti malam, udara kian mendingin, suasana tenang dan sunyi. Seperti malam-malam sebelumnya.

Hanya saja, sekarang ini pikiran Jaemin penuh. Kacau.

Sedari tadi yang dia lakukan hanya diam seraya memandang keatas langit sana.

Ia teringat percakapan mereka bersama pemimpin Lee selama rapat tadi pagi.

"Tidak ada hal yang benar-benar penting yang ingin kukatakan hari ini pada kalian. Aku hanya... ingin meminta persetujuan," Pemimpin Lee menyatukan kedua tangan keatas meja rapat berbentuk bulat besar.

Mark berdehem singkat. "Memangnya persetujuan atas apa?"

"Beberapa hati lalu, Xiaojun datang padaku. Kami banyak membahas sesuatu. Termasuk tentang Julia."

Jaemin mengangkat pandang begitu mendengar nama Julia disebut. Sudah ia duga, pasti hal yang dibahas tidak jauh dari gadis mungil itu.

Pemimpin Lee membalas tatapan Jaemin hingga mereka berdua menciptakan kontak mata, "Pada rapat sebelumnya kita mengaku membutuhkan Julia demi masadepan Dunia kita. Tapi opini anggota lain, untuk sementara waktu kita harus membuat Julia bisa beradaptasi dan merasa nyaman disini. Kita menyembunyikan fakta sementara waktu, sampai Julia benar-benar menganggap Dunia kita juga rumahnya. Kutanya sekarang, bagaimana perkembangan Julia?"

Renjun memijat pelipisnya yang mendadak pusing, "Aku tidak banyak menghabiskan waktu bersamanya karena kau selalu membebaniku misi. Tapi dari yang kulihat, Julia sudah mulai menganggap kami ada. Dia memperlakukan kami seperti keluarganya sendiri."

"Julia sangat baik. Terkadang aku merasa kasihan atas kebaikannya," Chenle menimpali.

Pemimpin Lee mengangguk paham, "Cepat atau lambat kita harus memberitahunya semua, dia harus mengerti posisi dan perannya untuk perang besar nanti. Itu akan memudahkan kita bertugas."

Jaemin menghembuskan nafas berat, rasanya dia tidak rela. Dia takut Julia kembali membencinya seperti dulu. Jaemin belum siap.

"Tapi maaf, kalau untuk memberitahunya dalam waktu dekat, aku merasa keberatan," Jaemin mengeluarkan suara setelah beberapa lama diam merenung.

Pemimpin Lee tersenyum penuh makna. "Aku tahu itu, Jae," Ia melanjutkan, "Ketua team dari 127 membocorkan beberapa tanda perang besar. Pertama, Kemampuan U.L yang terbatas hingga tidak bisa menciptakan manusia tiruan lagi dan hanya bisa membuat kalian bertahan hidup. Kedua, kedatangan gadis Bumi yang ditemukan dijalan perantara. Dan terakhir, Perpecahan antara team Dream dan 127. Semua sudah terjadi, kita hanya tinggal menunggu waktu untuk tanda ketiga. Setelah itu, bersiap-siaplah untuk perang."

"Kau harus lebih dulu berjanji, agar tidak membunuh Julia dalam kondisi mendesak apapun?" Jaemin bertanya tegas.

"Jae, bersikap sopanlah terhadap pemimpin!" Mark sebagai ketua segera menegur anggotanya lantaran menyadari Jaemin nyaris menginterogasi.

"Sudah kukatakan, aku membawa Julia kemari bukan untuk menjemput ajalnya."

Pemimpin Lee terkekeh, "Aku berjanji. Lagian, aku sudah merencanakan strategi."

"APA? Kau merencanakannya sendiri tanpa diskusi?" Jisung langsung mendekap mulutnya sendiri, kemudian menunduk, "Maaf aku keterlaluan."

"Julia tidak akan mati, tugasnya hanya menjaga U.L dan membawa sumber itu ketempat yang jauh. Sangat jauh sampai-sampai para alien dan Kim tidak bisa menjangkaunya."

"Kau akan mempercayai U.L pada Julia?" Tanya Haechan.

"Mengapa tidak? Julia orang yang tepat. Dia akan menjaga U.L, sementara kita akan menjaganya. Kita harus menutup jalan untuk bertarung melawan pihak musuh."

Jeno bersidekap dada, "Sepertinya kita harus mengumpulkan anggota lagi guna membahas ini lebih rinci. Kau memang seorang Pemimpin, tapi kami juga ikut bertarung bersamamu."

"Benar. Ku apresiasi keberanianmu, Jen," Kata Pemimpin Lee.

"Jadi, kapan kita mengundang Julia rapat bersama?" Tanya Haechan.

"Kurasa tunggu beberapa waktu lagi," Pemimpin Lee melirik Jaemin seraya terkekeh pelan."Beberapa waktu sampai seseorang memberi izin padaku."

Jaemin jelas mengetahui bahwa Pemimpin-nya itu secara tidak langsung tengah menyindir halus. Tapi Jaemin tidak mau mempermasalahkan itu, nasib Julia sekarang lebih penting.

Ia mengusap wajahnya kasar, kepalanya seketika berdenyut pusing. Memikirkan reaksi Julia saat nanti tahu kebenaran yang disembunyikan.

Jaemin tidak berniat membohongi. sungguh,. Ia hanya... takut. Takut kalau Julia marah padanya lagi.

Hingga satu tepukan dibahu lebarnya berhasil menyadarkan Jaemin yang terjebak dalam lamunan-nya sendiri.

"Belum tidur?" Haechan mengambil duduk disebelah Jaemin.

"Aku sedang tidur."

Haechan sontak tertawa, "Humormu semakin meningkat akhir-akhir ini."

"Aku belum mengantuk, Chan. Kau sendiri mengapa belum tidur?"

"Aku awalnya ingin bermain game sampai pagi."

"Dengan Jeno?" Tebak Jaemin.

"Iya."

"Lalu?"

"Dia tidur duluan. Sialan. Aku tadi bahkan sudah meminum secangkir kopi supaya tidak mengantuk."

"Kasihan sekali."

"Benar," Haechan mengangguk setuju. "Wajahmu kusut. Ada masalah apa?"

Jaemin menoleh sepenuhnya, dia terdiam lama. Menimang apakah harus menceritakan ke-khawatirannya atau lebih baik dia simpan sendiri saja.

"Tidak ada, aku hanya sedang memikirkan nasib Julia kedepan."

"Sudah kuduga. Kau menyukainya, Jae."

"Tidak."

"Aku membuat pernyataan, bukan pertanyaan."

"Tapi aku tidak berfikir untuk menyukainya, Chan."

Haechan menghela nafas panjang, helaan nafasnya terdengar begitu jelas ditengah kesunyian malam ini. "Kalau begitu, kau mungkin berlebihan pada Julia. Kau membawa dia kemari, lalu kau awalnya berencana membunuh Julia dan memanfaatkan darah gadis malang itu. Lalu tak lama, kau mengubah rencanamu. Kau jadi tidak ingin melukai Julia sedikitpun. Tapi dilain sisi, kau juga ingin darah yang mengalir didalam tubuhnya. Dan itu yang membuatmu frustasi sampai mau mati. Benar?"

Jaemin kembali terdiam.

"Baiklah, aku mengaku. Aku memang menyukainya."

NEXT?

PLAYGROUNDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang