MATAHARI perlahan merunduk menuju cakrawala, meninggalkan jejak-jejak jingga yang merona di langit senja. Angin sepoi-sepoi mulai berbisik di antara dedaunan—menebarkan aroma bunga liar yang sekejap membawa kenangan akan cinta yang pernah begitu manis, namun kini terasa getir.
Di antara suara desiran angin yang menyisir dedaunan kering, tercipta serenade harmonis yang seolah ingin memeluk dua sosok pria dewasa yang tengah berjalan menuju krematorium. Dua orang dewasa itu ditemani oleh seorang anak kecil yang menggenggam erat tangan salah satu dari mereka.
“Mommy! Malk datang,” seru bocah kecil itu dengan riang, seolah berbicara dengan seseorang yang nyata di hadapannya.
Langkah-langkah kecilnya segera membawa Mark ke sebuah bilik krematorium yang di dalamnya terdapat abu sang Mommy. Di sanalah, sosok orang yang dahulu memberinya kehidupan, kini tersimpan dalam keheningan abadi.
“Maaf, Mom. Malk baru datang ke rumah Mommy lagi,” ucap Mark dengan penuh penyesalan, jemari mungilnya mengusap figura foto Mommynya dengan lembut.
Bagi Mark yang masih terlalu kecil untuk memahami kematian, tempat ini dia anggap sebagai rumah Mommynya—tempat di mana dia berharap bisa kembali merasakan kehangatan yang hilang dan belum sempat dia rasakan.
Jaehyun yang berdiri di belakang anaknya, menahan napasnya, menelan kesedihan yang membara dalam dadanya. Ia tahu bahwa dalam jiwa kecil Mark, terdapat kerinduan yang tak terucapkan, kerinduan yang mungkin takkan pernah bisa terobati.
Ketika Mark selesai menyapa sang Mommy, ia menoleh ke arah Taeyong, senyum kecilnya mengembang.
“Mommy, ini Bubu,” ucapnya, memperkenalkan Taeyong dengan kepolosan seorang anak kecil.
Taeyong menatap foto orang dalam figura itu, ia menyunggingkan senyum tipis yang dipenuhi oleh rasa hormat. “Selamat sore. Aku Bubu,” sapanya lembut, seolah berbicara dengan seseorang yang masih hidup.
“Mom, sekarang Malk sudah tidak kesepian, karena sudah ada Bubu yang selalu menemani Malk,” lanjut Mark.
Kata-kata anak itu membawa Jaehyun pada arus kenangan yang tak bisa ia hentikan. Sekali lagi, ia merasa seolah-olah jantungnya diremuk oleh rasa kehilangan yang tak pernah memudar.
Di belakang Taeyong dan Mark, Jaehyun berusaha menahan air mata yang tak tertahankan. Setiap kali ia mengunjungi tempat ini, tekadnya untuk tidak menangis selalu kalah oleh rasa rindu yang menggerogoti hatinya.
“Anak kita begitu merindukanmu, Sayang,” bisiknya, suaranya begitu lirih hingga hanya dirinya yang mendengar.
***
WAKTU merambat pelan menuju malam, ketika mobil yang dikemudikan Jaehyun akhirnya tiba di mansion megahnya. Setelah memastikan kendaraan tersebut terparkir dengan rapi, Jaehyun keluar, berjalan ke sisi mobil untuk membukakan pintu bagi Mark dan Taeyong.
Taeyong, yang duduk di kursi belakang, sedikit terkejut oleh tindakan Jaehyun. Ia menundukkan kepala, menyampaikan rasa terima kasih dengan bisikan pelan, “Terima kasih, Tuan.”
Jaehyun hanya mengangguk, memberikan jawaban yang setengahnya tertelan oleh pikirannya yang masih terguncang oleh perasaan yang berkecamuk.
Ketika mereka mencapai pintu utama mansion, Mark yang sudah lebih dulu berjalan ke depan, berbalik dan menatap ayahnya dengan mata yang mulai mengantuk.
“Daddy, Malk ingin tidur sekarang... Malk mengantuk,” katanya, suaranya terdengar rasa manja, membuat Jaehyun tersenyum kecil.
Jaehyun mendekati anaknya, bersimpuh hingga tinggi mereka sejajar. “Ingin Daddy temani, atau ingin tidur sendiri?” tanyanya penuh perhatian.
KAMU SEDANG MEMBACA
WITH YOU | Jaeyong [SEGERA TERBIT]✓
FanfictionPertemuan Jaehyun dengan seorang pria mungil berwajah cacat, yang berhasil membebaskan Jaehyun dari kesedihan mendalam.